Pada 30 Mei lalu, HMS ITB merayakan ulang tahunnya
yang ke 58, melihat berbagai ucapan di berbagai media sosial, terasa pula
nostalgia dengan berbagai pengalaman selama berinteraksi dengan HMS ITB.
Ada yang bilang HMS ITB itu identik dengan OS nya
keras.. emang iya. Ada yang bilang HMS ITB itu identik dengan orangnya
seram-seram.. emang iya juga.
Secara pribadi, wajah HMS ITB dalam bayanganku
mulai terukir sejak SMA. Sewaktu ada kakak kelas yang kuliah di jurusan Tambang
ITB datang dalam penyuluhan mengenai ITB, sebagai adik kelas yang cupu,
kutanyakan padanya.
“Kakak, bagaimana dengan jurusan sipil ITB, bagus
kah?”
“Oh, sipil bagus kok, cewenya banyak, trus OSPEK
himpunannya diajarin computer..”
“Horeee.”
Demikianlah, sehingga dalam bayanganku jurusan
sipil ini begitu ideal, jurusan yang di impikan oleh pemuda dari berbagai
belahan bumi Indonesia. Maka, masuklah aku ke Teknik Sipil dengan sumringah,
penuh perasaan suka, impianku akan diajarkan komputer dan dikelilingi cewek-cewek
trendi dari seantero Indonesia akan segera terwujud.
Demikian rasanya, sebelum mengetahui keadaan
sebenarnya..
OSKM untuk seluruh mahasiswa yang disambut dengan
spanduk “selamat datang putra-putri terbaik dari seluruh Indonesia” berlangsung
aman. Meski dimulai dari jam tujuh pagi sampai jam 12 malam setiap hari selama
seminggu, tak masalah. Ada kegiatan lari-lari keci, berbalas salam, berbagai
interaksi dan diskusi. Tak masalah, cocok banget nih kampus. Namun disitu mulai
beredar desas-desus tak menyenangkan soal Ospek di himpunan mahasiswa sipil,
yang katanya keras.
Atithesis pertama atas wajah jurusan yang
kuharapkan datang saat mengetahui ternyata proporsi cewek cowok di jurusan jauh
dari berimbang yaitu 1 : 5. Itupun kucing cewek yang berkeliaran di jurusan
sudah dihitung. Okelah, masih ada harapan buat wajah berikutnya: diajarkan
komputer.
INTERAKSI
Himpunan adalah tempat beraktivitas yang utama di
kampus ditambah dengan legenda yang beredar bahwa non anggota himpunan akan
dikucilkan, praktikum akan dipersulit, maka angkatan baru tertarik untuk
menjadi anggota himpunan di jurusan, yaitu Himpunan Mahasiswa Sipil (HMS ITB).
Hingga tibalah saat bertemu dengan para anggota
himpunan, mereka menyebutnya OSPEKnya sebagai kaderisasi, mereka menyebut acaranya
dengan nama interaksi. Kaderisasi adalah kegiatan untuk mengader, untuk
mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader, yang diharapkan akan memegang
pekerjaan penting dalam organisasi, dengan cara interaksi atau aksi
timbal-balik.
Beberapa tahapan untuk menjadi anggota HMS biasa
mengikuti pola:
Peserta kaderisasi > calon kuya > kuya >
Anggota biasa.
Masing-masing tahap itu dilalui dengan perjuangan
dan pengorbanan yang (seringnya) tidak tak seberapa.
Interaksi biasanya berlangsung dua atau tiga kali
seminggu, selama setahun. Diulangi, selama setahun. Ada interaksi ruangan
sekali seminggu dimana isinya perkenalan dan pengetahuan, diajarkan mengenai
kepemimpinan, teori organisasi, dsb. Interaksi ruangan ini boleh dikatakan:
mendidik.
Ada juga interaksi lapangan, dimana peserta diajak
beraktivitas fisik, dimulai dengan senam-senam kecil, diteruskan dengan
lari-lari kecil keliling kampus atau keluar kampus, dilanjutkan dengan push up
push up kecil, diselingi dengan teriakan-teriakan kecil. Biasanya dua kali
seminggu, rabu malam dan minggu pagi.
