Karya legendaris gaudi berikutnya
terletak di puncak bukit, ada di utaranya pusat kota. Namanya Park Guell, yaitu
sebuah taman di puncak bukit dengan bangunan-bangunan yang didesain oleh Gaudi.
Menuju ke sana harus dengan melalui
jalanan Baixada De La Gloria yang menanjak yang lumayan panjang lurus namun
bertingkat-tingkat dengan anak tangga dan eskalator. Dengan nafas ngos-ngosan
akhirnya bisa juga sampai di puncak sana.
Banyak orang yang duduk-duduk
bersantai menikmati pemandangan kota Barcelona dari atas, sebagian lagi berfoto
sana sini, sebagian berkeliling menikmati arsitektur dan interior karya gaudi.
Arsitektur
Gaudi masih aneh seperti biasanya, dengan ubin-ubin marmer aneka warna yang
sering membentuk aneka hewan. Salah satunya mungkin air mancur yang keluar dari
kepala kodok atau mungkin biawak. Tempat ini adalah salah satu yang dikunjungi
si Vicky dalam film Vicky Christina Barcelona itu.
Setelah puas menikmati selasar yang
ramai itu, akhirnya aku menelusuri jalan setapak, naik ke puncak bukit. Sambil
menikmati bukit itu, lewatlah didepan ku seorang wanita yang berjalan
sendirian. Karena wanita itu cantik dan sendirian, muncullah keisengan untuk
menyapanya dan minta tolong untuk memfoto.
Setelah aku difoto dengan gaya cicak
nemplok di dinding, kami berkenalan dan ngobrol-ngobrol.
Obrolan dimulai dari tempat- tempat wisata yang dia
datangi, sampai ke kehidupan pribadi kami masing-masing. Dia yang sarjana
sejarah bekerja di sebuah museum di San Fransisco. Dia traveling sendirian
berkeliling Eropa sepertiku.
Wanita itu, yang namanya katherine,
berperjalanan sendirian dari negeri asalnya San Fransisco, Amerika, mengambil
jatah liburan dari kantor. Dia traveling sendirian menjelajah eropa dengan rute
yang berkebalikan dengan diriku, melalui Italia, Perancis, sampai ke Barcelona.
Lalu dia menceritakan tentang Katedral
Gaudi dengan penuh antusias. Latar belakang pendidikannya yang sejarah dan
minatnya pada budaya dan seni membuat pembicaraan kami menjadi seru. Melebar-lebar
sampai dia menceritakan adiknya yang minggu depan akan menikah, sementara dia
sendiri belum. Sampai kuceritakan perihal disertasiku yang sedang mentok, yang
sedang kutinggalkan buat jalan-jalan.
Sayangnya hari ini adalah hari
terakhir liburannya keliling eropa sebelum pulang ke amerika, sehingga tidak
bisa diajak bertualang sama-sama. Lama kami berbincang-bincang sampai akhirnya
tak terasa matahari sudah akan terbenam. “I have to go now. Gotta bacak to my
hotel and leave tomorrow in the morning. It’s very nice talking with you.”
Katanya sambil tersenyum lebar, ah manis sekali.
“Very nice to meet you too” kataku,
yang sedang meleleh.
Dia berjalan pergi, menuruni
batu-batu, dan menghilang di balik rerimbunan pohon. Ketika dia sudah hilang,
barulah aku teringat pada hal-hal penting seperti, lupa mengajak foto bareng,
lupa meminta email. Arrrgh!! sungguh menyesal, hampir bisa dipastikan bahwa
kami tak akan bertemu lagi.
Sambil memendam penyesalan, aku
memendaki menuju puncak bukit batu, di atasnya ada salib besar yang entah
menggarmbarkan apa, orang-orang sedang terkesima dengan pemandangan sekitar
yang saling berfoto. Maka tak ketinggalan, aku juga berfoto dengan pose the
crusification of tama.
Selesai berfoto, aku pun mengamati
pemandangan matahari yang hampir tenggelam. Semakin turun menuju ke antara bukit
di kejauhan. Di sebelah sana, kota yang bangunan dan jalannya tertata dengan begitu
rapi dengan blok-blok kotak dari jaman dahulu kala, dari ujung laut sampai ke
gunung, semakin meremang kehilangan cahaya matahari.
Ketika itu tak sengaja terdengar percakapan
dua orang abege dari yang dialeknya begitu Amrik, seorang pria dan dua orang
wanita. Mereka membicarakan tentang agama.
Si wanita kelihatannya kristen dan si
pria diragukan, entah beragama atau tidak.
“I’m an agnostik, i dont believe in
religion because it only bring teror for us human.” Katanya, yang bagiku, dari
cara ngomongnya yang berlebihan, kelihatan seperti sedang berusaha menarik
simpati dua wanita temannya ini, kalimatnya membuatku yang berada semeter di
belakang mereka jadi ikut menyimak.
“The religion is dangerous,” katanya
“In muslim countries they wouldn’t allow woman to drive a car, they have to
wear a scarf to cover the hair. They aren’t allowed to go outside without
relatives. Could you imagine to have restriction such that” katanya. Kedua
wanita temannya mengiyakan.
Lalu dia melanjutkan. “If people read
their book, they will become extreme,
like the terroris on WTC, It really is a dangerous book.” katanya lagi. Aku
yang mendengarkannya menjadi panas hati, ingin ikut menyela percakapan mereka. Dan
tepat saat kata “excuse me” sudah menggantung di bibirku, salah satu mereka
bilang.“Its getting dark now, lets go to some other place” Dan merekapun pergi.
Tinggal aku yang terbengong, tak jadi
menyela. Haruskah aku kejar mereka, untuk mendebat bahwa yang mereka katakan
itu tentang agama islam itu jauh dari kebenaran?
Matahari telah turun dari peraduannya
di ujung barat. Hari telah gelap. Aku ikuti bayangan mereka yang berjalan
menuruni bukit, tinggal aku yang terduduk merasa tidak membela agama sendiri.
No comments:
Post a Comment