Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok
gigi, habis mandi tidak kutolong ibu membersihkan tempat tidurku, karena ini hotel.. Setelah sarapan
roti seadanya aku bersiap di lobi bersama Alina dan teman-teman untuk melanjutkan petualangan menuju Vatikan. Vatikan adalah sebuah kota sekaligus negara kecil
yang merupakan pusat pemerintahan gereja Katolik, sebuah republik yang dipimpin
oleh seorang Paus yang dipilih secara demokratis.
Mereka sudah beberapa hari di Roma, tetapi belum sempat berkunjung ke Vatikan, mungkin karena mereka bukan fanatik agama. Sebagai
wanita yang sebagaimana biasanya tidak bisa membaca peta, mereka malah mengandalkanku untuk menjadi penunjuk arah. Dengan sok tau dan jaga gengsi
akupun membaca peta, menunjuk sana-sini stasiun metro untuk menuju ke Vatikan. Berangkatlah kami
naik Metro ke Ottaviaro, sedikit berjalan
mengandalkan peta, untungnya bisa sampai ke Vatikan.
|
Pemandangan di Plaza St Peter |
Pagi itu Vatikan
sudah ramai, banyak turis-turis yang datang dan berfoto
di St Peter’s Square, plaza luas yang ditengah-tengahnya terdapat semacam tugu entah apa namanya, logisnya sih dinamakan tugu St. Peter.
|
Basilika St Peter |
Di depannya ada Basilika St Peter, Gereja terbesar yang pernah dibangun. Gereja ini dibangun oleh Konstantine I, bukan, ini pasti bukan John Constantine yang diperankan oleh Keanu Reeves itu. Kita pun masuk bersama
turis-turis lainnya ke bangunan yang besar dan megah itu. Berada di bawah tiangnya saja
berasa sekecil semut.
|
Vatikan |
Di dalamnya, suasana kunjungan berlangsung khidmat. Katedral itu begitu megah
dengan atap yang tinggi berhiaskan aneka kreasi seni, kita berjalan-jalan dan berkeliling menelusuri patung-patung orang suci, lukisan-lukisan, dan sarana ibadah lainnya yang
pencahayaannya temaram. Sepertinya orang-orang dari berbagai belahan dunia pada datang, melakukan perjalanan suci, untuk menyambangi tempat ini.
|
Teman-teman seperjalanan |
Pada salah satu patung, yaitu patung St Peter yang terbuat dari perunggu, terlihat antrian orang-orang untuk menyentuh kaki kanan
sambil berdoa mengharapkan dibukakan pintu ke surga. Anita menyentuh kaki
patung itu dengan syahdu, sambil
berdoa, entah doanya apa..
|
Aneka Patung karya Para Seniman |
Pada berbagai sisi banyak
pintu-pintu, inilah yang disebut dengan istilah the doors (banyak pintu), entahlah pintu itu mengarah ke mana, salah satunya mengarah ke salah satu musium,
untuk masuk harus membayar lagi sehingga kami urung masuk. Pintu-pintu lainnya
ini tentu mengarah menuju lorong-lorong bawah tanah yang penuh dengan
ruang-ruang rahasia, termasuk perpustakaan legendaris yang berisi buku-buku yang sama sekali tidak boleh dibaca oleh orang sembarangan, yang rak-raknya konon sepanjang
50 km, tak terbayangkan. Tentunya di
dalamnya juga penuh konspirasi-konspirasi para Cardinal saat pemilihan Paus. Ah,
mungkin arsip itu tak pernah ada, mungkin aku saja yang terlalu larut dalam
imajinasi saat membaca Angels and Demon nya Dan Brown dan The Name of the Rose
nya Umberto Eco.
|
Lukisan dan tempat beribadah |
Yang jelas, berjalan-jalan di sana menimbulkan
perasaan yang berbeda. Menatap satu demi satu karya seniman besar, termasuk
patung Pieta buatan Micheangelo, seniman besar era Renaissance. Ada sebuah
quote dari Micheangelo yang cukup menarik: “Tidakkah
kamu tahu perempuan yang suci dari sentuhan lelaki akan jauh lebih muda
daripada mereka yang tidak? Bagian mana lagi dari Perawan Suci, yang sama
sekali tidak pernah mengalami gairah, yang bisa membuat umurnya menjadi tua?” Sayang
kami tak bisa mengunjungi Sistine Chapel, tempat beradanya masterpiece Micheangelo,
sebuah lukisan besar di langit-langit gereja itu.
|
Tama was here |
Selesai berkeliling, kami
melanjutkan perjalanan. Jalur pejalan kaki yang lumayan bagus untuk ditempuh
adalah dari Vatikan menelusuri jalan di depannya, Via Della Conciliazione menuju
kastil St Angelo, menelusuri Sungai
Fiume Tevere, menyeberang melewati Ponte Umberto I, menelusuri jalan Tomaceli,
sampai ke Spanish Steps di Piazza di Spagna.
