Pada mulanya, kukira
Negara maju seperti United Kingdom (UK) warga negaranya sejahtera,
sehingga tak ada yang menjadi tunawisma dan meminta-minta. Namun,
rupanya di sepanjang jalan dari lingkungan kampus menuju ke city centre
juga seringkali terdapat beberapa orang tunawisma yang duduk-duduk di
pinggir jalan mengharap bantuan dari orang-orang yang lewat.
Secara statistik, jumlah gelandangan di seluruh UK sebanyak 380 ribu orang, atau sekitar 0.6 persen populasi. Jumlah yang cukup sedikit jika dibandingkan dengan di Indonesia yagn diperkirakan mencapai 15 juta jiwa atau sekitar 6 persen populasi. Bagaimana cara pemerintah UK menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis ini? Sebagai Negara maju, dengan tingkat pendapatan perkapita yang tinggi, tentunya UK cukup memiliki anggaran untuk kegiatan penanggulangan kemiskinan, hal yang erat kaitannya dengan potensi menjadi gelandangan.
Jika dilihat berdasarkan pendapatan dari pajak, UK menerapkan system pajak bertingkat berkisar dari 10 sampai 50 persen. Pendapatan pajak di UK mencapai 37.5 persen dari GDP, sementara pajak penghasilan adalah sumber utama pendapatan pajak yang mencapai 155 billion per tahun. Sebagai kompensasi untuk persentase pajak penghasilan yang besar, tentunya berbagai fasilitas umum untuk kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, kemudahan, keamanan, sarana dan prasarana warga negaranya sebesar mungkin disediakan pemerintah. Salah satunya berupa program yang menjangkau kalangan mansyarakat miskinnya, yaitu berbagai tunjangan.
Untuk pengangguran, dengan devinisi usia di atas 18 tahun yang belum bekerja atau bekerja dengan waktu kurang dari 16 jam seminggu, tersedia tunjangan berupa unemployment benefit yang disebut dengan Job Seeker Allowance (JCA). Besarnya tunjangan adalah 71 GBP per minggu atau sekitar satu juta dalam kurs rupiah.
Tunjangan ini diberikan dengan berbagai perjanjian seperti berusaha mencari pekerjaan, menghubungi beberapa perusahaan setiap minggu dsb dengan evaluasi bulanan. Bagi yang sudah 12 minggu tidak mendapat pekerjaan akan masuk ke bagian “the work programme”, untuk pelatihan peningkatan keahlian dsb. Program ini ideal, selain membantu keuangan untuk mencukupi kebutuhan hidup minimal, juga mendorong para pengangguran untuk terus mengembangkan diri dan mencari pekerjaan.
Selain tunjangan ini, ada berbagai tunjangan lain seperti income support yaitu tunjangan yang diberikan untuk orang yang berkerja namun penghasilannya rendah. Ada juga housing benefit, tunjangan yang diberikan untuk membantu orang-orang yang kesulitan membayar sewa rumah, serta berbagai tunjangan lainnya.
Kedengarannya sudah ideal, mungkin lebih baik daripada program serupa di Indoensia, jika memang ada. Namun mengapa masih ada yang menganggur dan berkeliaran di jalanan? Ternyata, meskipun Negara maju, perkembangan ekonomi dan tingkat penyerapan lapangan kerja tetap tidak sebanding dengan angkatan kerjanya, sehingga tetap banyak yang tidak bisa mendapat pekerjaan, disamping anomali bahwa ada sebagian kecil orang yang justru enggan bekerja. Selain itu, ternyata ada juga pengangguran yang tidak bisa menjangkau program ini karena tidak bisa memenuhi peryaratannya. Orang yang tidak punya tempat tinggal memiliki potensi untuk kesulitan mengklaim benefit ini. Akibatnya sebagian pengangguran terpaksa menjadi gelandangan dan pengemis. Orang-orang pada wilayah tersebut, yang rawan untuk menjadi miskin, menganggur dan menjadi tuna wisma, akan semakin mengalami kesulitan untuk keluar darinya.
Demikianlah, sehingga gelandangan tetap berkeliaran, dianggap sebagai salah satu masalah sosial dan sering menimbulkan kecemasan terhadap orang-orang di dekatnya. Orang-orang cenderung merasa enggan untuk mengambil uang di ATM atau menunjukkan uang atau barang kepemilikannya jika berada dekat dengan gelandangan.
Sebagian besar gelandangan juga sangat terkait dengan penyalahgunaan obat-obatan dan ketergantungan alkohol, salah satu penelitian menyebut persentasenya 80 persen dari populasi. Mungkin minuman dan obat-obatan tersebut bisa membantu mereka keluar dari kehidupan yang kurang besahabat ini, sehingga semakin sulit untuk keluar darinya.
