Sabtu malam beberapa waktu lalu, karena tidak ada kegiatan, aku
berjalan keluar untuk mencari minum dan makanan ringan. Di depan University,
seorang gelandangan berpakaian kumal yang sudah sering kulihat, menghampiri.
“Sorry, do you have spare changes”
“Sorry, I don’t have right now.”
Lalu dia bertanya.
“Are you from Chinese?”
“No, I am from Indonesia.”
“So, you came from Jakarta.”
“How do you know Jakarta?” tanyaku.
Dan berlanjutlah percakapan kami.
Sebenarnya aku sudah sejak lama ingin ngobrol dengan bapak ini, sejak
pertama melihatnya. Aku yakin, pasti ada kisah menarik tentang kehidupannya
yang bisa dijadikan pelajaran. Aku penasaran dengan pandangannya akan hidup.
Ini adalah kesempatan yang jarang datang, sabtu malam ku sendiri, sedang dingin
dan sepi, jadilah kami berbincang-bincang sejenak sambil berdiri di pinggir
jalan.
Ternyata dia pernah punya istri yang berasal dari Indonesia, meski sudah
bercerai bebeberapa tahun. Istrinya itu seorang muslim keturunan campuran China,
Thailand dan Indonesia, sekarang sudah menikah lagi dengan pria dari Irlandia.
Dua orang anak mereka tinggal bersama istrinya dan tak pernah dia lihat lagi.
Ketika kutanyakan kenapa mereka bercerai, dia menjawab dengan lirih bahwa
istrinya menemukan kebahagiaan bersama orang lain. Oh.. oke, alasan yang sangat
sederhana untuk hidup yang rumit.
Dia sekarang menganut kepercayaan aliran Dalai Lama, tidak
minum-minuman keras, tidak makan daging, meski masih merokok. Kubilang dia cukup
islami, orang islam juga tidak minum. Dia tinggal dan tidur di jalan di dekat
university setiap hari. Udara di Leeds malam hari seringnya dingin sekali,
sehingga tidur diluar tentu bukan piliah menyenangkan. Hal ini dijalaninya selama
dua tahun terakhir, tidak punya rumah, tidak punya pekerjaan. Pakaiannya
terlihat sudah lama tidak dicuci. Sering kudapati pandangannya menerawang,
seperti merasa damai atau bahkan merasa kosong dan putus asa.
Dia ingin suatu saat mengunjungi Borobudur, katanya strukturnya dibangun dengan harmonisasi jiwa yang baik, yang terjaga kelestariannya. Dia bilang suka nasi lemak dan ingin kembali mencicipi masakan Indonesia. Sayang aku tidak bisa membuat nasi lemak.
Dia bilang dia pernah berkuliah, di software engineering, hingga gelar master, lalu mengajar di Singapura selama tujuh tahun. Entah kenapa hidupnya bisa berubah demikian rupa, aku sungkan untuk menanyakannya, mungkin karena perpisahan dengan isterinya tadi.
Akhirnya aku pamit, untuk pergi ke swalayan seperti tujuan awal, membeli
beberapa roti dan mendapat pecahan uang receh. Kubelikan muffin untuknya, jika
nanti bertemu lagi. Namun, ketika bertemu dan kuberikan muffin beserta beberapa
koin, dia justru menolak. Entah apa alasannya, tidak terlalu jelas. Ya
sudahlah, akhirnya aku berlalu pulang, hanya bisa berharap di hari-hari
mendatang kehidupan akan berlaku lebih ramah padanya selain harapan bahwa suatu
saat dia akan menemukan alasan untuk bangkit dan lebih menghargai kehidupannya.
q mo komen sama kaya status di lapak sebelah aj #nggak penting
ReplyDeleteuntuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama. Tidak ada kehidupan yang lebih baik yang bisa didapatkan tanpa melakukan perpindahan dgn kata lain keluar dari zona aman. mungkin itu yg sedang dicoba sama "homeless man" atau mungkin dia kepingin merasakan hidup yang kasar dan juga keras biar lebih dekat dan menyatu deangan alam *halah
ooh.. jangan ikut-ikutan hidup kasar keras dan menyatu dengan alam ya anggi..
ReplyDeleteoh tenang, saya suka kelembutan yg menyatu dg alam #plakk
ReplyDeletehehe banyak nyamuk ya nggie..
ReplyDelete