|
minum air liur naga di pinggir jalan |
Sepanjang jalan aku dan Alina
saling bercerita. Karena
nama Alina terlalu panjang, dengan semena-mena ku panggil dia dengan
panggilan Ali. Ali adalah seorang Aquarius (penting ga sih?), keturunan cina yang sudah lama
menetap di Rusia, sehingga sedikit banyak tentu mengerti bahasa Cina, pada suatu waktu sambil jalan itu kutanyakan
juga sesuatu
permasalahan yang mengganjal padanya seputar bahasa Cina.
|
ali, yang tidak suka dipanggil ali |
“Ali, do you understand chinese language, because my friends
usually use chinese language that i can’t comprehend.”
“O yea?
I understand Chinese,
what is it?”
“Yes, they said, wo ai ni, for many times, do you know what does it mean?”
“It means, i love you..” katanya, sambil menatapku dengan tatapan sedikit curiga.
“Ooooh, i
see, i love you too, aliiiinaaaaaa.” Kataku sambil menatapnya balik,
dengan wajah yang berusaha sangat serius dan menahan tawa.
“You’re bad!” katanya, sambil tertawa, dan sebuah pukulan kecil pun ku terima dengan senang hati..
|
Kastil St Angelo |
Ali adalah seorang yang menyenangkan, sepertinya cukup smart,
sehingga pembicaraan kami mengalir
dari hal-hal kecil sampai hal-hal besar. Sampai aku mengetahui bahwa dia Atheis, tidak punya agama, tidak percaya pada salah satu agama, tidak percaya hidup setelah mati, bahkan tidak percaya Tuhan. Sesuatu hal yang membuatku miris, maka sambil jalan dialog yang
terjadi diantara kami adalah seputar ketuhanan itu. Terlalu panjang dialog itu, pada salah satu
bagian kukatakan padanya.
“I would really like to introduce you to islam..”
kataku “There is only one God, and Muhammad is the last prophet of God.”
|
penjual merchandise dan papan informasi yang rapi |
Seperti kebanyakan manusia modern dari Eropa yang lelah dengan sejarah panjang agama yang sering berwarna hitam seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang sedikit demi sedikit mulai mengikis rasa percaya pada agama yang tidak sejalan dengannya, Ali mendebat dengan panjang lebar
sepanjang perjalanan kami menempuh jalan-jalan yang sepi, tepian sungai, jembatan, jalanan yang ramai, gedung-gedung besar yang warnanya melulu kecoklatan, hingga sampai di Spanish
Steps.
|
Jembatan |
Sampai di sana, kami memutuskan
untuk berpisah, tujuanku adalah Fontana Di Trevi yang legendaris, sementara
mereka hendak menuju tempat lain. Sedih juga
harus segera berpisah lagi dengan teman-teman yang menyenangkan ini.
|
Suasana berjalan di kota Roma |
Saat sebuah perpisahan, berdasarkan
pengalaman, biasanya orang-orang ini tidak mengenal
salaman, tetapi lebih suka pelukan. Hal ini aku pahami disebabkan suatu kejadian pada suatu hari di
kampus. Waktu itu bertemu dengan seorang teman wanita dari jepang bernama Ana, setelah ngobrol sebentar, saat berpamitan dan ku ajak bersalaman, dia malah terlihat
kebingungan dan mengajak berpelukan sambil
cipika cipiki. Maka kali ini pun aku tak mau mengulangi
kesalahan yang sama, langsung saja
berpamitan sambil mengajak berpelukan..hehehe mungkin saat ini terlihat keluar sedikit
tanduk dari kepalaku..
|
Perpisahan |
“See you
later, gimme a hug, oh i’m gonna miss you all..”
kataku dengan ekspresi sedikit sedih. Berpelukaan, lumayan..
|
Pemandangan di Spanish Step |
Mereka pun pergi. Tinggal aku sendiri,
memotret-motret sana-sini di Spanish Step
sebelum melanjutkan perjalanan menuju Fontana di Trevi. Sampai tiba-tiba seorang pria menyapaku dengan ramahnya..
“Hi, how are you?”
“Yaa, i’m fine, thank you.”
“Where do you come from?”
“I come from Indonesia..”
“Really, i like Indonesian people, how do you feel? do you like Rome?”
“Yess, off course, i like this cityy”
“Great!!
I have this magic
gracelet for you.”
“Oh ya? thank you..” sahutku dengan girang, waah, orang Roma ramah banget
euuy.. Mungkin inilah yang dimaksud dengan
keramah-tamahan lokal.. Begitu pikirku dalam hati, sumringah, sambil memberikan lengan, menyilahkan dia memasang sebuah
gelang di pergelangan tanganku.
