Hari yang baru
di Paris. Sehabis sholat subuh, kudapati tiga orang bule amerika ini masih pada
ngorok. Sehingga mau tak mau jeritan kasur pun memanggilku lagi. Pada saat bangun
kedua kalinya, saat matahari mulai tinggi, si bule-bule masih pada ngorok. Hingga
ku selesaikan mandi, si bule2 masih pada ngorok. Selesai ku bereskan
barang-barang bersiap jalan-jalan, aku guncangkan salah seorang dari mereka
tapi tetap saja masih ngorok. Sungguh masa depan suram, baru semalam mereka
mengajak jalan-jalan ternyata pagi ini kerjanya Cuma molor ga karuan, tidak
prospek buat diajak jalan. Muncul di benakku bayangan mereka bertiga mabok di
salah satu bar di kota ini dini hari tadi. Maka, sudah saja aku pergi berjalan-jalan
lagi sendirian.
Pagi menjelang
siang, pelataran museum louvre sudah mulai dipadati pengunjung. Langit sedang
terang. Turis-turis dengan noraknya berfoto-foto di sekitar piramida kaca, aku
menahan keinginan untuk berfoto, bukan karena aku tidak norak, melainkan karena
isi museum ini jauh lebih prestisius untuk diulik. Jadi kegiatan foto ditunda untuk
nanti sehabis melihat daleman museum, setelah menelusuri garis garis mawar yang
akan menuntun kepada misteri terbesar novel the Davinci Code.
Haruskah
membebek di depan pintu piramida kaca itu, diantara panjang antrian yang
keterlaluan, untuk masuk ke museum? Tentu tidak. Dua orang turis dari Karibia
yg tampangnya seperti mantan bajak laut muda pada suatu makan malam di
Amsterdam telah memberiku petunjuk menuju sebuah rahasia besar, misteri pintu
tersembunyi untuk memasuki museum.
Dimanakah jalan itu? Sederhana saja,
berjalan menelusuri celah yang menembus gedung, lalu belok ke kanan, menemukan
petunjuk pintu masuk dari samping lalu dengan cueknya masuk, itu dia kata
rahasianya “pintu samping”. Tak ada antrian yang membebek, tak ada antrian sama
sekali malah dan kudapati bahwa hari ini tiket masuk ditiadakan, alias gratis,
padahal biasanya seharga 12 euro. Kutepis rasa sedih karena tidak bisa membayar
tiket masuk itu. Biarlah uang 12 Euro itu menjadi derma bagi perutku yang
membutuhkan makanan ini.
Maka berjalanlah
aku berkeliling museum, merasa sok asik sendiri mengamati satu persatu lukisan
yang dipajang, sampai akhirnya diriku.. tersesat. Sungguh museum ini sangat
besar, luas, megah, berliku dan sangat pandai menyesatkan. Ada bermacam ruang yang
bertingkat-tingkat, pintu dibalik pintu dibalik pintu berkelok-kelok memenuhi
gedung dengan koleksi mulai dari peninggalan prasejarah, sejarah peradaban
mesir, peradaban islam, peninggalan napoleon, sampai lukisan yang dikelompokkan
berdasarkan asalnya atau tahun pembuatannya.
Beberapa koleksi
yang sangat terkenal antara lain lukisan Lisa Gheradini alias Monalisa, the
wedding feast at Cana, juga patung
seperti The Winged Victory of Samothrace, Aprodhite (Vennus de Milo) serta ada
juga koleksi dari berbagai peradaban dunia dan tak ketinggalan dari Perancis sendiri,
seperti apartemen Napoleon III.
