Pesawat mendarat mulus di bandara Schiphol Amsterdam, entah
bagaimana mengeja nama bandara ini, terlalu ribet buat lidah Indonesia biasa.
Menjejakkan kaki diluar pesawat, terlihat langit yang biru terang, berbeda
dengan langit yang biasa di Leeds.
Dengan langkah ringan kuikuti saja
iring-iringan orang yang berjalan keluar. Hingga ke bagian imigrasi, petugasnya
seorang wanita cantik menanyakan beberapa pertanyaan semisal berapa uang euro
yang kupunya, Akan tinggal dimana, berapa lama akan tinggal di Amsterdam,
setelah dari Amsterdam hendak kemana? Kujawab semua dengan lugas dan senyum
sumringah. Sampai akhirnya dibubuhkan juga cap di visa ku, dan dipersilahkan
lewat. Tadinya kukira pertanyaan-pertanyaan itu sekedar basa-basi sebelum
mengarah ke pertanyaan seperti kenapa aku bisa begitu ganteng? Sudah punya
pacar atau belum? Dan berapa no telepon? Ah sudahlah, mungkin cuma prasangka
baik ku saja..
Bandara dan cuaca Inggris yang selalu muram |
Melewati pintu gerbang bandara, muncul juga pertanyaan
esensial yang perlu segera dijawab. Hendak kemana aku sekarang? kenalan di kota
tak punya, tujuan wisata yang jelas tidak ada, perjalananku hanya berbekal sebuah
itinerary hotel di dalam ransel. Namun sebagai seorang engineer calon master,
tentu aku tak kekurangan akal. Biasanya di setiap kota tujuan wisata di
Negara-negara maju seperti UK atau Uni Eropa terdapat tempat yang disebut tourist information, yang tujuan lugas
nan logisnya adalah memberi informasi kepada turis.
Pertanyaan berikutnya, dimana memperoleh informasi letak
tourist information ini di stasiun? Maka kutanyakan pada seorang petugas yang
tidak esensial untuk diceritakan. Dia menunjuk pada papan penunjuk yang
memiliki huruf “i” akhirnya aku sadar bahwa i itu merangkum kata information di
dalamnya, brilliant. Kuikuti petunjuk papan hingga tiba pada sebuah stand
dimana para turis sedang mengantri, mungkin dengan tujuan yang serupa denganku.
Giliranku, akhirnya kutanyakan pertanyaan besar dalam hidupku, dengan tanpa
tedeng aling-aling.
“Maaf teh, kalau boleh sayah tau, sayah ini mau kemana yah?”
Setelah mengernyit sebentar, mengecek tingkat kewarasanku lalu mba mba tersebut membentangkan sebuah peta. “you need a map, everything’s here on the map, 2.5 euro.” Katanya. Maka kuambil saja peta tersebut.
“do you know where is this Hans Brinkers Hotel?” tanyaku
dengan logat di british british kan.
“Here on the map, you can take bus number something, the bus station
on that direction.” Katanya sambil mencoret sesuatu di peta. Aku tak menyangka
seorang petugas informasi bisa sedemikan informatif dan efektif, sehingga
langsung kuikuti secara intuitif.
Perjalanan dari airport ke pusat kota Amsterdam dengan
menggunakan bus berlangsung dengan lama waktu yang relatif. Sebenarnya dalam
tataran waktu standard mungkin bisa dibilang sejam, tetapi berhubung duduk di
sebelahku seorang wanita cantik, juga pemandangan baru dengan sinar mentari
bersinar hangat di luaran, perjalanan terasa sebentar saja. Sebentar-sebentar
bertanya ke wanita di samping yang sedang mendengarkan musik, pura-pura jadi
turis, pura-pura tak punya tujuan hidup.
Akhirnya sesuai dengan petunjuk yang tertera pada peta,
sampailah di hostel yang telah dipesan, Hans Brinker Hostel. Setelah mendapat
kunci kamar dan kunci loker dengan jaminan 2 euro, masuk kamar. Terdapat enam
kasur, enam loker dan satu kamar mandi dalam setiap kamar. Yah, lumayan nyaman untuk biaya 20 euro per malam.
Karena musim panas ini matahari Eropa beredar agak lebih lama
dari biasanya di Indonesia, maka jam 8 malam hari masih terang. Sehingga
kumanfaatkan waktu untuk berkeliling sejenak, mengitari sekeliling kota yang
mulai redup, berkeliling kanal, keluar masuk jalan dan gang.