Mahasiswa tahun pertama pada hari rabu biasanya
mendapat tantangan degnan adanya kegiatan Ujian Tengah Semester (UTS), maka
acara berikutnya: interaksi malam, tak kalah menantang, berlangsung dari jam
tujuh malam sampai satu pagi. Seringnya dengan cuaca yang didominasi hujan,
acara tetap dilanjutkan. Jadilah peserta dan panitia berlari-lari menembus
hujan sambil menyanyikan lagu dan mars angkatan dengan bersemangat. Acara
dilanjutkan dengan berbagai posisi push up, sit up, skot jump dsb.
Jika dilakukan dalam kondisi biasa, mungkin tak ada
masalah, namun yang dilakukan di lapangan becek sehabis hujan ini agak
menggiriskan juga. Alkisah, karena kehabisan baju putih akibat acara yang dua
kali seminggu, pernah aku meminjam kaos putih dari seorang teman di kos. Lalu
ikutlah acara minggu pagi itu, lalu ketika pulang, dengan sedihnya kudapati
baju putih itu telah cokelat penuh lumpur. Dengan berbagai deterjen apapun, tak
akan pernah menjadi putih kembali.
Tingkat kesulitan acara didesain bertahap, layaknya
sebuah film, game atau apapun yang memiliki flow, dengan irama yang sesuai.
Makin tinggi tingkatan, makin berat acaranya. Jika pada mulanya kegiatan push
up dan sit up biasa saja, maka berikutnya diperkenalkan kegiatan push up
berantai. Seperti rantai, sambung menyambung menjadi satu, dari belakang
barisan sampai ke depan, bobot teman yang berat ditanggung bersama.
Lalu diperkenalkan juga push up setengah, yaitu
menahan posisi badan tetap di tengah-tengah pada saat push up, lalu ada juga
seperempat, tiga perempat, seperdelapan dsb. Yang demikian disinyalir bisa
mengakibatkan trauma dengan pelajaran berhitung dengan pecahan.
Tidak hanya tiga posisi utama itu, para senior yang
dipanggil dengan sebutan bos dan bis ternyata juga kreatif dengan
memperkenalkan berbagai penindasan fisik lainnya. Maka, jadilah peserta
melakukan jalan jongkok, jalan bebek, jalan anjing, jalan kepiting. Sebut saja
nama salah satu binatang, maka taulah kami bagaimana bentuk jalannya. Semikian
acara yang berlangsung setiap minggu. Sehabis berbagai aktivitas fisik, pernah
pula disuruh berjalan jongkok di selokan, di tenggelamkan, lalu ketika naik ke
atas diberi satu dua tamparan manis.
Salah satu kegiatan lainnya yang membekas adalah
acara oleh para swasta. Swasta adalah kategori untuk yang angkatannya 3 tahun
diatas atau lebih. Swasta lebih berkuasa, telah banyak manis pahit kehidupan
kampus, disebut super bos, dewa dsb. Pada malam itu diadakan acara ruangan,
yang dilakukan didalam ruangan, namun tak kalah kejam.
Di sebuah ruangan yang bernama LFM, dimana bangku
memanjang berderet dengan ruang kecil untuk disela-sela meja dan tempat duduk.
Para peserta harus masuk ke dalam celah diantara bangku itu setiap kali
disuruh, dan keluar lagi setiap kali disuruh, sesuai hitungan komandan lapangan
(danlap) untuk mencapai kesigapan yang ditargetkan. Tak cukup dengan itu,
datang pula seorang senior bertubuh tinggi berambut gondrong yang berjalan
diatas meja sambil menampari satu persatu peserta, dari kiri ke kanan depan ke
belakang sambil tertawa terbahak-bahak. Seiring tamparan manis itu, tertampar
pula wajah jurusan yang tercinta ini di dalam benakku, yang kata kakak kelasku
dulu Ospeknya akan diajarkan komputer.
Bisa disimpulkan bahwa interaksi yang dimaksud itu,
aksi timbal balik itu, adalah senior menyuruh junior melakukan aktivitas
fisik/mental yang akan disambut baik oleh junior tersebut dengan melakukan
aktivitas fisik/mental dan akan berakibat pada tindakan fisik/mental lainnya.
KUNJUNGAN MALAM
Ada kegiatan yang dinamakan kunjungan malam,
biasanya di malam minggu. Asumsinya adalah para bos di HMS banyak yang jomblo,
sehingga membutuhkan mahasiswa baru untuk datang dan bercengkrama. Bagi seorang
peserta, jika memiliki pacar pada masa-masa ini, maka ada dua kemungkinan:
adalah pacarnya begitu penyabar sehingga rela dijadikan prioritas yang
kesekian, atau hubungannya berakhir. Jika memiliki gebetan anak unpad
jatinangor sepertiku saat itu, tak perlu berharap akan hasil gilang gemilang.