Setelah, selesai, dia mendadak berkata.
“It looks good in you, please pay 10 Euros.” Katanya, sambil menatap tajam.
“O ooow,
kena deh jebakan betmen..” Aku membatin..
Tak lama kemudian, dari dekatnya, seorang lagi temannya
mendatangi, badannya besar, kulitnya hitam, berusaha mengintimidasi sambil mendorongku.
“Hey, you should pay him! Don’t run away!”
“O ooow.” Ternyata
mereka sudah sekongkol, berkomplot menjebak turis yang
malang sepertiku.
Apa akal?? Apa sebaiknya aku lari menuruni atau menaiki tangga ini? dengan kaki
mereka yang panjang dan lebar sepertinya bakal sia-sia, bakal terkejar. Apa aku harus teriak “Tolooooong!” menunjukkan histeria pada massa? Sepertinya tidak,
jangan-jangan justru bakal dipukuli, atau diteriaki pencopet oleh mereka. Ah sepertinya harus dengan jalur diplomasi..
Aku
tertunduk sejenak, mengumpulkan kata-kata..
“Easy, easy man, you said you like Indonesian..” kataku pada pria
pertama. Mungkin dia suka orang Indonesia karena badannya kecil sepertiku, yang lebih memungkinkah untuk diintimidasi dan ditipu..
“I came from Indonesia, I’ve traveled far far far away from here, and
this is my first time and maybe my last time to visit Rome.. What do you think about that,
do you want me to get a bad impression about this beautiful city, your city? I guess you don’t wanna do that..” sebelum mereka berkomentar, segera kulanjutkan.
“Ten euro is too
much, i don’t have that much, i’ll give you 2 euro!” Kataku.
Ternyata tanpa disangka, mereka setuju. Ya eyalah, buat gelang dari
tali-temali
tidak jelas begitu, sudah lumayan mereka dapat 2 Euro. Mungkin ini yang dimaksud win-win solustion,
mereka bisa senang, aku pun bisa pulang. Lalu kuberikan,
sambil segera pamit.
“See you..” kata mereka sambil senyum saat menerima uang recehan itu.
“Noo.. I dont wan’t to see you again“ Sahutku, sambil berlalu.. Apes
hari ini..
|
pemandangan Piazza Di Spagna dari tempat pemalakan |
Aku pun melangkah menuruni tangga Spanish Steps, melanjutkan perjalanan menuju Fontana di Trevi. Kenapa harus menuju air mancur ini,
karena dia begitu legendaris. Konon kabarnya ada kepercayaan legenda kota
setempat untuk melempar koin dengan tangan kanan melalui bahu sebelah kiri di
air mancur besar itu. Bila melempar di sana satu koin, maka kita akan kembali
lagi ke Roma, jika melempar dua koin maka akan mendapatkan cinta sejati, jika
melempar tiga koin, akan segera menikah, menikah? Maka aku bertekad melempar koin
sebanyak-banyaknya, sampai sepuluh kali kalau bisa, dengan koin rupiah yang
masih kubawa, mengandalkan konsep bisnis dengan modal sedikit-dikitnya untuk
mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Jika melempar sepuluh koin, berdasarkan perhitungan matematika yang sederhana, tentu cinta sejati yang kutemukan bisa banyak.. huwoo.. mataku berbinar-binar, bersemangat..
Di kanan kiri jalan banyak terdapat
penjual souvenir, lumayan buat cuci mata. Untuk bertanya arah dengan orang-orang di jalan agak sedikit trauma
setelah kejadian tadi, sehingga kuputuskan mencari dengan peta sendiri. Saat
itu layanan internet tidak punya, blackberry sudah lama tidak berfungsi.
Setelah lama berjalan, namun Fontana De Trofi yang dicari-cari tak
kunjung ditemukan. Aku melihat peta, kemudian berjalan lagi. Belum juga ketemu. Melihat
peta, kemudian berjalan lagi, sampai di tikungan antara ke kanan atau kiri, aku memutuskan menuju ke kiri, akhirnya bertemu sebuah air mancur. Air mancur ini biasa saja, tidak seramai dan seheboh yang diperkirakan, mungkinkah ini Fontana yang legendaris itu?
Tidak ada koin-koin bertebaran.. Maka aku pun berfoto sejenak, lalu melangkah pergi. Setidaknya
sudah ada fotonya.
|
air mancur sederhana |
Namun beberapa waktu kemudian, saat melihat foto
orang-orang yang ke air mancur tersebut lewat internet, barulah aku sadar bahwa air mancur
barusan tempatku berfoto bukanlah air mancur yang dimaksud. Itu adalah air mancur di Piazza Barberini, pantesan kecil, biasa saja, tidak ramai, dan tidak seruu...
