Siang itu, saya
kebetulan makan siang di kantin kopma kampus UGM, sedang sendirian. Dalam arah
pandang saya, yaitu di depan jalan masuk ke kantin terlihat seorang nenek
sedang duduk, di depannya ada sebuah gelas plastik yang berisi recehan
pemberian dari orang-orang yang lewat. Gaya pakaiannya yang khas nenek dari
jawa membuat saya teringat pada nenek di rumah. Terbesit perasaan sedih di hati
saya.
Nenek ini sedang
meminta-minta. Setiap melihat seorang yang meminta-minta, serta merta saya
langsung mempertanyakan, apakah tidak bisa bekerja? Dalam tradisi yang saya
pahami, orang yang meminta-minta merendahkan nilai kemanusiaannya, dalam artian
gagal mengenali potensi diri dan tidak pandai mengejar kesempatan.
24 Juni 2010 |
Dalam tradisi
agama yang saya ketahui juga, orang yang tidak mampu tetapi menahan diri dari
meminta-minta derajatnya lebih mulia daripada yang tidak mampu dan
meminta-minta. Tetapi tentunya hal itu harus dalam kondisi berimbang dan ideal
dimana orang yang mampu dengan sukarela memberikan bantuan kepada yang
membutuhkan.
Sistem di negara
kita belum cukup ideal untuk hal-hal seperti itu, untuk pendistribusian
tanggung jawab kesejahteraan, serta pengembangan kualitas kemanusian. Pada saat
yang sama, manusia kontemporer semakin fokus pada kehidupan masing-masing
disebabkan oleh semakin tingginya tuntutan dan kebutuhan hidup.
Tapi itulah warga
negara, sering menyalahkan penyelenggara negaranya untuk hal-hal yang diluar
kemampuanya. Sehingga dengan latar belakang itu, saya tidak bisa memberikan pernyataan
sikap yang tegas dalam kasus meminta-minta tersebut.
Kembali ke nenek tadi, karena dia sudah berusia lanjut, tentu saja tidak relevan untuk menanyakan kenapa dia tidak bekerja? jadi saya hanya bertanya dalam hati, kemana anakmu? Di mana cucumu? Bagaimana keluargamu? sembari menyelesaikan makan.
Dorongan rasa penasaran menyebabkan saya menghampiri nenek itu untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya.
"Nenek, sudah makan?"
"Sudah." katanya, giginya terlihat sedikit gelap, mungkin karena sering mengunyah sirih.
"Nenek, tinggalnya dimana?"
"Di daerah bla bla bla, numpang sama tetangga, tidak punya rumah.”
“Kok bisa nek?”
“Suami saya sudah meninggal. Saya ini nasibnya buruk."
"Nenek anak atau cucunya dimana?"
"Tidak punya"
"Nenek asalnya dari mana?"
"Dari sulawesi tenggara."
"Udah lama tinggal disini?
"Udah lama, sepuluh tahun, diajak suami saya, waktu itu dia sudah sakit-sakitan, katanya ayo kita tinggal di Jogja.
Jadi saya ya nurut suami. Eh, waktu dia buang air di sungai darah tingginya kambuh, tau-tau dia sudah ngga ada"
"Nenek masih punya saudara?"
"Masih, di kampung."
"Kenapa ga pulang aja ke kampung?"
"Ndak punya uang."
"Berapa biayanyanya buat pulang nek?"
"Waktu itu, mungkin tiga juta, mana punya saya uang sebanyak itu.
“Nenek punya no telepon saudaranya?"
"Dulu punya, pernah dihubungi, tapi ngga diangkat.”
“Sekarang masih ada nomernya?"
"Udah ngga ada, nomornya di hape, hapenya saya taroh waktu saya tinggal tidur, eh pagi-paginya hilang. Padahal harganya 500rb."
Alamak sedih sekali saya mendengar
cerita nenek ini..
"Anak asalnya dari mana?" Tanyanya, ternyata dia cukup komunikatif.
"Dari sumatera nek."
"Oh, ada juga adek saya di sumatra, daerah riau, kerja disana."
"Nek sebelum disini kerjanya apa?"
"Mana bisa kerja, udah tua. Kalau suami saya kerjanya ngangkutin kayu, sekubiknya dibayar 2500 rupiah."
"Nenek kalau punya uang, mau pulang?"
"Ya mau, disini saya ga punya siapa-siapa."
"Tapi nenek ingat jalan ke kampungnya."
"Masih ingat."
Kalau diturutkan
perasaan hati, ingin rasanya saya membelikannya tiket dan mengantarnya pulang
ke keluarganya. Tapi selain waktu, uang sebanyak itu masih cukup besar bagi
saya, yang belum bebas dari materi dan prioritas pribadi, dan masih jauh dari
mandiri secara finansial. Sehingga hanya saya ambil sedikit uang dari dompet
dan memberikan kepadanya.