Restoran Indonesia |
Berkeliling selintas kota, ternyata banyak rumah makan-rumah
makan bertema Indonesia. Ada restoran Pelangi, ada Indrapura, segera ku
songsong dengan penuh euforia, mata nanar dan air liur hampir menetes. Akan
bisa ku nikmati seporsi nasi gulai, rendang atau soto, atau sate madura. Namun
begitu melihat daftar menu yang tertera di pintu masuk, ternyata masing-masing
menu itu seporsinya 15 euro. Hasrat makan yang berasal dari sinyalemen negatif
pada perut memasuki otak dan oleh otak dikembalikan dengan perintah bersabar. Ah,
sudahlah, toh sebentar lagi aku akan pulang ke Indonesia, jadi tak ada
urgensinya buat makan rendang itu sekarang. Lagipula di salah satu menu
terdapat babi panggang dsb yang menunjukkan biarpun restoran Indonesia, tapi
telah bercampur dengan budaya lokal. Babi tidak umum dijual oleh restoran orang
Indonesia asli. Bertambah kata-kata mutiara untuk menghibur diri sendiri. Sekian
lama melongok berbagai tempat makan yang mencantumkan harga-harga di depan
tokonya, akhirnya sampailah aku pada kesimpulan cemerlang bahwa McD adalah
salah satu yang paling efisien untuk mencari pengganjal perut.
Pesan moral #1: Kemampuan menahan nafsu duniawi seperti lapar akan citra rasa masakan Indonesia sangat penting bagi keberlangsungan hidup seorang budget traveller..
Pesan moral #1: Kemampuan menahan nafsu duniawi seperti lapar akan citra rasa masakan Indonesia sangat penting bagi keberlangsungan hidup seorang budget traveller..
Standar Kafe |
Hari berangsur gelap, maka aku kembali ke penginapan, menutup
sekilas pandang pada kota Amsterdam. Besok hari masih panjang untuk menelusuri
kota ini dengan sebenar-benarnya.
Di Penginapan, karena hendak sholat kutanyakan pada
penjaganya, ada dua orang, satu pria satu wanita. Kutanyakan kepada si pria.
“Excuse me, do you know the direction of Saudi Arabia?” si
pria keliatan heran ditanya begitu, sehingga menjawab.
“Why should i know that?”
“You don’t know anything.” Sahutku kesal.
Lalu penjaga wanitanya bilang.
“Do you want to take pray?”
“Yess, glad you know that. Do you know the direction?”
“Sorry, i don’t know.”
“Could you just tell me in which direction is north?” lalu
dia menunjukkan arah utara. Dan bisa kudapatkan arah kiblat dengan kira-kira.
Pesan moral #2: Memiliki kompas, atau setidaknya handphone dengan aplikasi qibla compass sangat direkomendasikan kepada seorang traveller muslim.
Sampai dikamar, sedang sholat, mendadak segerombolan pemuda
abege yang ternyata turis dari Australia datang, berjingkat-jingkat menuju
kasurnya. Selesai aku sholat, kami berkenalan. Sebentar berbasa-basi ngobrol-ngobrol
perihal asal, tujuan dsb. Ketika mereka saling bercerita tentang pengalaman
mabuk dan minuman, lalu salah seorang mereka bertanya?
“what do you drink?”
“Errr, coca cola?” jawabku. Mereka tertawa.
“I mean, i don’t drink alcohol, because i’m muslim.” Demikian,
lalu komunikasi seolah mengalami jalan buntu.
Pesan moral #3: Penguasaan pengetahuan dan keterampilan perihal minuman-minuman beralkohol akan membantu dalam pembauran dengan turis lokal, selain menjauhkan diri dari islam..
Mereka mengajakku serta ke Red Light District, lokasi prostitusi salah satu dari yang
paling terkenal sedunia raya itu, dan aku menolak dengan halus bukan karena
tidak mau ke sana tapi lebih karena sudah mengantuk. Cukup untuk digarisbawahi, sebenarnya sudah lama aku
sadar bahwa ada batas yang akan selamanya membatasiku dengan orang-orang berbudaya
barat ini. Batas itu adalah ada atau tidaknya kadar alkohol dalam gelas,
keharuskan memakan makanan halal serta kewajiban menunaikan sholat.
Sambil berpikir begitu, akhirnya segera kusimpulkan bahwa badan yang letih
ini perlu segera menjawab panggilan kasur. Hari ini akan berakhir, tak sabar menunggu
hari esok, cepat datanglah..
paling pinter bikin cerita yg bikin penasaran yg baca *wink
ReplyDeletehehehe makasih anggi..
ReplyDeleteditunggu cerita lanjutannya..
ReplyDeleteudah dilanjutin ya.. makasih.. :)
ReplyDelete