Targetku yang
utama tentu saja menemukan Monalisa agar bisa tersenyum bersamanya. Setelah
berputar-putar kesana kemari tanya sana-sini, sampai juga ke karya paling
terkenal sedunia ini, begitu agung, sungguh luar biasa, sangat spektakuler
bahwa karya besar ini.. Ternyata ukurannya sangat kecil, hanya sebesar 77
cm x 53 cm di dalam kaca anti peluru dan dipagari tali pengaman untuk memberi
jarak 3 meteran dari para pengunjung. Mungkin pengamanan ini disebabkan trauma karena lukisan ini pernah dicuri dan bertahun-tahun hilang dari peredaran sebelum akhirnya ditemukan kembali di kota asalanya Florence. Apapun itu alasannya, ekspektasi untuk menikmati lukisan ini dari dekat telah ternodai..
Beredar banyak
spekulasi kenapa senyum Monalisa begitu aneh, bagian sebelah kanan wajahnya
tersenyum sedangkan sebelah kirinya tidak, bahwa saat dilukis itu dia sedang
mengandung, atau mungkin sedang sakit gigi, ada juga yang mengatakan bahwa
senyum itu mengandung makna bahwa dia menimpan rahasia yang tak diketahui orang
lain, atau bahwa senyumnya itu mengungkapkan rahasia yang disimpan oleh
Leonardo Da Vinsci sendiri, namun bagiku senyum itu lebih mengungkapkan
kekesalan Lisa karena dia digambar di kanvas kayu yang begitu kecil yang diluar
ekspektasinya, sehingga dia tidak rela menyunggingkan senyum yang lebar. Itulah
sebabnya badannya tidak mengarah ke depan, karena sedang marah.Sementara background di belakangnya yang berbeda antara kiri dan kanan, tentu tetap menjadi misteri dari seniman besar ini.
Entah apapun
asumsi orang tentang senyum Monalisa dan interpretasi atas lukisannya ini, kiranya senyumku aneh hanya karena
kecewa bahwa monalisa hanya bisa dilihat dari jauh dan ukurannya juga sebegitu
kecil.. :p
Selain Monalisa,
karya yg terkenal adalah the last supper ini, yang dinamakan wedding feast at
Cana, yang ukurannya lebih gede dari lapangan bola pingpong. Tentu tak
ketinggalan aku berfoto bersamanya, bertemu sekeluarga yang sama-sama orang
indonesia, berbasa-basi sejenak lalu melanjutkan perjalanan.
Sampai setengah
hari berkeliling dari satu koleksi ke koleksi lain, akhirnya kakiku pegal-pegal
sendiri. Legenda lama mengatakan bahwa untuk mengelilingi museum yang total
koleksinya melebihi 35 ribu karya ini dan membaca satu persatu informasi dari
benda yang dipajang selama 30 detik, maka paling tidak dibutuhkan waktu sampai
dengan 100 hari untuk menyelesaikannya. Akhirnya aku menyerah, tak mampu
melanjutkan dengan alasan kaki yang keburu gempor.
Maka aku keluar
museum, melanjutkan agenda yang tertunda untuk berfoto-foto di sekitar piramid
kaca sebagai legitimasi pernah menjejakkan jaki di louvre.
Meninggalkan pemandangan sepasang kekasih yang sedang berciuman di pinggir air mancur Louvre ini, aku bergegas
menuju underground untuk menunaikan kewajiban berikutnya, yaitu menjejakkan
kaki di menara Eiffel. Eiffel I’m comiiiing..
Eiffel bisa
dicapai dengan menggunakan Metro sampai stasiun Bir-Hakeim. Naik ke atas, lalu
belok kanan berjalan mengikuti kerumunan turis. Di pinggir-pinggir jalan sudah
ramai orang berjualan berbagai aksesoris miniatur menara Eiffel, kubeli gantungan
kunci seharga 1 Euro untuk 3 gantungan kunci. Kemudian aku jadi menyesal karena
di emperan NotreDamme dengan 2 Euro bisa mendapat 10 gantungan kunci. Kuanggap
ini suatu penipuan besar.
