Pada dasarnya
gw adalah seorang yang anti kehidupan monoton, baik itu aktivitas fisik
aktivitas pikiran harus selalu berhadapan dengan hal-hal baru, sehingga dalam
setiap hal yang gw lakukan seringkali gw melakukan sedikit improvisasi. Salah
satu contohnya adalah jika ketika berangkat kuliah gw lewat depan kampus,
biasanya ketika pulang kuliah akan lewat belakang, menjalani rute yang berbeda
untuk satu tujuan yang sama adalah bentuk minimal untuk proses anti kehidupan
monoton itu.
Pada dasarnya
gw juga suka bereksperimen, seringkali eksperimen itu melibatkan makhluk-makhluk
lain di sekitar kita. Seperti eksperimen apakah kucing jantan yang kumisnya
dipotong akan kehilangan kegantengan, maka gw potong kumis kucing jantan gw,
kemudian gw amati perilaku kucing betina terhadap kucing jantan yang tanpa
kumis ini. Kadang-kadang eksperimen gw melibatkan manusia, kadang dengan
mengeluarkan pernyataan tertentu yang profokatif, kadang dengan menunjukkan
perilaku tertentu. Seringnya, eksperimen itu adalah demi kepentingan eksperimen
itu sendiri.
Beberapa
waktu lalu, gw sukses membuat sebuah eksperimen kecil lain. Pada pagi itu, gw
dengan seorang teman satu flat beda lantai dengan inisial Meru akan melakukan
perjalanan dari Leeds ke London, tiket sudah dipesan dari jauh hari untuk kereta
jam 10. Sewajarnya orang yang janjian, maka gw mengirimkan bbm berisi
pertanyaan awal untuk bertemu.
Tama (09:09):
“Udah sampe mana mer?” (Maksudnya “sudah sampe mana persiapan buat berangkat?”
karena akan berangkat bareng menuju ke stasiun kereta, namun gw sedikit
bereksperimen dengan menghilangkan kata “persiapan buat berangkat”). Ransel dan
segala macam barang sudah siap, sambil menunggu jawaban gw bersantai-santai,
browsing segala macem. Ketika datang balasan bbm yang mengejutkan.
Meru (09:24):
“Masih Jalan”
Meru (09:24):
“Jam 10 teng kan”
Meru (09:24):
“Jam 10 teng keretanya”
Maka gw
terkaget-kaget membaca jawaban itu, sementara gw masih nungguin di lantai atas,
kenapa dia yang di lantai bawah berangkat duluan ninggalin gw? Maka gw balas,
namun bbm di kala itu terjangkit pending sehingga agak terlambat sampai.
Tama (09:30):
“Masih jalan kemana? Lah gw masih di rumah nungguin.”
Meru (09:32):
“Lahh”
Meru (09:32):
“Kirain dah jalan duluan”
Meru (09:32):
“Jiah”
Meru (09:32):
“Ni udah di city center”
Meru (09:32):
“Bzzzz”
Meru (09:32):
“Naek taksi aja bg dari Parkinson”
Meru (09:32):
“Miskom”
Alamak,
alamat ketinggalan kereta nih. Akhirnya gw kelabakan lari keluar kamar, turun
tangga, berlari-lari ke halte bus, sudah tidak mungkin sempat menunggu bus, maka
gw berlari lagi di pinggir jalan mencari taksi, harus naik taksi untuk ke
stasiun yang jaraknya setengah jam jalan kaki. Beruntung saat sedang jalan,
sebuah taksi melintas, sehingga langsung gw stop dan meluncur dengan lancar ke
stasiun. Akhirnya harus membayar seharga lima pounds buat ongkos taksi.
Merasa
bersalah karena sudah meninggalkan gw yang beresiko batalnya perjalanan ke
London, Meru menawarkan mengganti uang taksi lima pound itu, namun gw tolak
dengan untuk menandaskan bahwa itu adalah harga eksperimen yang harus gw bayar.
Meski gw sama sekali tak pernah menyangka bahwa akibat pertanyaan gw yang sederhana
dan mengadung ambiguitas tinggi itu seorang Meru akan terjangkit panik, mengira gw berangkat duluan dan sudah menunggu di stasiun, sehingga bergegas berangkat menuju stasiun seorang diri.. Itu adalah harga sebuah
eksperimen, dan eksperimen seringkali berharga mahal.
Maka gw membuat
catatan dalam hati, untuk tidak sering melakukan eksperimen lagi. Cukuplah
sudah, karena ada biaya yang harus ditanggung untuk eksperimen tak bermanfaat
itu, seperti eksperimen-eksperimen lain yang kadang-kadang gw lakukan.
No comments:
Post a Comment