Karena segala sesuatu sumberdaya yang dimiliki, termasuk waktu, dipersembahkan
kepada acara kaderisasi ini.
Ada indikasi bahwa interaksi personal melalui
kunjungan malam kepada para bos dan bis ini bisa membuat kader-kader menjadi
lebih memahami kondisi himpunan dan menambah motivasi dan aspek positif
lainnya. Bagi seorang ketua angkatan dan koordinator kelas, keadaan dilematis
adalah saat disuruh menghadirkan lima belas orang untuk kunjungan malam.
Sulit rasanya memilih orang untuk mengemban tugas
mulia ini, biasanya dipergilirkan. Saat itulah, dering telepon di kosan terasa
sangat angker. Lebih baik berpura-pura tidak ada, pura-pura pingsan, daripada
menjawab telepon yang biasanya tau-tau memberitahukan perintah kunjungan malam.
Pertemuan dengan bos saat kunjungan malam biasanya
menggambarkan nasib baik dan buruk, ada yang bertemu bos ramah yang
menyampaikan segala pesan dengan welas asih, adapula yang bertemu bos
"unik" yang mengajak untuk terus berpikir dalam rangka mencerna
berbagai doktrinnya.
Misalnya, suatu ketika ada setumpuk piring kotor di
meja beranda himpunan. Adalah seorang kuya yang sedang sial disuruh mencuci
piring, saat akan segera bergerak mencuci sang bos berkata.
“Eits, tunggu dulu, kenapa kau mau mencuci piring
ini?”
“Karena disuruh sama bos.” Maka disentil telinga
kiri.
“Kenapa?”
“Karena piringnya kotor bos.” Maka disentil telinga
kanan.
Demikian berulang kali sampai telinga kiri kanan
merah semua. Rasanya lebih baik mencuci seribu piring daripada ditanya kenapa
harus menucuci piring, yang jawabannya sangat relatif itu. Ada juga yang
diperintahkan ke jawa untuk membeli pecel lele, es teh dan sebungkus rokok,
dengan dibekali uang lima ribu. Yang diperintah akan menatap uang itu dengan
bingung, karena tidak akan cukup buat membeli semua itu, lalu sang bos akan
membentak.
“Kow pikirlah gimana caranya, pergi sana, lima
menit!” Maka yang diperintah akan segera lari ke warung, melakukan sesuai
perintah, entah bagaimana pula caranya, hanya pelaku dan Tuhan yang tau.
Ketua kaderisasi pada waktu itu, bermuka sangat
angker dan sangat konsisten dengan keangkerannya, tak pernah barang sekali kami
melihatnya tersenyum. Demikian juga panitia lainnya, jarang menampakkan wajah
bersahabat bila bertemu muka. Dan jika melewati teras depan himpunan, dijamin
hari akan berakhir buruk.
Biasanya hal ini menimbulkan trauma untuk mendekati
sekre himpunan HMS dan sekitarnya atau bertemu orang-orang berjaket hijau. Jika
orang biasa melakukan trade off antara jarak perjalanan dengan biaya, maka kita
akan mentrade off antara biaya, jarak perjalan atau apa saja dengan tidak
bertemu orang berjaket hijau HMS. Lebih baik jalan berkilo-kilo atau membayar
sejumlah tertentu daripada bertemu mereka.
BOIKOT
Tentunya sulit bertahan dengan kegiatan kaderisasi
yang semacam itu, sehingga akhirnya satu angkatan memutuskan untuk memboikot.
Kami tidak akan mengikuti acara kaderisasi lagi. Peduli amat dengan menjadi
anggota himpunan atau tidak, kami ingin diperlakukan dengan lebih manusiawi.
Berbagai pro dan kontra merangkai diskusi yang panas pada waktu pengambilan
keputusan itu. Terjadilah boikot selama beberapa waktu.
Namun entah bagaimana, HMS ITB selalu pintar,
selalu punya posisi tawar, pandai berdialektika, sehingga tak berapa lama
akhirnya kami mengikuti lagi acara itu, dengan sukarela. Malah mengakibatkan
pencopotan ketua angkatan dan penggantian berbagai koordinator kelas. Saat itu
aku terpilih menjadi koordinator kelas untuk menggantikan koodinator
sebelumnya. Dan jika menjadi peserta saja terasa berat, maka menjadi
koordinator atau ketua angkatan berkali lipat bebannya.