Eiffel adalah
menara luar biasa tinggi karya besar Gustave Eiffel, tingginya 324 meter perpaduan
seni arsitektur dan engineering berupa untaian rangka-rangka baja yang dibangun
sebelum tahun 1889. Sekitar 50 tahun dari adegan Javert nyemplung ke sungai
dari film Les Miserables.
Salah satu yang sukses
memprofokasiku untuk ke Eifel adalah foto salah seorang teman yg datang bersama
istrinya, yang sedang duduk santai di sebuah kursi taman dengan latar belakang
menara eifel. Aku terprofokasi untuk berpose di tempat yang luar biasa romantis
itu, namun tentu saja ada kenyataan pahit bahwa aku berperjalanan sendirian,
tanpa pacar, tanpa teman, tanpa handai taulan sanak saudara. Jadi jikapun aku
menemukan spot emas tersebut, untuk berpose di kursi dengan latar belajang
Eifel tersebut, tentu saja aku berfoto sendirian, dan foto si pasangan wanita
akan ditambahkan kemudian, jika ditemukan. Apa daya, tangan tak sampai, setelah
berkeliling eifel dari sudut ke sudut, lokasi itu tak ditemukan, gagal lah niat
burukku itu..
Menara Eifel
adalah tujuan utama wisatawan local dan mancanegara di kota Paris. Terlihat
dari berbondongnya orang yang berjalan menuju ke sana, serta berbondongnya
antrian tiket untuk naik ke atas menara sampai level teratas yang harganya 14
Euro dengan menggunakan lift serta 8.5 Euro apabila naik sampai pertengahan
menara level 1 dan 2 dengan 374 sampai 674 anak tangga besi. Tentunya tangga
itu cukup menantang bagi orang-orang yang sedang dalam program pengurusan
badan. Melihat kenyataan untuk mendapatkan tiket paling tidak membutuhkan waktu
satu sampai dua jam, surut lah niatku untuk melihat kota Paris dari atas menara
Eifel. Disimpan buat lain kali, jika berbulan madu ke sini.
Maka aku hanya berjalan melewati bagian bawah menara Eiffel tempat
orang-orang berkerumun. Kebetulan sedang ada parade manusia pohon (Ent) seperti
yang ada di Lord of the Ring.
Di seberang
menara Eifel terdapat taman yang dipenuhi orang-orang yang sedang sunbathing
tanning atau apapun namanya itu dengan berbagai macam gaya. Musim panas dan
cuaca yang hangat mendukung kegiatan ini. Juga mendukung acara cuci mataku
melihat gadis-gadis bule berpakaian minim yang bergeletakan. Menghabiskan waktu
bersama teman-teman, atau berpacaran, atau membaca buku sendirian ditaman ini
sambil berjemur sepertinya menyenangkan, terutama bagi yang berkulit putih,
karena pemilik kulit coklat sepertiku akan segera menjadi berkulit hitam jika
lama-lama terpapar sinar matahari.
Akhirnya hanya
bisa berpose dengan gaya cewek trendi sehabis belanja belanji di Rue de Rivoli paris.
Mungkin bisa ditemukan
adegan melamar wanita di pelataran menara Eiffel atau diatas kafe di menara
tersebut dari beberapa film romantis, namun tentunya kubuat catatan dalam hati
untuk tidak melakukan itu mengingat betapa besar biaya yang harus dikeluarkan.
Serta fakta tragis bahwa aku tak punya pacar, selain fakta lebih tragis bahwa
yang dulu pacarku sudah menikah dengan yang barusan pacarnya.
Sekedar curcol,
sebenarnya bayanganku dulu adalah jika ke Paris tentu itu dalam rangka bulan
madu bersama mantan pacar yang sudah dijadikan istri. Mengingat legenda kota
paris sebagai kota tujuan wisata, kota cinta, kota cahaya, kota para seniman. Banyak
seniman yang memilih menghabiskan waktu untuk tinggal di Paris dan menghasilkan
karya-karya bermutu.