Dia lalu berkata:
"Anak, cita2nya apa? Apa mau kuliah, mau jadi dokter?" saya kaget ditanya begitu.
"Bukan nek, saya mau insinyur."
"Kalau gitu, nanti saya doakan"
"Jangan nek, jangan didoakan, biar saya ikhlas."
"Anak, cita2nya apa? Apa mau kuliah, mau jadi dokter?" saya kaget ditanya begitu.
"Bukan nek, saya mau insinyur."
"Kalau gitu, nanti saya doakan"
"Jangan nek, jangan didoakan, biar saya ikhlas."
Oh boi, tambah
sedih hati saya dibuatnya. Saya lalu cepat berpamitan dan mencium tangannya,
sebelum mengucur air irisan bawang bombai.
Terbersit pikiran, bagaimana cara menolong nenek ini? Pertama-tama saya kemukakan alasan pada diri sendiri, kenapa nenek ini perlu ditolong, disini nenek ini tidak punya keturunan atau keluarga, yang bisa mengurusnya jika dia bertambah tua nanti. Sementara entah bagaimana negara mengatur pemeliharaannya saya belum mengetahui.
Dengan beban hidup yang dijalaninya, saya khawatir dia akan menyalahkan Tuhan atas penderitaannya, karena dia begini karena mengikuti ajakan suaminya yang merupakan ibadah baginya, karena ternyata meski dia masih sholat dan berdoa, tidak ada dampak terhadap kehidupannya di dunia ini, sementara orang-orang ternyata tak ada yang bisa menolong. Lalu, karena saya sudah mengetahui apa yang dialaminya, tentu menjadi wajib bagi saya untuk menolongnya, entah dengan perbuatan, dengan perkataan, atau dengan seminimal-minimal kemampuan, yaitu doa.
Lalu saya berpikir, secara kemampuan terlihat terlalu memaksakan diri bagi saya, untuk membiayai dan mengantarkannya langsung ke kampung seorang diri. Sehingga saya perlu solusi lain agar beliau tetap bisa ditolong. Sepertinya tak ada yang lebih baik selain memanfaatkan afiliasi dan kerjasama kolektif dengan orang-orang yang sama-sama menaruh perhatian, dalam lingkup yang lebih besar, kemampuan untuk tindakan juga menjadi lebih besar.
Jika berlama-lama
dan tidak melakukan sesuatu saya khawatir akhirnya menjadi terlalu terbiasa
melihat nenek itu duduk disitu, menganggap hal ini sebagai sebuah kewajaran dan
bagian dari hidup sehari-hari.
Akhirnya, waktu berlalu, hampir setahun setelah pertemuan dengan nenek itu, akhirnya bahkan saya tak berbuat apa-apa untuk menolongnya. Saya datang lagi, hanya meluangkan waktu untuk bertegur sapa dan sedikit berbagai cerita.
27 Juli 2011 |
Nenek itu
kelihatan masih mengenali.
“Cu, lama tidak
kemari, nenek sampai kangen. Kadang-kadang sampe nenek cariin.. kemana cucu
ini..” katanya.
Oh, pandainya nenek ini menyanjung sekaligus menyindir saya yang kurang peduli ini. Membuat saya ingin minta maaf karena belum bisa
menolongnya. Ternyata benar bahwa tadinya saya yang merasa sangat sedih melihatnya,
lama-lama makin terbiasa, memandang bahwa itulah realita hidup. Orang-orang
lalu lalang, juga seperti biasa saja, beberapa ada yang memberikan uang
recehan, ada juga yang malah lewat sambil menutup hidung.
Akhirnya saya
tidak berdaya lagi berbuat apa-apa selain memberikan sumberdaya seadanya untuk
membuat nenek itu tersenyum beberapa saat. Untuk setidaknya membuatnya ada
teman berbicara beberapa saat. Akhirnya saya pamit lagi dan entah kapan akan ke
sana lagi.
Entahlah, mungkin
meski kehidupan nenek itu di dunia kelihatan menyedihkan, kehidupannya di
akhirat justru lebih baik dari kita. Namun, tetap saja melihat nenek yang tanpa
sanak saudara di usia yang sudah renta duduk sendiri berpanas-panas di situ, terasa
ada sesuatu yang tidak benar. Rasanya, tidak perlu membayangkan bagaimana
jadinya bila kita, atau nenek kita, atau ibu kita, atau keluarga kita yang lain
ada pada posisi si nenek untuk mendapatkan perasaan itu.
***
cerita dan pengalaman yang menyentuh....
ReplyDeleteanggi, anggi.. menyentuh apa anggi? :)
ReplyDeletethanks sudah mampir..