Meskipun bukan tindakan kriminal, oleh pemerintah pernah diambil tindakan untuk menangkap para pengemis dengan alasan mengurangi kecemasan publik dari kemungkinan tindakan agresif saat meminta atau yang mengarah pada kriminal. Kebijakan ini dikecam oleh berbagai lembaga amal yang mengatakan bahwa kebijakan ini tidak tepat, tidak efektif dan tidak menyelesaikan akar masalah.
Selain regulasi dari pemerintah, berbagai lembaga kemanusiaan juga berusaha untuk menyelesaikan masalah gelandangan dan pengemis. Salah satunya adalah Thames Reach, yang berpusat di London, yang visinya sangat mulia untuk menolong orang-orang yang lemah, tidak punya rumah dan menggelandang dengan cara memberikan bantuan tempat tinggal, menyalurkan kepada pelatihan dan lapangan kerja, membangun kembali hubungan sosialnya, membantu memperbaiki kondisi mentalnya, membantu menghilangkan kebiasaan buruk, kecanduan obat-obatan dan minuman keras. Dilaporkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir sudah 20 ribu orang ditolong untuk keluar dari kehidupan jalanan.
Betapapun idealnya, tak semua usaha bisa mencapai hasil yang sempurna. Masih banyak gelandangan dan pengemis berkeliaran di London, Leeds maupun kota-kota lain di UK. Setiap kali melihat satu dua gelandangan yang mengemis, terjadi dilemma untuk sedikit memberi atau untuk berlalu begitu saja.
Jika memberi uang, yang tentunya dilandasi oleh rasa kasihan, seringkali berarti membenarkan para pengemis untuk tetap menjadi pengemis. Terkadang memberi uang itu hanya akan dimanfaatkan untuk memanjakan mereka dengan ketergantungan pada obat-obatan dan minuman keras. Dalam hal ini, memberi uang kepada pengemis membuat kehidupan mereka lebih terancam karena mereka tidak akan berhenti mengemis dan tak berusaha memperbaiki kehidupannya.
Jika para pengemis tidak mendapatkan uang, mungkin timbul keinginan untuk merubah nasib dengan cara bergabung ke lembaga sosial yang bisa membantu mencari jalan keluar masalahnya dan membantunya mencari pekerjaan. Namun hadir juga kekhawatiran bahwa jika mereka tidak mendapat uang dari mengemis justru akan beralih menjadi pelaku kriminal, meski salah satu penelian menyebut bahwa angka kejahatan tidak bertambah ketika kegiatan mengemis dilarang.
Ada pengemis yang mengemis karena faktor sikap mental yang kurang baik, malas dsb, ada juga yang semata-mata karena keterpaksaan. Cukup sulit membedakan mana orang-orang yang benar-benar membutuhkan uang sekedar untuk makan dan bertahan hidup dan yang mana yang menjadikan mengemis sebagai profesi untuk mendapatkan uang karena memang malas bekerja.
Jika orang menjadi pengemis karena keterpaksaan, sekedar untuk bertahan hidup saat sudah mencoba berbagai cara untuk bekerja, tentunya ini menjadi salah satu dosa penyelenggara pemerintahan. Pemerintah yang belum sukses mengupayakan pendidikan atau membuka akses terhadap pekerjaan. Sehingga mau tak mau, pemerintahlah yang paling berkewajiban untuk menjawab permasalahan ini melalui berbagai upaya peningkatan ekonomi, penyediaan pendidikan dan pelatihan dsb. Tentunya bantuan dari organisasi-organisasi sosial yang didukung oleh bantuan keuangan dari orang-perorang tetap dibutuhkan agar jangkauan keberhasilanya lebih luas.
Jika di UK yang notabene adalah Negara maju dengan sumberdaya manusia dan finansialnya yang baik permasalahan ini belum bisa diselesaikan, ada indikasi menyelesaikannya di Indonesia dengan persentase dan jumlah yang lebih besar dan area yang sangat luas, bisa lebih sulit lagi. Dalam kasus pemerintah Indonesia, sebuah legenda bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara sepertinya hampir terlupakan.
Entahlah, dan kenapa pula aku sampai menulis tentang masalah ini? Mungkin karena setiap melewati satu dua pengemis yang dipinggir jalan, selalu muncul dualisme antara tega tidak tega, memberi tidak memberi, membantu tidak membantu. Setidaknya menulis tentangnya bisa setidaknya sedikit mengurangi beban pikiran..
