Saat
itu, seorang kakak perempuan dua tahun di atasku dan kakak laki-laki empat
tahun di atas juga sedang masa-masa mengenyam pendidikan tinggi, sehingga aku
harus sadar bahwa akan ada kesulitan besar untuk membiayai kuliahku. Hal ini
ditambah dengan kenyataan bahwa orang tua sedang kesulitan finansial disebabkan
oleh adanya hutang yang harus di cicil dari Bank.
Alkisah,
ada seorang teman ayah yang meminjam uang dari Bank untuk usaha percetakan,
untuk meluluskan pinjaman tersebut dia meminjam sertifikat tanah rumah kami.
Meskipun ibu menolak, ayah dengan kebaikan hati dan rasa percayanya mengiyakan
untuk meminjamkan. Selang setahun, saat bisnis orang itu gagal, propertinya di
akuisisi, dia mendadak kabur entah kemana, sehingga mau tak mau sisa hutangnya itu
yang jumlahnya sangat besar harus kami bayar.
Demikian
ibu bercerita, kisah yang waktu itu terlarang untuk aku dengar karena mereka
khawatir akan mengganggu konsentrasi ujian nasional. Demikian, sehingga ayah
memintaku untuk melanjutkan studi di STPDN saja, sekolah kedinasan yang
menanggung semua biaya pendidikan. Setelah tiga tahun menjalani masa pendidikan
disiplin semi militer di SMA, maka memasuki disiplin semi militer berikutnya
bukanlah opsi yang menyenangkan bagiku. Namun, jika itu permintaan orantua,
tentu seorang anak harus mematuhi.
Akhirnya
aku mencari informasi pendaftaran dan untungnya (atau sialnya) usiaku terlambat
dua bulan. Usia pendaftar minimal 18 Tahun per agustus 2001, sementara aku baru
akan berusia 18 di bulan oktober. Akhirnya satu-satunya opsi untukku adalah
perguruan tinggi negeri. Tetap tak ada jaminan bahwa jika aku lulus, orang tua
bisa membiayai, terasa sangat sedih waktu itu, namun ibu membesarkan hatiku
bahwa tak usah dipikirkan persoalan biaya, jika diusahakan selalu ada jalan.
Menjelang
kelulusan SMU, ada tawaran beasiswa BMU UMPTN dimana dipilih dua orang untuk
mewakili setiap SMU dengan kriteria tak mampu secara ekonomi dan mampu secara
akademik. Yang boleh mengikuti seleksi adalah orang-orang yang tak pernah
mendapat nilai di bawah tujuh untuk matematika dan bahasa inggris, setelah
lulus UMPTN penerima beasiswa akan mendapatkan sumbangan biaya SPP sampai tamat
kuliah. Beruntung aku termasuk salah satu yang layak untuk mendaftar dan lulus
seleksi beasiswa.
Ketika
teman-teman pergi ke Bandung dan Jogja untuk bimbingan belajar intensif, aku
hanya mengikuti bimbingan belajar di
Jambi karena keterbatasan biaya tadi. Jadwal bimbel hanya 1,5 jam di pagi hari,
namun aku datang juga ke kelas sore untuk lebih banyak belajar dan berlatih.
Akhirnya
pada suatu pagi aku mendapati namaku satu-satunya dari peserta UMPTN di Jambi
yang lulus di ITB dengan jurusan pilihan pertamaku Teknik Sipil. Kelulusan itu
sama artinya aku mendapat beasiswa dari masuk hingga lulus, meliputi biaya SPP
dan biaya hidup. Akhirnya aku lulus dari ITB dengan predikat bisa saja, yang
artinya bisa lulus saja sudah bersyukur karena panjang dan berliku
perjuangannya.
Singkat
kata singkat cerita, hidup baik-baik saja. Pekerjaan setelah kuliah juga biasa
saja, tak ada yang istimewa. Sepertinya aku belum menemukan suatu bidang
pekerjaan yang benar-benar bisa dinikmati untuk ditekuni. Setelah setiap tahun
berganti-ganti dan pindah lokasi pekerjaan, akhirnya aku bekerja sebagai Lead
Engineer sebuah kontraktor di Jambi, seperti yang selalu aku idamkan untuk
berperan serta membangun daerah.
Saat
itu aku sedang pula membangun hubungan yang serius dengan seorang wanita, sudah
hampir empat tahun lamanya. Sedemikian rupa, sehingga aku membuat
rencana-rencana masa depan dengannya. Namun, suatu ketika dia memutuskan untuk
berhenti karena perbedaan lokasi kerja, karena ada orang baru dan sekian hal
lainnya.
Duniaku
terasa jungkir balik, apapun yang kukerjakan seolah kehilangan esensinya.
Hingga akhirnya proyek selesai dan aku memutuskan untuk berhenti bekerja.
Ternyata cobaan tak berakhir sampai di situ saja, karena mendadak ayahku
mengeluh sakit dan setelah kami periksakan ternyata mengidap tumor ganas.
Setelah
berjuang dengan berbagai pengobatan alternative kesana kemari, akhirnya mau tak
mau kami memilih opsi operasi untuk ayah, di sebuah rumah sakit pusat di
Jakarta. Sebulan lebih beliau dirawat sebelum operasi. Operasi yang
kutandatangani persetujuan untuk menerima konsekuensinya. Setelah operasi,
kelihatannya kondisinya membaik, sehingga aku pulang duluan ke rumah di Jambi.
Hingga
akhirnya pada suatu subuh, ibu menelpon sambil menangis dan mengatakan bahwa
ayah telah tiada. Terjadi dilemma untuk membawa jenazahnya pulang ke jambi atau
ke jawa kampung halamannya. Semua orang menungguku untuk membuat keputusan, aku
hanya ingin beliau di jambi karena dekat dengan rumah, sehingga kami bisa
sering berkunjung. Namun, seorang tetangga yang dekat dengan ayah mengatakan
bahwa alm selalu membicarakan keinginannya untuk pulang kampung, seperti sebuah
firasat.
Andai
beliau setidaknya bisa berbicara dan memberi pesan terakhir tentu dilema ini
tak terjadi. Akhirnya kuputuskan untuk menganggap itu kemauan terakhir alm
ayah, sehingga pergilah kami ke Jawa, Gunung Kidul, Wonogiri, ke tanah
kelahirannya. Beliau mendapat tempat persis di sebelah makam alm kakek,
ayahnya.
Berbulan-bulan
setelah itu, hidupku terasa hampa, tanpa pekerjaan, tanpa tujuan hidup, penuh
perasaan kehilangan. Sulit rasanya merangkai harapan-harapan baru, tak tau
kemana hendak melangkah. Sosok seorang ayah, selama ini adalah sosok yang
selalu membangkitkan motivasiku untuk berkarya, yang membuatku tertantang untuk
membuatnya bangga. Kehilangannya membuatku kehilangan motivasi, kehilangan
motif hidup, kehilangan tantangan.
Salah
satu yang bisa menguatkan adalah pedoman Ayat Quran, bahwa dibalik kesulitan
ada kemudahan, yang bagiku artinya manusia tak boleh berputus asa terhadap
suatu keadaan. Bahwa orang beriman akan selalu dituntun dari kegelapan menuju
cahaya.
bersambung..
bersambung..