“Dia belum pernah secantik hari ini..”
Itulah yang selalu dikatakan oleh Ipul setiap kali seorang wanita berinisial Sari menghilang dari pandangannya. Lalu Ipul mulai bercerita, tentang perkenalannya dengan wanita itu.
Alkisah pada suatu hari yang tak terlihat cerah, datanglah seorang anak muda yang tidak bisa dikatakan gagah, bahkan disebut orang pun baru beberapa lama ini dia dapatkan. Sebutlah namanya Ipul, demikianlah, seorang Ipul pada waktu itu sedang akan menghadap dosen untuk penyelesaian proyek akhir, pada saat mengantri di depan ruangan yang menuju ke dosen yang tidak tersebut namanya di atas, Ipul menjumpai seorang wanita yang katanya, menurut penglihatannya, penuturannya, atau bahkan menurut detak jantungnya yang saat itu menggebu, sebagai wanita cantik jelita.
Ipul memberanikan diri untuk memulai percakapan yang akan berujung kepada perkenalan. Untuk satu hal ini: mengajak kenalan cewek cantik tak dikenal, bukanlah sebuah kebiasaan baginya, bahkan bukan pula sesuatu yang pernah dilakukan. Terlebih lagi lelaki asli sunda ini pernah mengalami pengalaman dimasa lalunya, yang segera terperangkap ke dalam memori dan meresap ke sanubari dalam wujud sebuah trauma. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif, baiknya kita kembali ke masa yang lebih jauh lagi dari masa itu. Masa-masa itu, yang diceritakan Ipul dengan wajah menahan kepedihan.
Waktu itu Ipul punya pacar, di Bandung. Waktu itu dia sedang bermain ke rumah pacarnya, yang tak perlu juga disebut inisialnya karena hanya akan membangkitkan luka lama di hati Ipul berhubung pacarnya itu sekarang sudah menjadi mantan pacar dari pacar barunya, dalam artian sudah menikah dengan pria lain yang tentu saja lebih ganteng dari hanya sekedar Ipul. Waktu itu, teman-teman pacarnya itu sedang pula berkunjung ke sana. Saat itulah Ipul sedang dijumpai mereka sedang duduk dengan malu-malu, diam dan penuh sopan santun.
Saat itulah seorang wanita yang paling cantik di kelompoknya itu memulai dialog dengan Ipul.
“Eh, kamu pacarnya ini ya, ga usah sok pendiem gitu deh, mending kalo cakep!”
Entah apa yang dilakukan Ipul setelah mendengar perkataan itu, mungkin saja pergi ke sudut untuk memilin jari telunjuk sambil tertunduk dan terseguk. Entahlah, yang jelas Ipul tidak ikhlas menerima pengalaman tragis itu dan segera menjadi salah satu trauma terbesar dalam hidupnya. Trauma dengan cewe cantik.
Kembali ke masa sebelum masa kini, dimana Ipul merubah kebiasannya mungkin sedikit banyak disebabkan oleh karena terlalu lama menanggung kepedihan menjadi seorang jomblo, dia mengajak bercakap-cakap seorang wanita inisial Sari di depan sebuah ruangan di jurusan teknik universitas terbaik se Indonesia.
“Eh, kamu mau asistensi juga ya?” Tanya Ipul memulai percakapan
“Ngga, lagi mau wawancara.” Jawab wanita itu, yang ternyata sedang mendaftar kuliah magister, yang menurut Ipul penuh kelembutan dan kebaikan hati.
“Oya, namanya siapa?” Tanya Ipul lagi yang cukup tidak relevan namun segera sampai ke tujuan.
“Sari.” Jawabnya, percakapan terus berlanjut.
Setelah itu, entah ruh halus manalagi yang merasuki pikiran Ipul, dia penasaran untuk mengatahui nomor telepon wanita itu, namun untuk menanyakan secara langsung dia tidak berani, maka diputarlah akalnya yang tidak seberapa dan lagipula tidak sering dimanfaatkan dengan baik itu. Tentunya Ipul sudah mempertimbangkan untuk memakai kostum ayam seperti Agus di novel Jomblo lebih daripada menggunakan kostum nanas yang mobilitasnya lebih rendah itu. Akhirnya Ipul memutuskan menggunakan kostum mukanya sendiri, entah kostum apa itu, dia datang ke Mbak pengurus jurusan, yang inisialnya masih dalam pemikiran, untuk menanyakan no telepon wanita yang sedang mendaftar itu.
“Mba, ada yang dari kota xxx ngga ya yang ngedaftar, yang tadi wawancara?”
“Ada, emangnya kenapa?”
“Iya, ini bukunya ketinggalan, ada nomer teleponnya ga mba, mo saya balikin.”
“Oh ya? Harusnya sih ada, sebentar saya cari dulu.”
Harusnya sih, sebagai seorang pengurus, mba yang inisialnya masih dalam penelusuran ini, harusnya lebih kritis terhadap niat baik mahasiswa setipe Ipul ini. Pasti ada udang di balik batu, pake mau balikin buku. Mungkin mba itu perlu menginterogasi dengan pertanyaan seperti:
“Oh ya? buku apa yang ketinggalan?”
“Oh ya? Mana bukunya?”
“Oh ya? Tinggalkan saja bukunya disini, nanti saya yang mengembalikan.”
Yang mana tentu saja buku itu adalah barang imajiner, tidak pernah eksis. Akhirnya Ipul sukses mendapat no telepon wanita tokoh utama cerita ini. Singkat cerita, mereka mulai bertukas sms.
“Eh, kamu asalnya darimana?” Tanya wanita itu suatu ketika.
“Dari sunda.” Balas sms Ipul.
“Oh ya? pacarku juga orang sunda.” Jawabnya, dengan sesuatu cara yang menurut Ipul, sebuah penolakan yang sangat elegan, sangat berkelas.
“Oh ya? Darimananya?” Ipul melanjutkan percakapan basa-basi, meski patah hati.
Hingga sampai pada waktu diantara masa itu dengan masa sekarang, setelah dipertemukan di dalam kelas, setiap kali si cantik jelita itu menghilang dari pandangannya, Ipul akan selalu mengatakan kepada penulis.
“Wah, dia tak pernah secantik hari ini.”
Penulis dalam rentang waktu itu hanya sanggup mengiyakan, untuk menghibur hati Ipul. Dalam pandangan penulis, pernyataan itu artinya si wanita cantik jelita dalam pandangan Ipul ini bertambah cantik dari hari kehari dan perlu untuk diteliti berapa intensitas peningkatan kadar kecantikannya perhari, dan hingga sejauh mana peningkatan ini terus terjadi? Dimana titik baliknya?
Untuk menjawab pertanyaan yang sangat ilmiah ini, penulis mulai memperhatikan, apa iya wanita ini secantik jelita yang Ipul maksudkan. Apa iya penuh kelembutan hati yang diceritakan. Apa iya seanggun menawan seperti yang kelihatan. Penulis mengamati secara seksama, wajahnya, senyumnya, tutur katanya, tingkah lakunya, hingga sampailah pada masa kini.
Entah kenapa, sosok wanita itu seperti mulai merasuk ke alam bawah sadar penulis, hingga menjelma beberapa kali dalam mimpi. Tentu saja, ini bukanlah suatu hal yang baik. Sepertinya.. memang.. dia belum pernah secantik hari ini..