Sepotong
bulan kepagian menarik sepasang mata untuk melihat dari balik jendela, untuk memandangi
yang ada di dekat sini atau yang dikejauhan sana demi sekedar menerbitkan
berbagai rasa.
Bulan yang pucat itu menggantung tanggung di langit yang kelabu. Lampu-lampu malam mulai dihidupkan,
ritme kehidupan mulai menurun. Wahai bulan, kemana cahaya indah yang selama ini
kau pancarkan. Kenapa gelap harus datang sebelum cahayamu menjadi terang.
Kenapa kau hanya ada diluar sana, menatap dari kejauhan. Dedaunan masih hijau
dan riang diwaktu engkau datang, memberi suasana sama di sini, di balik jendela. Seperti biasa datang dan pergi gelap gulitanya malam, terang benderang dalam
siang juga hadir berhias langit kelabu daripada biru.
Suatu ketika dedaunan pohon itu segera menguning dan mulai berjatuhan, sebagaimana yang sudah tercatat pada
buku besar kehidupan. Hanya bisa kutatapi satu persatu daun menguning itu, yang bersusah payah
memberi perannya yang terakhir untuk menyuburkan alam. Ikut luruh perasaanku
terkadang, dari sepasang mata yang menatap dari balik jendela.
Seiring berlalunya waktu, bulan kembali datang, semakin dekat, semakin
bercahaya. Semakin pula ia membangkitkan rasa sekaligus menghadirkan
tanya, bulan yang ini apakah sama dengan bulan yang ada luar
jendelanya? Saat bulan mengingatkan sepasang mata dari balik jendela
padanya, apakah bulan itu mengingatkannya pada pemilik sepasang mata
dari balik jendela? meski bulan selalu mengingatkan pada senyuman dan
keindahan disela-sela hiruk pikuk pencarian pengetahuan dan pengejaran
mimpi, namun bulan tetaplah bulan, malam tetaplah malam, sekajap dia
datang lalu menghilang. Perasaan bahagia, sedih, siang, malam, teman dan
segala sesuatu datang dan pergi sudah biasa dalam kehidupan.
Di ketika lain angin begitu kencang meniup segala rupa seraya
memperdengarkan desau-desau menggetarkan kaca jendela. Kupandangi pohon
yang tanpa daun itu, yang meronta mencoba bertahan, jika daun-daun itu
masih ada disitu, tentu sudah jatuh berdebam sang pohon mencium muka
tanah yang basah. Seketika dari langit menjelma butiran-butiran putih
halus bagai kapas yang menikmati belai angin. Menciptakan momen syahdu
pada mata di balik jendela yang tak menyanggupi ajakan menarikan nada
alam. Mata itu sudah lelah, dinginnya yang membekukan segala raga dan
rasa hanya mampu ditahan dengan berlindung di balik selimut yang
nyaman.
Dari
balik jendela pula, ketika mentari pagi mencoba menyeruak menyinar memberi hangat, permadani
putih menghampar menutupi segala sesuatu dalam arah pandang. Rasa ingin
menjejaki dan menari-nari diantara tumpukan salju itu seketika tak terhankan, membuat mata
dibalik jendela terlupa pada bulan, terlupa pada badai semalam juga bahkan pada bisik-bisik mimpi barusan.
Berwaktu-waktu yang berlalu membuat salju lalu mencair, malam yang
panjang perlahan menyusut. Tunas-tunas kecil mulai tumbuh di pohon itu,
bunga-bunga kecil mulai menyebar di atas rumput, merekah dengan
warna-warni ceria. Semua seolah-olah ingin memberi tahu bahwa
harapan-harapan baru selalu akan muncul dari ketiadaan. Keindahan bunga
akan muncul dari halaman yang semula membosan. Oleh karenanya mata
dibalik jendela tak perlu khawatir akan ketiadaan bulan, masih banyak
warna lain yang memberi arti wilayah pandang.
Lama-lama tunas kecil di antara ranting-ranting pohon menjelma juga menjadi dedaunan, berubah warnanya dari muda hingga menua. Bertambah sedikit demi sedikit seiring waktu yang berlalu hingga menyebar menutupi ranting yang mulanya telanjang. Dengannya seruan angin dijawab dengan tarian penuh harapan akan kehidupan, akan kesegaran.
Dari balik jendela sepasang mata memperhatikan semua, hanya dari balik jendela. Bahkan saat daun-daun itu beralih dari ada, menjelang tiada, menuju ada lagi, mata yang menatap dari balik jendela seringkali merasa kosong, berusaha menemukan hiburannya dari hal-hal kecil. Dari sepasang burung yang membangun sarang dan bercanda mesra setiap pagi, semata-mata karena ketiadaan cahaya bulan.
Pada hati yang dimiliki oleh mata dibalik jendela, betapa musim telah berlalu dan berganti, belum ada daun-daun baru yang tumbuh, belum juga bunga-bunga baru yang mekar untuk mengundang getar akibat kupu yang menjejak langkah dalam tari dari satu putih ke putik lain. Musim harus berganti lagi, menyisakan satu dua tanya pada mata yang mengamati dari balik jendela.
itu fotonya saksi bisu empat musim ya bang.... bagus..bagus...
ReplyDeleteternyata suka juga to mengamati dari balik jendela
iya anggi, biar mata ga rusak melulu ke monitor dan buku jadi diselingi mengamati suasana luar..
ReplyDeleteEmang tinggal di lantai berapa sih kak? :p
ReplyDeletetinggal di lantai tiga.. :)
ReplyDeleteYow, kau makin menggila saja... untaian kata-kata mu membuat aku mabuk dan hampir muntah. Indah sekali pilihan katanya mas bro..
ReplyDeletehuehehehe bang Firman, thanks man.. :D
ReplyDeleteitu fotonya bagus sekali..berpadu dengan rangkaian deskripsi 4 musim yang indah ...
ReplyDeletehai faiza, long time no see.. makasih.. makasih..
ReplyDeletesubhanallah...
ReplyDeleteindahnya hidup bisa mengalami 4 musim.
deskripsi dan idenya bisa buat inspirasi. Terima kasih.
tulisan yang indah
Alhamdulillah, klo cuma sebentar sih gapapa, tapi klo kelamaan di empat musim tersiksa juga, mending iklim tropis deh..
ReplyDeleteterimakasih sudah mampir dan membaca Rinna Prasma :)