Secara statistik, jumlah gelandangan di seluruh UK sebanyak 380 ribu orang, atau sekitar 0.6 persen populasi. Jumlah yang cukup sedikit jika dibandingkan dengan di Indonesia yagn diperkirakan mencapai 15 juta jiwa atau sekitar 6 persen populasi. Bagaimana cara pemerintah UK menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis ini? Sebagai Negara maju, dengan tingkat pendapatan perkapita yang tinggi, tentunya UK cukup memiliki anggaran untuk kegiatan penanggulangan kemiskinan, hal yang erat kaitannya dengan potensi menjadi gelandangan.
Jika dilihat berdasarkan pendapatan dari pajak, UK menerapkan system pajak bertingkat berkisar dari 10 sampai 50 persen. Pendapatan pajak di UK mencapai 37.5 persen dari GDP, sementara pajak penghasilan adalah sumber utama pendapatan pajak yang mencapai 155 billion per tahun. Sebagai kompensasi untuk persentase pajak penghasilan yang besar, tentunya berbagai fasilitas umum untuk kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, kemudahan, keamanan, sarana dan prasarana warga negaranya sebesar mungkin disediakan pemerintah. Salah satunya berupa program yang menjangkau kalangan mansyarakat miskinnya, yaitu berbagai tunjangan.
Untuk pengangguran, dengan devinisi usia di atas 18 tahun yang belum bekerja atau bekerja dengan waktu kurang dari 16 jam seminggu, tersedia tunjangan berupa unemployment benefit yang disebut dengan Job Seeker Allowance (JCA). Besarnya tunjangan adalah 71 GBP per minggu atau sekitar satu juta dalam kurs rupiah.
Tunjangan ini diberikan dengan berbagai perjanjian seperti berusaha mencari pekerjaan, menghubungi beberapa perusahaan setiap minggu dsb dengan evaluasi bulanan. Bagi yang sudah 12 minggu tidak mendapat pekerjaan akan masuk ke bagian “the work programme”, untuk pelatihan peningkatan keahlian dsb. Program ini ideal, selain membantu keuangan untuk mencukupi kebutuhan hidup minimal, juga mendorong para pengangguran untuk terus mengembangkan diri dan mencari pekerjaan.
Selain tunjangan ini, ada berbagai tunjangan lain seperti income support yaitu tunjangan yang diberikan untuk orang yang berkerja namun penghasilannya rendah. Ada juga housing benefit, tunjangan yang diberikan untuk membantu orang-orang yang kesulitan membayar sewa rumah, serta berbagai tunjangan lainnya.
Kedengarannya sudah ideal, mungkin lebih baik daripada program serupa di Indoensia, jika memang ada. Namun mengapa masih ada yang menganggur dan berkeliaran di jalanan? Ternyata, meskipun Negara maju, perkembangan ekonomi dan tingkat penyerapan lapangan kerja tetap tidak sebanding dengan angkatan kerjanya, sehingga tetap banyak yang tidak bisa mendapat pekerjaan, disamping anomali bahwa ada sebagian kecil orang yang justru enggan bekerja. Selain itu, ternyata ada juga pengangguran yang tidak bisa menjangkau program ini karena tidak bisa memenuhi peryaratannya. Orang yang tidak punya tempat tinggal memiliki potensi untuk kesulitan mengklaim benefit ini. Akibatnya sebagian pengangguran terpaksa menjadi gelandangan dan pengemis. Orang-orang pada wilayah tersebut, yang rawan untuk menjadi miskin, menganggur dan menjadi tuna wisma, akan semakin mengalami kesulitan untuk keluar darinya.
Demikianlah, sehingga gelandangan tetap berkeliaran, dianggap sebagai salah satu masalah sosial dan sering menimbulkan kecemasan terhadap orang-orang di dekatnya. Orang-orang cenderung merasa enggan untuk mengambil uang di ATM atau menunjukkan uang atau barang kepemilikannya jika berada dekat dengan gelandangan.
Sebagian besar gelandangan juga sangat terkait dengan penyalahgunaan obat-obatan dan ketergantungan alkohol, salah satu penelitian menyebut persentasenya 80 persen dari populasi. Mungkin minuman dan obat-obatan tersebut bisa membantu mereka keluar dari kehidupan yang kurang besahabat ini, sehingga semakin sulit untuk keluar darinya.
Meskipun bukan tindakan kriminal, oleh pemerintah pernah diambil tindakan untuk menangkap para pengemis dengan alasan mengurangi kecemasan publik dari kemungkinan tindakan agresif saat meminta atau yang mengarah pada kriminal. Kebijakan ini dikecam oleh berbagai lembaga amal yang mengatakan bahwa kebijakan ini tidak tepat, tidak efektif dan tidak menyelesaikan akar masalah.