Acara kembali dilanjutkan. Pada berbagai acara,
setelah jiwa dan raga dalam kondisi begitu lelah setelah berbagai aktivitas
fisik, harus pula meneriakkan pernyataan mengandung doktrin dahsyat.
“Ilmu logika, jika dan hanya jika aku anggota HMS,
maka ketua himpunan adalah pemimpinku. Jika dan hanya jika aku menjadi anggota
HMS, maka anggota himpunan adalah saudaraku. Jika dan hanya jika aku anggota
HMS, maka yang nonhim, busuk! Cuih!”
Melalui itu semua, dengan semangat kebersamaan,
kita tetap bertahan hingga memasuki acara akhir. Meski seiring berjalannya
acara, ada yang berpikir, kenapa bisa begini salah memilih jurusan. Ada satu
dua yang pergi untuk pindah kampus, mungkin karena alasan ini, mungkin juga
dengan alasan lainnya.
ACARA AKHIR
Jika acara pengantarnya sedemikian rupa, tentu
acara akhirnya tak akan kalah spektakuler. Acara akhir dilaksanakan di suatu
desa, berupa bakti sosial memperbaiki jaringan irigasi. Tujuannya memang mulia,
membantu penduduk desa memperbaiki jaringan irigasinya, tetapi dalam prosesnya
berbagai bentakan, tamparan mengiringi ketertindasan, ketakutan, kelaparan dan
kehausan.
Acara dimulai setiap pagi dan berakhir malam hari
selama seminggu. Tak cukup dengan itu, dilanjutkan pula dengan long march dari
bilangan Soreang, Bandung Selatan ke kampus di Bandung Utara di tengah malam,
sekitar lima jam perjalanan dengan memanggul ransel besar.
Sampailah di ujung acara dimana kami dalam keadaan
lelah dan hampir kehabisan tenaga, mendapatkan tenaga baru saat menyanyi sambil
mengubah lagu mars, dari “kalian HMS ITB” menjadi “kami HMS ITB”. Semua lelah,
derita, airmata, duka, tawa, semua emosi terangkum menjadi satu. Saat para bos
memberikan jaket berwarna hijau, dengan lambang Himpunan Mahasiswa Sipil ITB di
dada kiri. Pengorbanan segala emosi dan sumber daya seolah terbayar lunas
dengan memakai jaket kusam, bau, berwarna hijau itu.
Terkadang, secara pribadi, aku masih heran
bagaimana dulu bisa bertahan. Bagaimana bersama teman-teman seangkatan bisa
sama-sama melalui berbagai proses kaderisasi yang berat secara fisik dan mental
ini. Terutama untuk teman wanita, yang biasanya aspek perasaannya lebih
menonjol, bagimana mereka bisa bertahan?
Yang kusadari, bahwa manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang unggul, yang memiliki mekanisma pertahanan diri, dengan
berbagai caranya. Bahwa saat sedang menderita, melihat wajah teman yang senasib
sependeritaan menimbulkan perasaan terhibur tertentu, yang unik. Saat berjalan
longmarch itu, bisa dilalui dengan motivasi akan menikmati es degan di ujung
jalan. Kadang-kadang bisa pula dengan menganggap semua itu sebagai permainan
peran dan sandiwara. Terkadang semangat dan emosi bisa naik hingga puncaknya,
kadangkala juga menurun hingga jurangnya, namun satu dua kawan akan selalu ada
untuk saling bantu. Mungkin itu yang menyebabkan satu angkatan bisa bertahan.
Tentunya, realitas hidup bisa lebih kejam daripada simulasi-simulasi ini,
kenyataan bahwa kami bisa dan selalu bertahan bisa menjadi motivasi dan memberi
kekuatan baru untuk melalui semuanya.
Ada masanya ketika berbagai kegiatan, acara dan
ketertindasan itu menjadi suatu cerita menarik, yang indah untuk diceritakan
dan ditertawakan, meski tetap tidak ada yang bersedia untuk mengulang kembali.
HIMPUNAN
Saat menjadi anggota himpunan, ternyata perasaan
euforia oleh pelantikan hanya berlangsung sementara. Masih ada ketertindasan
dari senior-senior, masih dipertanyakan kemampuannya, masih dipertanyakan
kebersamaan dan militansinya, masih harus menunjukkan diri.
