Beranda Rumah Typical di Amsterdam |
Pagi yang baru masuk ditandai dengan matahari yang bersinar ramah
dari sela-sela gedung, melewati halaman taman di tengah bangunan
hostel, menuju ruang makan. Ruang makan sudah penuh dengan turis dan backpacker
dari berbagai Negara yang sedang menyantap sarapan pagi gratis sebagai salah
satu fasilitas hostel dengan tipe layanan bed and breakfast ini.
Ideal, bisa mengambil sarapan dengan porsi besar sekaligus makan siang, sekaligus makan malam, sekaligus makan pagi besoknya lagi jika memungkinkan. Maka kupenuhi piring dengan aneka roti, aneka selai, dua butir telur rebus, dan bergelas-gelas susu. Sambil menikmati, kuamati sekitar, kebanyakan orang berada dalam rombongan, ada satu dua orang yang sendirian, sayangnya tidak ada yang menarik yang bisa di prospek buat teman jalan, devinisi menarik sampai sejauh ini adalah gadis dengan senyum manis dan mengenakan hijab.
Ideal, bisa mengambil sarapan dengan porsi besar sekaligus makan siang, sekaligus makan malam, sekaligus makan pagi besoknya lagi jika memungkinkan. Maka kupenuhi piring dengan aneka roti, aneka selai, dua butir telur rebus, dan bergelas-gelas susu. Sambil menikmati, kuamati sekitar, kebanyakan orang berada dalam rombongan, ada satu dua orang yang sendirian, sayangnya tidak ada yang menarik yang bisa di prospek buat teman jalan, devinisi menarik sampai sejauh ini adalah gadis dengan senyum manis dan mengenakan hijab.
Selesai sarapan, waktunya jalan-jalan. Salah satu metode untuk berkenalan dengan
sebuah kota adalah dengan menelusuri jalan-jalannya, dengan mengikuti
belokan-belokannya dan memutari setiap lekuknya untuk sampai pada titik mula,
sehingga terlukislah gambaran parsial kota tersebut. Namun dengan waktu kunjungan
yang singkat, cara ini menjadi kurang efektif dibandingkan langsung menggunakan
peta dan mengukur jarak salah satu bagian dengan bertelusur.
Jalan Jalan Kota |
Pada dasarnya, pusat kota Amsterdam tidak terlalu besar. Berbagai
objek wisata tersebar dimana-mana pada berbagai arah dan lokasi. Seorang turis
bisa menjelajah kota tanpa guide, tanpa teman dengan hanya berbekal peta.
Dengan menyesal karena telah membeli peta di Bandara, ternyata kudapati banyak
peta gratis dibagikan di tourist information center yang tersebar di berbagai lokasi
strategis di pusat kota.
Pagi yang indah itu membuatku menelusuri jalan-jalan kota
Amsterdam dengan sumringah. Berdasarkan informasi yang beredar di dunia maya,
lebih spesifiknya dari foto-foto facebook teman-teman yang pernah ke Amsterdam, ada
anggapan bahwa belum ke Amsterdam jika belum menunjukkan foto di landmark kota,
rangkaian huruf besar berwarna-warni “I am sterdam”. Maka segera aku menuju ke
sana, berjalan kaki sambil sesekali bertanya sana-sini.
Jalan Kota dan Kafe |
Kebanyakan orang menguasai bahasa Inggris, sehingga tak ada
kesulitan berkomunikasi dengan penduduk lokal mulai dari yang muda hingga yang
tua. Tentu guru bahasa inggris di sekolah merasa bangga dengan kondisi ini,
sementara mungkin guru bahasa belanda mereka merasa prihatin. Yang jelas ini
membuat turis dari berbagai Negara merasa nyaman karena dapat mengurangi
penggunaan bahasa tarzan, sehingga kemungkinan besar bisa meningkatkan daya
tarik pariwisata.
Berbagai Pose |
Berjalan setengah jam, akrhirnya tiba di tulisan Iamsterdam
tersebut. Berupa-rupa orang berfoto
dengan berupa pose mulai dari berdiri, memeluk, memanjat, menungging dsb.