Salah satu seni
kontemporer yang melekat dengan Paris tentu saja film favorit yang membekas
kuat di ingatan seperti film Before Sunset. Adegan romantis perjalanan Jesse
dan Celine dalam Nostalgia pertemuan mereka dulu di Before Sunrise mulai dari
took buku shakespeares and company saat promosi buku karangan Jesse, yang lalu
berjalan-jalan berkeliling kota, mampir ke kafe, melewati lorong-lorong dan
tepi sungai Seine, yang tak jauh dari menara ini. Sayang sekali, saat ini aku
berperjalanan sendirian, jika tidak tentu acara perjalanan ini akan menjadi perjalanan
bulan madu penggemar Before Sunset, napak tilas perjalanan Julie dan Jesse
berkeliling kota Paris.
Demikian lamunku
sambil duduk di sebuah shelter di bawah menara Eiffel, berteduh dari hujan yang
mendadak turun. Bersebelahan dengan ibu-ibu tua yang tak bisa berbahasa Inggris
sambil mendengarkan sekelompok pengamen yang cerita memetik gitar dan bernyanyi
lagu-lagu populer.
Menjelang sore,
tujuan berikutnya adalah Arc De Triomphe, semacam monumen nasionalnya paris.
Pada saat aku ke sana pada tanggal 14 July, ternyata sedang ada perayaan Bastile Day, yang biasanya menyelenggarakan pawai militer dari Arc De Triomphe ke Place de La Concorde yang biasanya dihadiri presiden. Sayang sekali karena kurangnya info, sehingga aku ketinggalan acara yang dilaksanakan pada pagi hari ini. Namun sedang ada semacam penutupan marching tentara yang bisa ditonton. Untuk masuk Arc De Triomphe tiketnya seharga 9.5 Euro sehingga dengan senang hati ku skip, sisakan untuk lain kali jika sudah menjadi peneliti sejarah Paris.
Pada saat aku ke sana pada tanggal 14 July, ternyata sedang ada perayaan Bastile Day, yang biasanya menyelenggarakan pawai militer dari Arc De Triomphe ke Place de La Concorde yang biasanya dihadiri presiden. Sayang sekali karena kurangnya info, sehingga aku ketinggalan acara yang dilaksanakan pada pagi hari ini. Namun sedang ada semacam penutupan marching tentara yang bisa ditonton. Untuk masuk Arc De Triomphe tiketnya seharga 9.5 Euro sehingga dengan senang hati ku skip, sisakan untuk lain kali jika sudah menjadi peneliti sejarah Paris.
Berhubung hari
mentari mulai tenggelam, gelap sudah datang saat jam tangan menunjukkan pukul
9pm, akhirnya kuakhiri petualangan sehari di Paris ini untuk segera kembali ke
hostel.
Kereta
underground cukup penuh seperti biasa, saat berjalan disela-sela penumpang
untuk mendapat tempat bersandar tak sengaja aku menyenggol seorang pria
berkulit agak gelap dengan jaket hitam dengan kupluk. Lalu dia mulai menatapku
dengan tatapan yang kuanggap aneh, seperti meneliti pergerakanku. Namun bagiku,
dialah yang aneh.
Beberapa saat
kemudian, dia berdiri seperti akan keluar dari kereta. Ketika kereta berhenti
dia membuat gerakan seperti akan terjatuh, namun dengan cepat tangannya merogoh
kantung seorang anak lelaki yang sedang berdiri bersama kedua orangtuanya. Tak
berapa lama dia kembali ke tempat duduknya dan langsung seolah berbincang
dengan rekan di sebelahnya. Pada tangannya yang dimasukkan ke dalam kantong
jaket kuamati terdapat sebuah handphone, aku agak ragu apakah itu miliknya
sendiri, atau milik anak itu yang telah dia ambil. Berdetak jantungku, apakah
akan melaporkannya kepada orangtua si anak dan petugas di metro, atau
membiarkannya saja..
besambung
besambung