Kereta yang kutumpangi dari Stasiun
Roma Termini menuju Firenze S.M.N. di sebelah utara meluncur dengan cepat. Di
hadapanku duduk sepasang remaja berwajah asia yang menyebalkan, sepanjang jalan
mereka bermesraan tidak karuan, menyebabkan dua jam perjalanan terasa tidak
menyenangkan, karena di sebelahku duduk pria tengah baya yang terlihat kurang
ramah, sehingga tidak kuajak ngobrol.
Sampailah di Florence alias
Firenze alias Florentia alias Fiorenza, satu kota dengan banyak nama ini. Hari
sudah pukul empat sore ketika kulangkahkan kaki ke luar stasiun. Seperti biasa,
tempat pertama yang kutuju adalah tourist information, karena aku belum
merencanakan itinerary untuk tempat-tempat wisata selama di kota ini. Maka
berjalanlah ke tourist information di sebelah kanan stasiun.
Di sana ada orang, karena
ini informasinya memang untuk orang. Mereka bisa bahasa inggris seperti
biasanya. Maka aku meminta peta, gratisan, lalu meminta petunjuk objek wisata
di kota ini. Petugasnya, seorang wanita muda yang telah terbiasa mendapat
pertanyaan serupa menjelaskan dengan cepat tempat wisata yang bisa didatangi selama
satu hari liburan, sambil corat sana coret sini di peta.
Kuketahui kemudian bahwa
letak kota Pisa cukup dekat dari Florence, sehingga memungkinkan untuk
berkunjung ke sana menjelang malam ini. Maka kutanyakan pada petugas.
“Bagaimana menuju Pisa?
Apakah hari ini aku bisa bolak-balik ke sana.” Petugasnya melihat jam sejenak
dan menjawab.
“Ke Pisa memakan waktu satu jam
perjalanan dengan kereta, tetapi jika sudah jam segini, kamu tidak bisa lagi ke
sana karena hari ini ada demo, sehingga kereta berhenti beroperasi pada pukul 7
malam, lebih cepat dari biasanya. Kalau mau ke Pisa, sebaiknya besok saja.”
Katanya.
“Baiklah, satu lagi, tahukah
mbak alamat hotel ini?” Setelah obyek wisata, berikutnya adalah menanyakan
letak hotel, petugas menjelaskan juga dengan cepat cara menuju hotel.
“Bisa ditempuh dengan jalan
kaki 15 menit dari belakang McD sana.” Katanya, sambil menunjuk.
“Terimakasih.” Kataku. Luar
biasa bermanfaatnya sebuah tourist information di pusat kota. Kota wisata di Indonesia
perlu juga menyediakan layanan informasi turis ini di dekat stasiunnya, untuk
membantu turis-turis yang tersesat dan berpotensi tersesat, sepertiku ini.
Maka berjalanlah aku ke
penginapan, belok sekali, tanya sana-sini dan sampai. Di penginapan, aku masih
saja memikirkan ingin ke Pisa, karena ini kesempatan satu-satunya setelah jauh
ke Italia. Sampai penginapan, setelah check ini, kutanyakan kepada resepsionis
hotel.
“Jika aku ingin ke Pisa
bolak-balik hari ini masih bisakah? Naik apakah?” Petugasnya disela-sela
kesibukannya yang melayani banyak turis yang sedang menginap menjawab dengan
singkat.
“Naik kereta, kalo jam
segini sih ga mungkin bisa bolak-balik” begitu katanya, sambil berailh melayani
turis lain, hotel sedang padat dengan tamu-tamu dan berbagai pertanyaannya. Sialun
abang ini, sudah jawabannya ga enak, melayaninya juga tidak melayani.
Tetapi kata sulit, tidak
bisa, tidak mungkin, hanya menjelma menjadi pematik yang membakar rasa
penasaranku. Masa sih? Masa sih ngga bisa? Maka detik itu juga kuputuskan untuk
menuju ke stasiun kereta, mencari kereta yang bergerak menuju Pisa.
Kebetulan di Stasiun ada
kereta yang sedang mangkal, hendak menuju ke Pisa. Aku mendapat kereta jam 5.30
sore, sehingga jam 6.30 sudah bisa sampai di Stasiun Pisa Centrale. Pada musim
panas ini matahari tenggalam jam 8an sehingga kota jam segini kota masih
terang.
Aku menghubungi petugas di
loket stasiun dan menanyakan kapan kereta terakhir berangkat dari Pisa menuju
Florence, katanya kereta terakhir jam 7an, berarti setengah jam lagi. Aku pun
ke luar stasiun dengan langkah tergesa.