Ternyata aku tersesat, saat di pertigaan itu aku harusnya belok ke kanan, bukan malah ke kiri.. Padahal kemampuan
spasialku termasuk tinggi, padahal pelajaran bangun ruang paling suka, padahal membaca peta termasuk jago, inilah kali
pertamanya dalam sejarah aku tersesat, inilah pertama kalinya tidak menemukan
apa yang kucari. Dan rasanya.. agak keki,
sedikit menyesal.. Mungkin karena tidak menemukan Fontana di Trevi ini bisa jadi justifikasi kenapa sampai setahun setelah jalan-jalan Eropa pun aku masih belum menikah.. :p
Apa boleh buat, harus segera
kembali ke hotel karena nanti jam 1 sudah harus berada
di kereta menuju Florence, sampai
dekat hotel, perut menuntutku menghampiri kebab terdekat, membeli
roti daging kebab yang dipastikan halal, tetapi rasanya tidak enak. Dilanjutkan
berjalan menuju kamar untuk check out.
Di jalan menuju kamar hotel, berpapasan dengan pedagang
kaki lima yang aku kenal wajahnya. Dia adalah orang yang semalam berada di lobi
penginapan. Asalnya dari Bangladesh,
aku lupa namanya, anggap saja bernama Joe.
Waktu semalam berbasa-basi, dia mengaku
muslim, namun saat aku tanyakan arah kiblat dia tidak tahu. Okey, sungguh anda muslim. Karena bertemu begitu, walaupun
sedang buru-buru, masih aku sempatkan untuk bertegur
sapa berbasa-basi.
“Hai, Indonesian.” Tegurnya, dengan dialek campuran antara Itali, India dan English.
“Haii Joe” sahutku.
“How’s the girls?” tanyanya.
“The girls? What? What girls?” Tanyaku.
“The girls from last night, from Rusia, did you have
fun with them?” katanya sambil gestur
tangannya ditangkupkan, memaksudkan gerakan making love.
“What do you mean?” tanyaku, pura-pura tidak pintar, walaupun sebenarnya pintar. Oke, mungkin
kata pintar lebih tepat diganti dengan tahu.
“You know, that girls, you can have sex with them, if
you want. Have you?”
“Noo!
Nooo i don’t want to!” sahutku.
“Yess, really, you can.. just take them to drink, just ask!”
sahutnya lagi.
“Noo, i’m not that kind of man!” Sahutku lagi berusaha menjelaskan. Pembicaraan mulai tidak menyenangkan, maka aku coba
untuk pamit saja.
“I have to go, i want to check out from the hotel.”
“Are you getting back to Indonesia?”
“No, i wanna
catch a train to florence.” Sahutku.
“O i see, you should stay longer in Rome, this city is really nice, you know..”
“Really, why?” tanyaku penasaran, setelah kejadian dipalak barusan.
“We can make much money in here. Don’t go back to your country, in Italy the salary is good, just like me, i can save
money and if i come back to my country, i’m being rich.” Katanya.
Kupikir-pikir, apa terima saja tawarannya, tak perlu
menyelesaikan S2, mendingan bekerja berjualan pernak-pernik di pinggir jalan dan menjadi kaya kalau
pulang kampung.
“You don’t need passport or visa to stay, just like me, i came here by a ships, without passport or visa. We can make it
here.” Katanya. Astaga.. ternyata dia penyelundup, jadi.. menurutnya aku harus naik kapal dari inggris, lalu berenang dari kapal menuju daratan dengan jarak satu kilo, sambil menghindari tembakann atau tangkapan petugas perbatasan..
“Okey, sounds good.” Sahutku sambil
mikir.
“And you, my brother.” Lanjutnya lagi.. “You remind me of someone, someone
from the past..”
“Really, Who?”
“Jamela, my wife from Malaysia” katanya “And i miss her so much, she's like you, i remember, her face, her
eyes, her skin..” sambungnya lagi, sambil menatapku dengan tatapan aneh.. Tatapan itu terasa.. mendebarkan.
Omygoat, aku menangkap aura tidak sedap dari ujung percakapan
ini sehingga harus menerapkan jurus langkah seribu, tidak ada diplomasi, cuma boleh lari.
“Errhh sorry Joe, i have to go now, am affraid of being late.”
Aku pun meninggalkannya, berjalan tergesa menuju
kamar hotel. Sungguh hari yang aneh, kota yang aneh, sungutku dalam hati.. Sambil memikirkan jalan
memutar, agar nanti pada saat ke stasiun kereta tidak bertemu dengannya..
Semoga Florence nanti bisa menyembuhkan moodku
yang memburuk..