Hey kamu,
Apa kabarmu?
Sejak kamu pergi waktu itu,
belum berkurang perasaanku padamu..
Sejak kamu pergi waktu itu,
berhari bermalam berbulan aku menanggung rindu, rindu untuk bertemu, rindu yang
berubah menjadi sendu karena kita tidak bisa lagi bertemu, karena kita sudah
terpisah ruang dan waktu.
Sejak kamu pergi waktu itu,
sering aku menatap masa lalu, mengenang hari-hari itu ketika kita saling
melengkapi, ketika kita melakukan aktivitas apa saja kemana saja, pada siang
pada malam, pada terang pada gelap, ke pantai, ke bukit, ke semua penjuru kota,
ke pelosok desa. Kita bermain, kita berdiskusi, kita berdebat, kita tertawa,
kita menangis, kita menjalani hidup, kita merayakan hidup.
Sejak kamu pergi waktu itu,
terkadang muncul kembali bayanganmu itu utuh, dari ujung kaki hingga ke kepala,
dari gerakan besar hingga ekspresi kecil pada sudut bibir atau matamu. Kamu
hadir dengan tawamu yang selalu menyenangkan, pipimu yang tersipu saat biasanya
kupandang, tutur katamu yang enak didengar, bunyi-bunyi aneh yang sering kamu
dendangkan, semua yang tiba-tiba muncul dan membayang, semuanya yang biasanya membuat
cinta.
Sejak kamu pergi waktu itu, tak
bisa lagi aku siapkan aneka kado ulang tahun yang spesial. Kado dan serangkaian
kejutan yang akan selalu berbeda setiap tahun, tetapi akan selalu ada sebuah lukisan
di situ, lukisan hasil dari menterjemahkan cantik raut wajahmu menjadi goresan
di atas secarik kertas kosong.
Sejak kamu pergi waktu itu, tak
akan lagi terucap kata yang terbata dari bibir ini, yang ingin mengutarakan
maksud hatinya untuk meminangmu. Hati ini telah merasa nyaman, menemukan damai,
dan menumbuhkan sayang. Karena hati sudah ingin berhenti dari mencari-cari
tempat persinggahan lainnya, telah didamaikan pula antara dirinya dengan pikiran. Kita
sama tidak sempurna, karena segala sesuatu di dunia tidak ada yang sempurna, bukankah
yang perlu kita lakukan adalah mencintai yang tidak sempurna dengan cara yang
sempurna.
Sejak kamu pergi waktu itu, angan-angan
untuk menghabiskan hari-hari masa depan bersamamu hingga menua nanti terasa tak
berarti lagi. Angan akan sebuah keluarga baru. Di sana tergantung foto kita
saat perutmu membesar. Di sana ada anak-anak yang lucu yang mewarisi hidungmu
yang angkuh, anak-anak itu mungkin akan berlebihan keras kepalanya karena mewarisi
kita berdua, kamu boleh mengajarkannya bahasa jawa, karena itu yang aku tak
bisa, kita akan sama-sama mengajarnya mengaji sehabis magrib sebelum isya, kita
akan sama-sama mendidiknya menjadi patriot bagi negeri. Dia mungkin akan
menjadi arsitek, atau tokoh ekonomi, atau seniman, asal saja tidak terjun ke
politik, karena kita sama tau politik sekarang ini selalu terjebak pada
pragmatisme kekuasaan yang tak berkesudahan.
Di sana ada buku-buku yang kita
baca, suatu waktu akan kita diskusikan buku-buku itu. Suatu waktu, akan
kusingkirkan buku dari tempat tidurmu, saat kamu tertidur karena kelelahan
membaca, akan kumatikan juga tivi itu, yang sering kamu biarkan menyala, akan
aku tangkupkan selimut untuk menutupi tubuhmu yang kedinginan.
Di sana ada tempat-tempat
yang akan kita jelajah, karena kita berdua sama suka bertualang dan menempuh
jalan baru, sama tak bisa menjalani keadaan yang melulu sama hari demi hari. Suatu
waktu saat aku sedang membaca filsafat Sartre, sambil duduk di dekat meja ruang
baca, saat kamu sedang menonton berita, akan kukatakan bahwa aku bosan dengan
kehidupan hari-hari ini, sebuah kode bahwa kita akan kembali bertualang
mengunjungi tempat baru. Suatu waktu akan kita tulis cerita perjalanan itu
berdua.
Itu, sebelum kamu pergi
dariku, yang berarti sebelum angan itu berakhir. Angan itu akan mengerut,
mengerucut dan menciut sehingga bisa kugenggam, ku buang dari alam sadar. Mungkin
suatu waktu dalam tidurku dia akan menyeruak, mendobrak pintu alam bawah sadar
saat penjagaan kesadaran begitu lemah, hingga menjelma menjadi bunga tidurku.
Sejak kamu pergi waktu itu,
aku tau bahwa kamu tak akan kembali, seberapa besarpun pengharapanku. Seberapa
besarpun perasaan cintaku, aku tak bisa bahkan untuk sekedar menggenggam
tanganmu, menarikmu, atau membisikkan ke telingamu, tak bisakah kamu tidak
pergi? Semua yang hanya mungkin terjadi dalam mimpi, satu-satunya tempat dimana
aku bisa menarik tanganmu dan mencegahmu dari pergi.
Sejak kamu pergi waktu itu, aku
sering merasa bahwa segala kebaikan yang telah pernah kita alami tak akan
tergantikan, tak ternilai, tak terbandingkan, sekaligus tak dapat balik, tak
bisa terulang. Lambat laun akupun sadar, apapun yang terjadi itu, semua
pengalaman itu, semua sudah berlalu, telah diambil oleh waktu. Apakah salahsatu bagian itu menciptakan
kebahagiaan, apakah itu terasa kesedihan, semua hanya sebentuk perbandingan yang
diciptakan kesan pikiran, semua tinggal kenangan. Mau tidak mau, fotomu yang biasa
terpajang rapi di atas lemari, yang biasa menatapku dari depan tumpukan
buku-buku itu, pada akhirnya aku turunkan.
Sejak kamu pergi waktu itu, pergi
untuk selamanya yang mungkin karena salahku, aku tak bisa berbuat apa-apa
lagi. Aku hanya bisa terdiam, memandang dari kejauhan. Di dunia yang lain,
mungkin kamu sedang berbahagia. Aku akan tetap mencoba meraih kembali bahagia
dari apa-apa yang masih kumiliki, meski itu tanpamu.
Tertanda,
Aku.
Sediiiiiihhhhhh :(
ReplyDeletekenapa sedih?? Laa tahzan.. :)
ReplyDelete