Di luar, kutanyakan pada
seorang berkulit gelap yang memakai kupluk putih, bagaimana cara menuju menara
Pisa. Dia menjawab dengan bahasa yang kurang jelas, yang intinya mungkin aku
harus menunggu bis dari halte di dekat gedung situ. Perjalanan ke sana sekitar
15 menit, kalau jalan kaki bisa 30 menit. Setelah menunggu beberapa menit, aku
pun menjadi gelisah, tidak mungkin berangkat menuju Menara Pisa dengan bis,
tidak akan sempat. Aku bimbang, apa kembali ke stasiun saja menunggu kereta pulang
karena kabarnya angkutan yang bisa diandalkan menuju Florence hanya jalur kereta
ini. Masa sudah jauh perjalanan, cuma untuk kembali pulang?
Maka aku berlari ke arah
taksi dan menyuruh anak muda necis berkacamata hitam pengemudinya itu ngebut menuju
Menara Pisa. Tetapi ini adalah kota yang padat sehingga dia tidak bisa ngebut. Pada
satu bagian yang kelihatannya tinggal lurus, si pengemudi malah belok sana-belok
sini membuatku sedikit curiga bahwa dia memperpanjang rute perjalanannya. Setelah
sekitar 10 menit perjalanan, akhirnya sampailah di sana. Waktuku tinggal 15
menit sebelum kereta terakhir ke Pisa.
“Bisa ga abang tunggu di
sini sebentar, sementara saya foto-foto? Apa harus bayar?” tanyaku pada si anak
muda.
“Ya, argo harus tetap hidup.”
Katanya, tidak mau meringankan bebanku.
“Ya sudahlah, silahkan
pergi, nanti aku cari taksi lain saja.” Kataku sambil membayar biaya taksi 8 Euro.
Dengan tergesa-gesa aku berfoto
di depan menara Pisa, jepret sana-jepret sini, tidak sempat naik, tidak sempat berjalan-jalan
ke sekelilingnya, tidak sempat masuk ke gedung pekuburan antik di sebelahnya, tidak
sempat menjelajah katedral di seberangnya, bahkan tidak sempat duduk-duduk di
tamannya dimana orang sedang beraktivitas duduk santai, berpacaran, bermain frishbe,
atau sekedar berfoto dengan aneka gaya yang aneh. Semua itu tidak sempat
kulakukan. Hanya sempat meminta tolong foto orang yang lewat.
Melihat kaosku yang
bertuliskan Oxford University, ibu berkacamaya yang kuminta tolong memfoto
bertanya.
“Mahasiswa Oxford University
mas?” tanyanya. Ingin kujawab dengan jawaban iya yang tegas dan berwibawa serta
jumawa, tetapi tidak bisa.
“Ngga siy, saya kuliahnya di
Leeds University, UK.” Kataku sambil hanya senyum malu.
Sekitar lima menit berfoto,
aku berlari menuju taksi yang sedang mangkal, sayangnya pengemudinya tidak
kelihatan. Menunggu beberapa saat, untunglah ada taksi lewat, supirnya bapak-bapak
berewokan bersurban, melompat, segera menuju ke stasiun.
Dalam 10 menit aku sudah
berada di stasiun, berlari-lari menuruni tangga menyeberang menuju Platform No.5
mencari kereta yang menuju Florence dan 5 menit kemudian pada pukul 7.15 kereta
terakhir menuju Florence ini berangkat. Nafasku masih tersengal-sengal saat
menaiki kereta itu.
Namun aku puas, ternyata
tetap bisa ke Pisa. Ternyata sifat keras kepalaku ada juga baiknya, jika tadi
tidak bersikeras menempuh perjalanan ke Pisa, tentu hari-hari ke depan akan
dihantui rasa penasaran tentang bagaimana menara itu. Meskipun hanya
menghabiskan waktu lima menit di sana, meskipun lima menit berbuah sebuah foto itu
seharga biaya taksi dua kali delapan euro, sekitar 200 ribu rupiah.
Aku hanya tersenyum sambil
menatap matahari terbenam dari balik jendela kereta. Kereta berjalan dengan kecepan
lebih pelan daripada biasanya, melintasi padang rumput, hutan, perbukitan dan
danau yang temaram. Di langit sana sekelompok burung-burung sedang terbang,
mungkin hendak kembali ke sarang. Tentu menyenangkan beramai-ramai seperti
mereka, kembali ke sarang..
Yang penting ada bukti fotonya yak.
ReplyDeletePernah ke Menara Pisa :)
iya iya, yang penting ada bukti fotonya, biarpun foto itu mahal harganya..hehehe
ReplyDeletesetiap lihat postingan orang di pisa biasanya ada foto selfie yg lagi pegang / nahan menara pisa yang mau jatuh hehe.
ReplyDeletekeep posting mas untuk bisa menginspirasikan orang menjelajah.
salam kenal dan blog walking.
www.shu-travelographer.com