Monday, January 23, 2012

merokok

Setelah sebelumnya menulis tentang rokok dan bermacam hal yang berkaitan dengannya, kali ini aku akan menulis tentang merokok, berdasarkan pengalaman pribadi. Ada baiknya aku memulai cerita sedari awal.

Sewaktu SD, saat teman-teman mandi di sungai, beberapa orang mulai membawa rokok, entah kebiasaan yang berasal dari mana. Waktu itu aku mencoba, tapi langsung terbatuk-batuk tak menyenangkan. Sewaktu SMP saat beberapa teman semakin banyak yang merokok, aku juga tak mencoba, bahkan termasuk grup anti perokok. Sewaktu SMA, karena disiplin sekolah yang ketat bersama kehidupan asrama, aku pun dijauhkan dari rokok. 

Ada sebuah kecendrungan bahwa anak-anak muda belia yang masih berseragam dan bercelana pendek itu akan kelihatan lebih keren dan lebih berani bila mereka sudah mulai merokok. Anggapan yang sangat konyol memang, saat itu mereka merokok karena pergaulan. Hal yang tidak berlaku buatku. 

Namun, pada hari yang tidak baik itu, sekitar tahun ketiga kuliah di Bandung, aku duduk seorang diri diantara warung-warung makan di Gelap Nyawang. Itu adalah saat aku memikirkan persoalan yang seakan tak memiliki penyelesaian, sedang tak ada seorang teman untuk berdiskusi atau sekedar bercerita. Lalu kuhampiri abang di salah satu kios, membeli sebatang rokok, rokok Gudang Garam (garpit). Untuk yang tidak mengerti rokok, jenis ini ada pada tingkat yang lebih berat, lebih banyak kadar tar dan nikotinnya dibanding rokok seperti Sampoerna atau Marlboro. Kenapa kupilih merek itu? karena aku telah mencoba Sampoerna dan tak merasa ada sesuatu yang istimewa.


Sejak saat itu, rokok telah jadi salah satu teman saat sepi, saat membaca buku sambil menghirup secangkir kopi, saat mengerjakan tugas-tugas di malam-malam panjang, saat memikirkan hal-hal yang nonlinear. Lalu perlahan rokok juga menjadi teman di saat ramai, saat rapat-rapat di himpunan, saat diskusi-diskusi kemahasiswaan, saat obrolan malam-malam di kampus yang tak jelas juntrungan. Salah satu lagu The Doors favoritku kala itu adalah “Soul Kitchen”, dimana salah satu liriknya “Speaking secret alphabets, I light another cigarette, learn to forget”.


Perokok jenis garpit adalah yang terlangka di himpunan di zaman itu, dimana orang-orang selalu membawa rokok jenis Jarum Super dan mild. Tak ada yang menyukai rokok garpit selain orang-orang tertentu, aku menyebutnya rokok dengan idealisme, out of mainstream. Saat rapat dan biasanya orang melempar rokoknya untuk dibagikan ke forum, maka kulempar sebungkus penuh rokok garpit dengan maksud untuk berbagi, akan dilempar kembali kepadaku dengan penuh juga dengan imbalan cercaan.

Singkat cerita, kebiasaan merokok ini terbawa hingga saat bekerja. Semakin berat beban pekerjaan, semakin banyak merokok, sehingga aku tak terlalu menyukai bekerja di ruangan ber AC yang hanya bisa merokok saat istirahat makan. Saat bekerja di lapangan, semakin banyak pula konsumsi rokok, saat itu bisa mencapai dua bungkus sehari. Sebungkus mild dan sebungkus garpit.

Jadilah sebagai seorang Engineer, yang mengurus pekerjaan di kantor dan di lapangan, mengurus apa saja, selalu dengan dua bungkus rokok di kantong. Orang-orang di lingkungan proyek sudah mengetahui kebiasaanku, bahwa saat aku mengeluarkan garpit, berarti pekerjaan sedang sulit dan suasana hati sedang tidak bersahabat. Sedangkan saat aku mengeluarkan rokok mild, berarti pekerjaan lancar, dan pikiran sedang tenang.

Sebenarnya aku ingin berhenti merokok. Waktu itu aku pernah membuat catatan dalam hati, aku akan berhenti merokok jika sang pacar memintaku untuk berhenti, kemauan dari sang pacar mungkin bisa menjadi motivasi yang kuat untuk itu, namun ternyata sang pacar yang baik hati tidak memintaku untuk berhenti, meski juga tidak suka melihatku merokok. Maka, aku mengurangi kegiatan merokok saat sedang bersamanya. Saat berada di dekatnya, setidaknya dia tak akan terkena oleh asap rokok ku.

Aku pernah dengan konyolnya mengatakan bahwa rokok adalah salah satu bahasa universal, ada saat ketika seorang pria bertemu dengan pria lain, mulanya tidak saling tegur sapa. Salah seorang pria akan menghidupkan rokok, dan menawarkan pada pria di sebelahnya. Pria di sebelahnya tak perlu menjawab, hanya dengan memberikan isyarat tangan bahwa dia tak perlu rokoknya, lalu segera mengeluarkan rokok sendiri. Lalu mereka merokok bersama, dan percakapan pun dimulai, suasana menjadi lebih cair. Mereka menjadi bersahabat secepat frekuensi isapan dan hembusan asap dari rokok yang bergemeretak.

Jika di satu sisi faktor kesehatan dan sebagainya memberikan berbagai dasar dan argumen kenapa orang harus berhenti merokok, di sisi lain para perokok selalu bisa memberi berbagai argumen untuk tetap merokok. Ada sekian banyak argumen untuk merokok, sebanyak argumen untuk tidak merokok. 

No comments:

Post a Comment