Saat
bertemunya pertama kali, apakah kau bisa merasakan desir halus mengalun
sampai pada hatimu?
Bila dia berbicara, apakah kau
merasa akan melakukan apa saja untuk mendengarnya satu dua detik lebih lama?
Bila melihat binar matanya, apakah
kau akan menunda kedipan matamu agar bisa melihatnya satu dua kejap lebih lama?
Bila
melihat senyumannya, apakah kau merasa bunga sedang mekar diamana-mana, mengisi duniamu
dengan warna merah jambu?
Bila
melihat tawanya, apakah kau merasakan aneka hormon endorpin, dopamine, dan oksitosin
melimpah ruah, membuatmu merasa candu?
Bila
merayunya, pernahkah kau merasakan cubitan-cubitan kecilnya pada perutmu?
Bila
membuatnya malu, pernahkah kau merasakan gigitan kecilnya pada lenganmu?
Bila menatapnya yang tersipu-sipu,
pernahkah kau ingin abadikan rona pipinya yang kemerahan, lalu menggodanya
dengan panggilan yaa humairo?
Bila
menjadi imam dalam sholatnya, tidakkah kau merasa ingin membaca surat-surat terpanjang
dengan sujud yang terlama?
Bila
tanganmu diciumnya setelah itu, tidakkah kau merasa ingin menjadi imam
selamanya?
Bila mendengarnya mengaji, tidakkah kau merasa begitu damai di sanubari?
Dalam
sakit tak berdayamu, bilakah sosoknya yang seperti penjelmaan bidadari datang
membawakanmu bakmoy?
Bila
dia datang dengan masalah, bukankah kau selalu herhasil mendengarkannya dan
memberikan penyelesaian?
Bila
membicarakan masalahmu padanya, bukankah kau selalu merasa menjadi ringan?
Bila
memarahinya, bukankah kau tak pernah mengucapkan kata-kata yang kasar?
Bila
merasa emosi padanya, bukankah kau tidak akan pernah untuk selamanya melayangkan
tangan?
Bila
melihatnya menangis, bersediakah kau memeluk dan merengkuhnya memberikan kata-kata
yang menenangkan?
Bila
menggenggam tangannya, benarkah kau merasa ingin punya kekuatan untuk
menghentikan waktu?
Bila
memeluknya, benarkah kau merasa bahwa tak ingin melepaskannya lagi, tak ingin
berpisah lagi untuk selamanya?
Bila
mendapati kecup ciumnya, benarkah kau merasa bahwa dirimu melayang tak berpijak
pada realitas bumi manusia?
Bila
gelap malam datang, mungkinkah kau merasa bahwa dia rembulan?
Bila
bulan menghilang, mungkinkah kau merasa bahwa dia bintang yang berpijar?
Bila
pagi menjelang, mungkinkah kau merasa bahwa dia mentari ketika naik sepenggalahan?
Bila harimu muram, mungkinkah kau merasa bahwa dialah pelita yang Tuhan ciptakan untuk
terbit dan bersinar pada hari-harimu?
Beradanya
di hidupmu, sudahkah kau merasa lengkap, merasa tak akan kekurangan damai,
tenteram dan sayang? sudahkah kau merasa ingin hidup bersamanya selama sisa
umur?
Bila
melihat dia berbalik, akankah kau menarik tangannya, memohonnya untuk tetap
tinggal?
Bila
melihat punggungnya menjauh, akankah kau mengejarnya,
memintanya untuk datang lagi?
Bila
dia pergi, akankah kau merasa apa yang kau lakukan menjadi kekurangan esensi?
Bila
merasa tidak akan bertemu lagi dengannya, akankah bulir bening dari matamu melinang
tak tertahankan?
Bila
mengingat dan membicarakannya, pernahkah kau merasa tak pernah kekurangan
puja puji?
Bila
kau sepi sendiri, pernahkah tiba-tiba kau mendengar suaranya yang manja memanggil
“Abaang”?
Bila
melihat langit biru, pernahkah kau merasa bahwa bahwa wajahnya hadir di ufuk
manapun kau arahkan pandang?
Bila tertidur malam hari, pernahkah dirinya datang mengisi mimpi-mimpimu yang tak bisa kau terjemahkan apa artinya?
Bila membayangkannya bersama pria lain, sanggupkah kau merasakan dadamu membuncah, wajahmu memerah dan kepalamu berkunang? Sanggupkah
kau merasakan tubuhmu kaku lidahmu kelu saat rindu dan cemburu jadi satu?
Bila pria lain itu mungkin lebih baik darimu, sanggupkah kau terjebak pada
ambivalensi antara ingin meraihnya atau mengikhlaskannya?
Bila
semua itu pernah kau rasakan, maka akan kutitipkan dia padamu..
Mungkin,
kau lah yang berhak membahagiakannya..
Hanya,
tolong sampaikan padanya, maafkan aku bila tak bisa berhenti mencintainya..
****
dan bait-bait diatas pun menjadi sebuah musik di sini