Berbagai kegiatan menjadi ajang pembuktian di
himpunan, untuk membuktikan bahwa pelantikan dan pemberian jaket hijau itu
terbukti layak. Itulah masa-masa kerja keras, menjadi panitia berbagai
kegiatan. Suatu waktu masih sering tertindas. Sebut saja menjadi panitia
wisuda, dimana biaya wisuda yang dibebankan kepada wisudawan telah dihitung
secara seksama sebesar seratus ribu rupiah per orang. Melalui mekanisme
presentasi dari panitia terhadap wisudawan, maka biaya itu bisa berkurang
menjadi 50 ribu per wisudawan berkat keahlian mereka bersilat lidah. Maka
panitia yang bekerja keras mengumpulkan dana serta mengurangi pengeluaran, dan
seringnya berhasil.
Terkadang ada pula kesepakatan untuk menciptakan
musuh bersama dari luar, sehingga sering terjadi perkelahian dengan himpunan
lain seperti dari himpunan tambang dan geologi. Berbagai aksi saling berbalas
pukulan karena masalah sepele sering tak terelakkan. Itulah salah satu
penjabaran militansi, pada masa itu.
Secara historis, ada indikasi bahwa militansi
himpunan ini akibat dari normalisasi kehidupan kampus (NKK) oleh rezim berkuasa
dengan militernya pada tahun 1978. Sehingga basis kekuatan politik kampus
dikembalikan ke kantong jurusan, untuk menjawab tantangan ini diperlukan kader
yang tangguh yang harus melewati metode pengaderan yang tak biasa. Seiring
waktu, ada anggapan bahwa metode kaderisasi ini tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman.
Namun, tentunya kaderisasi yang terlihat sangar ini
bukannya tanpa konsep. Setidaknya, latar belakang, tujuan, metode pelaksanaan,
metode pengukuran telah dipertimbangkan melalui berbagai proses dialektika
dalam forum-forum diskusi kaderisasi oleh panitia kaderisasi, pengurus himpunan
serta swasta. Semua terangkum dengan jelas dalam materi kaderisasi, salah satu
yang sering dijadikan referensi adalah metode pedagogi of the oppressed,
pendidikan kaum tertindas, entah bagaimana proses penurunannya.
Yang jelas, metode dan teknis lapangannya telah
disepakati secara komunal. Pernah terjadi diskusi luar biasa dengan tema
sentral “Apakah akan dilakukan pengkoranan (pemukulan dengan gulungan Koran
kepada peserta pada saat jalan jongkok, push up, sit up dsb) pada masa intensif menjelang
pelantikan?” Untuk menjawabnya, terjadi diskusi semalam suntuk, ibarat
pertunjukan wayang, di himpunan. Bahkan diskusi tidak selesai pada malam itu,
sehingga harus dilanjutkan pada malam berikutnya. Metode pengambilan keputusan
dengan cara voting untuk menutup diskusi dengan cepat adalah cara yang haram
dilakukan.
Dengan menjadi anggota himpunan, muncul kesadaran
bahwa lelah yang dialami peserta sebelas dua belas saja dengan lelah yang
dialami panitia, bahwa panitia memulai lelahnya bahkan sebelum peserta diterima
di teknik sipil.
Itulah HMS ITB dan sekitaran kaderisasinya pada
masa itu. Entah bagaimana HMS pada masa kini, entah bagaiman kaderisasi saat
ini. Belum ada kesimpulan bahwa pelaksanaan kaderisasi yang intensif, lama dan
mengandung kekerasan menjadi faktor yang menentukan (atau tidak menentukan)
militansi dan partisipasi anggotanya dalam berorganisasi maupun dalam menjawab
berbagai tantangan untuk masa depan bangsa.
Yang jelas, hingga bertahun-tahun setelah itu,
setiap kali memakai jaket hijau itu, tetap menimbulkan perasaan bangga,
supremasi atas diri, bahwa perjuangan berat telah dilalui untuk mendapatkannya.
Selalu hadir semangat dan emosi setiap menyanyikan mars nya, kepalan tangan
diangkat, sambil melompat-lompat, sambil berteriak-teriak tak peduli nada,
irama atau segala norma lainnya.
Kami HMS ITB
bersatu padu
Dibawah
almamater ITB tercinta
Melangkah
dengan gagah dan perkasa meraih cita-cita
Berbakti dan
berkarya tuk negara Indonesia
Tak gentar
akan rintangan dan cobaan
Dengan
semangat ayo maju terus..
HIDUP HMS
ITB!!!