Akhirnya aku berhasil mendapatkan celah dan berfoto juga, tak tanggung-tanggung,
dengan berbagai pose untuk mendapatkan huruf TAMA.
Tama was here in Amsterdam |
Lokasi huruf iamsterdam dekat dengan beberapa museum,
diantaranya Rijksmuseum, Stedelick museum, dan Van Gogh museum sehingga
kulangkahkan kaki menuju ke sana. Apa daya, begitu sampai museum ternyata
antriannya begitu panjang yang laju pengurangan antriannya tak terbaca, dengan
harga tiket yang lumayan mahal.
Museum |
Tiket untuk setiap museum 14 euro, padahal Van Gogh museum salah
satu yang paling ingin kukunjujungi, seorang pelukis jenius yang akhinya menjadi
gila dan memotong telinganya sendiri. Lalu kudapati fakta bahwa untuk makhluk
yang berumur di bawah 18 tahun, masuknya gratis. Sungguh kejam penggolongan berdasarkan
usia ini, biarpun wajahku masih seperti 17 tahun namun umurku tak bisa
berbohong, sungguh malang nasib orang yang baru bisa berpergian ke Eropa dengan
menanggung banyaknya umur. Betapa dunia terasa lebih ramah saat seseorang
berumur belum genap delapan belas.
Harga tiket yang sebegitu menurutku terlalu mahal, kesimpulan dari
pengalaman empiris bahwa di Inggris museum-museum dengan berbagai koleksi yang luar
biasa hampir seluruhnya gratis. Maka aku mundur teratur, memutuskan
berjalan-jalan di taman dan melihat-lihat aneka pedagang kaki lima. Terjaja di
pedagang kaki lima berbagai kerajinan tangan, aneka kaos, buku serta berbagai
kartu pos dari lukisan-lukisan terkenal cenderung muram karya Van Gogh.
Souvenir ala Van Gogh |
Setelah mengamati berbagai koleksi itu tanpa membeli satupun,
akhirnya aku menuju taman. Taman yang bersih menjadi tempat orang bersantai,
tempat burung-burung hidup rukun, tempat orang-orang terlihat kesepian yang mengajak
anjingnya jalan-jalan, tempat seorang nenek membawa cucunya untuk memberi makan
burung-burung tersebut. Taman bernama Vondel Park yang luas merangkum pepohonan
di kiri kanan, danau-danau kecil, kursi-kursi taman dan jalan sepeda di
tengah-tengahnya.
Burung-burung di taman |
Hari yang begitu menyenangkan, akhirnya bisa menjalani libur
setelah sekian lama begitu sibuk dengan perkuliahan, mengurung diri dalam
kamar, menenggelamkan diri dalam lautan buku di perpustakaan, dan menyatu
dengan tugas-tugas dan penelitian thesis (oke, mungkin deskripsi yang terlalu berlebihan). Demikian rupa sehingga dalam liburan ini metode yang kutempuh adalah bersantai se
santai-santainya. Maka aku duduk santai di taman, sambil minum
sambil mengamat-amati orang yang lalu lalang.
Lalu-lalang di Taman |
Siang hari, ternyata sarapan yang ditargetkan bisa
mengenyangkan hingga malam tak berhasil menjalankan tugasnya. Perut sudah
keroncongan, maka salah satu kebab yang berlabel halal menjadi sasaran.
Seporsinya 10 euro, porsinya ukuran orang arab, buat orang Indonesia bisa dibungkus
dan dibawa pulang buat dua kali makan.