Selain regulasi dari pemerintah, berbagai lembaga kemanusiaan juga berusaha untuk menyelesaikan masalah gelandangan dan pengemis. Salah satunya adalah Thames Reach, yang berpusat di London, yang visinya sangat mulia untuk menolong orang-orang yang lemah, tidak punya rumah dan menggelandang dengan cara memberikan bantuan tempat tinggal, menyalurkan kepada pelatihan dan lapangan kerja, membangun kembali hubungan sosialnya, membantu memperbaiki kondisi mentalnya, membantu menghilangkan kebiasaan buruk, kecanduan obat-obatan dan minuman keras. Dilaporkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir sudah 20 ribu orang ditolong untuk keluar dari kehidupan jalanan.
Betapapun idealnya, tak semua usaha bisa mencapai hasil yang sempurna. Masih banyak gelandangan dan pengemis berkeliaran di London, Leeds maupun kota-kota lain di UK. Setiap kali melihat satu dua gelandangan yang mengemis, terjadi dilemma untuk sedikit memberi atau untuk berlalu begitu saja.
Jika memberi uang, yang tentunya dilandasi oleh rasa kasihan, seringkali berarti membenarkan para pengemis untuk tetap menjadi pengemis. Terkadang memberi uang itu hanya akan dimanfaatkan untuk memanjakan mereka dengan ketergantungan pada obat-obatan dan minuman keras. Dalam hal ini, memberi uang kepada pengemis membuat kehidupan mereka lebih terancam karena mereka tidak akan berhenti mengemis dan tak berusaha memperbaiki kehidupannya.
Jika para pengemis tidak mendapatkan uang, mungkin timbul keinginan untuk merubah nasib dengan cara bergabung ke lembaga sosial yang bisa membantu mencari jalan keluar masalahnya dan membantunya mencari pekerjaan. Namun hadir juga kekhawatiran bahwa jika mereka tidak mendapat uang dari mengemis justru akan beralih menjadi pelaku kriminal, meski salah satu penelian menyebut bahwa angka kejahatan tidak bertambah ketika kegiatan mengemis dilarang.
Ada pengemis yang mengemis karena faktor sikap mental yang kurang baik, malas dsb, ada juga yang semata-mata karena keterpaksaan. Cukup sulit membedakan mana orang-orang yang benar-benar membutuhkan uang sekedar untuk makan dan bertahan hidup dan yang mana yang menjadikan mengemis sebagai profesi untuk mendapatkan uang karena memang malas bekerja.
Jika orang menjadi pengemis karena keterpaksaan, sekedar untuk bertahan hidup saat sudah mencoba berbagai cara untuk bekerja, tentunya ini menjadi salah satu dosa penyelenggara pemerintahan. Pemerintah yang belum sukses mengupayakan pendidikan atau membuka akses terhadap pekerjaan. Sehingga mau tak mau, pemerintahlah yang paling berkewajiban untuk menjawab permasalahan ini melalui berbagai upaya peningkatan ekonomi, penyediaan pendidikan dan pelatihan dsb. Tentunya bantuan dari organisasi-organisasi sosial yang didukung oleh bantuan keuangan dari orang-perorang tetap dibutuhkan agar jangkauan keberhasilanya lebih luas.
Jika di UK yang notabene adalah Negara maju dengan sumberdaya manusia dan finansialnya yang baik permasalahan ini belum bisa diselesaikan, ada indikasi menyelesaikannya di Indonesia dengan persentase dan jumlah yang lebih besar dan area yang sangat luas, bisa lebih sulit lagi. Dalam kasus pemerintah Indonesia, sebuah legenda bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara sepertinya hampir terlupakan.
Entahlah, dan kenapa pula aku sampai menulis tentang masalah ini? Mungkin karena setiap melewati satu dua pengemis yang dipinggir jalan, selalu muncul dualisme antara tega tidak tega, memberi tidak memberi, membantu tidak membantu. Setidaknya menulis tentangnya bisa setidaknya sedikit mengurangi beban pikiran..
weew mas wahyu, Matlock nya jangan lupa di tulis, biar ntr ngalahin edensor nya si andrea :D
ReplyDeleteaamiin.. hehehe, trims sudah mampir ya nabilla..
ReplyDeleteSubhanallah, aartikel yang bagus :)
ReplyDeleteAlhamdulillah, karena dibilang bagus jadinya ku edit-edit lagi deh, karena blom sesuai ekspektasi.. :D
ReplyDelete