Sepeda parkir dimana suka |
Terkadang aku terpaku juga pada wanita berambut panjang yang rambutnya berkilapan diterpa sinar mentari, berkibaran ditiup angin, sambil bernyanyi kecil “here comes your woman” sambil mengayuh sepeda mininya yang memiliki anyaman keranjang di depannya. Saat itulah dunia yang berada disekitarnya bergerak relatif lebih pelan. Lalu kepalanya akan menoleh ke kiri kanan mengikuti lagu yang dinyanyikan. Lalu dia akan menabrak tiang listrik karena lupa melihat ke depan. Pada jenis pengendara sepeda dengan perilaku yang seperti ini para pejalan kaki harus menaruh waspada.
cyclists |
Pasar Bunga |
Selain sebagai kota sepeda, Amsterdam juga adalah kota bunga. Sebenarnya ada taman bunga
yang terletak agak jauh dari kota, dikenal bernama Keukenhof. Sebuah taman 32
hektar yang terkenal dengan bunga tulipnya, meskipun tulip yang identik dengan
Belanda ini konon katanya justru berasal dari Turki. Di salah satu tepi kanal di
pusat kota Amsterdam, terdapat Bloemenmarkt yang kira-kira isitilah Indonesianya
adalah pasar kembang. Maka cukup layak untuk berkunjung ke satu dua toko bunga
ini, menghirup wewanginya, menikmati warna-warni pink segar bertebaran
dimana-mana. Cukup beruntung bahwa aku tak sedang berbulan madu, sehingga membeli
sekuntum tulip warna unyu untuk dipersembahkan kepada si wanita tak ada dalam salah satu
dari sekian banyak pilihan. Meskipun apa yang kukatakan ini belum tentu
mengungkapkan maksud sebenarnya.
Kusuka SIngkong kau suka keju |
Di depan pasar bunga itu, dan di pojok-pojok lainnya terdapat aneka rupa toko oleh-oleh serta toko keju.
Keju yang dijual berbentuk pipih bundar besar dipajang di etalase toko dengan wangi yang
khas, khasnya seperti keju, yang masih hangat. Melihat bentuk dan ukurannya itu, tak terbayang bagaimana cara memakannya. Jika orang-orang disini menyantap keju sebesar itu sebagai kudapan, tentu dapat ditarik asumsi sementara bahwa makanan inilah salah satu faktor yang menyebabkan mereka bisa tumbuh
sedemikan besar, tidak seperti orang Indonesia yang biasanya bertubuh kecil yang
makanan utamanya singkong.
Scream |
Club mencurigakan |
Selain melegalkan pernikahan sejenis yang terkutuk itu, Amsterdam juga melegalkan sex sebagai komoditas yang
bisa dipertukarkan dengan uang. Hal ini tergambar dari keberadaan museum sex, toko-toko yang menjual alat bantu sexual, serta red light district.
Patung dewi sex |
bzzzzt |
Sedangkan tempat prostitusinya Red Light District, sangat terkenal kemana-mana, menjadi landmark kota dan daya tarik pariwisata, walaupun muungkin tak sebesar yang di Thailand atau (sayangnya) Surabaya. Dengan berbekal keingintahuan tinggi akan seperti apa tempat itu, maka aku melangkahkan kaki mencari lokasi lokalisasi yang dimaksud.
Red Light di Musium |
Menelusuri jalan, semakin matahari terbenam, semakin banyak
bermunculan wanita-wanita di ruang-ruang kaca di gedung-gedung semacam ruko
itu. Ruang kaca itu memiliki pintu yang bisa dibuka jika hendak melakukan
penawaran, ketika transaksi telah disepakati, orang tinggal masuk, korden pada
jendela kaca ditutup, dan entah apa pun itu yang terjadi di dalam sana. Saat malam lampu warna merah akan menjadi penerang utama di sepanjang jalan. Sambil jalan
kulihat satu-satu, ada wanita cantik langsing seksi dan entah deskripsi apalagi
yang tepat mewakilinya, mengerling sambil tersenyum sambil menggerakkan jari
telunjuk memanggil-manggil. Deg-degan juga hati jadinya, takut mendadak
tergerak belok menawar atau malah masuk ke dalam salah satu ruang kaca itu.
Padahal buat wanita yang secantik itu, dengan menyederhanakan hal-hal lain tentu aku bersedia membawanya ke rumah, lalu
menjadikannya sebagai partner produksi aneka boneka Barbie. Menyimak salah satu
orang yang kedapatan sedang melakukan penawaran, ternyata satu sesinya bervariasi sekitar 100 euro
saja.
the Redlight dan the District |
bersambung saja lagi...