“Maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku, menerimaku menjadi ayah dari anak-anakmu?”
Dulu, kalimat ini menjadi salah satu kalimat rekaan dalam imajinasi setiap kali melihat wanita pujaan hati, sampai sekarang kalimat ini belum pernah diucapkan. Sampai memiliki beberapa pujaan hati, anak-anak dan ibunya.
Waktu terasa berjalan begitu cepat, Alhamduillah, segala puji hanya bagi Allah, saat ini semua cita-cita yang dulu diidamkan rasanya sudah tercapai. Dalam kesempatan ini, saya ungkapkan salah satunya, bagaimana rasanya menjadi seorang ayah.
Menjadi ayah, menjadi mata rantai kehidupan dari manusia awal hingga manusia akhir (insyaAllah) untuk pertama kalinya, merupakan salah satu titik paling bahagia, merangkum berbagai memori dari kehamilan, berangkat ke dokter kandungan, hingga proses kelahiran si anak bayi, semua momen itu tak terlupakan. Mungkin berbagai perasaan penuh cinta, penuh harapan, penuh perasaan cemas, yang campur aduk itu yang ternyata bisa memperkuat ingatan.
Menjadi ayah, berarti akan menatap istri yang berbaring didorong menuju ruang persalinan atau operasi, menunggu dengan penuh panjatan doa, kemudian menggendong buah hati untuk pertama kali, membacakan adzan dan iqomat pada telinga si mungil dengan cangguh, mendengarkan tangisan oak-oak nya si bayi, mengamati satu persatu mulai dari wajah, rambut, tangan, kaki, perut dan semuanya yang mungil-mungil, selanjutnya menatap wajah sangt istri yang dalam menahan sakit paska persalinan pun tetap antusias mengambil gambar-gambar yang mengabadikan momen bahagia itu.
Menjadi ayah, berarti menjadi suatu keberkahan dengan datangnya untaian doa dari kolega. Doa untuk harapan seorang anak sholeh yang bisa mebahagiakan orang tua, padahal anak itu sendiri adalah suatu kebahagiaan, kebehagiaan yang hadir setelah kebahagiaan yang muncul pada proses pembuatannya. Mengiringi doa yang baik itu, biasanya kado-kado berdatangan, ternyata manusia adalah makhluk yang senang didoakan dan senang dikadokan. Berbagai momen ulang tahun tanpa kado seolah tergantikan dengan berbagai kado yang berdatangan untuk si anak bayi hingga menumpuk menjulang di dalam kamar. Sungkan untuk dibuka, karena membukanya akan membuang rasa penuh harapan saat menatap bungkusan kertas kado.
Menjadi ayah, berarti akan penuh perasaan syukur dan takjub, melihat wajah si anak, membandingkan berbagai kombinasi bentuk mata, alis, hidung, telinga, mulut, dagu, bentuk tubuh yang dapat muncul pada si anak, memang Allah Maha Baik, memberikan kombinasi yang terbaik dari ayah ibunya, untuk hadir pada menjadi si anak.
Menjadi ayah, berarti akan menjadi saksi dari proses tumbuh kembang si anak yang ajaib, menyaksikan si anak bisa berguling di kasur, bisa mengucapkan kata-kata pertamanya, bisa merangkak, bisa berjalan, bisa berlari, bisa melompat. Mengamati tangan dan kaki mungilnya yang tumbuh menjadi besar, wajahnya yang selalu polos saat tidur walaupun tingkahnya petakilan sepanjang hari.
Menjadi ayah, berarti sibuk berpikir bagaimana caranya agar tidak terlambat masuk kantor, karena berangkat kerja mepet waktunya, sementara si anak meminta ikut naik mobil satu keliling komplek, kadang perlu dua, kadang dua keliling dan si anak masih nangis minta ditambah jumlah kelilingnya. Perlu juga memikirkan akan membawa apa setiap pulang ke rumah, si anak akan berlari menyambut saat pintu dibuka, memeluk, dan lantas mengatakan “Ayah, pulangnya bawa apa?”.
Menjadi ayah, berarti kehilangan waktu buat diri sendiri, tidak bisa melamun, tidak bisa membaca buku, tidak bisa menulis, tidak bisa bekerja dari rumah, karena si anak akan datang, dan dengan antusias membuyarkan lamunan si ayah, menarik-narik senar gitar, menggayut di kedua kaki, menggelendot di punggung, menguasai handphone, mengajak bermain, menguasai acara televisi, mensabotase laptop, anak itu selalu berhasil menjadi raja dimanapun orang tuanya berada.
Menjadi ayah, berarti akan melatih kreatifitas, mencari berbagai permainan yang bisa dimainkan si anak tanpa membahayakan, mencarikan buku dan berbagai media melatih perkembangan motorik dan kecerdasannya, mencari berbagai cerita yang akan dibacakan menjelang tidurnya, biasanya tak cukup satu cerita, saat bercerita ayahnya sudah tertidur dan cerita melantur, mata si anak tetap terang seperti purnama di langit malam.
Menjadi ayah, berarti juga suatu latihan kesabaran setiap hari, selain karena marah itu tidak baik bagi perkembangan psikologisnya, si anak justru akan meniru dan mewarisi emosi yang dilimpahkan kepadanya, saat memarahinya dengan menatap tajam, si anak akan balas marah dan menatap tajam. Atau diwaktu yang lain, dia bisa menangis sesegukan, atau air matanya yang berlinang, seperti tetasan hujan yang mengalir melalui kaca, entah darimana koleksi air untuk mata anak ini diambil, masih menjadi misteri. Sehingga melihat semuanya itu, membuat emosi melarut menambah rasa sayang dan keinginan melindungi dan memberikan yang terbaik bagi si anak.
Menjadi ayah, berarti sering menatap wajah ibunya anak-anak, yang sering terlalu lelah telah bekerja mengurus anak-anak seharian, sering tidak sempat makan, kekurangan tidur, kurang berpergian, kurang waktu untuk dirinya sendiri. Semua yang dijalani ibunya anak-anak dengan penuh keikhlasan, saat ayahnya bekerja di luar.
Menjadi ayah, berarti mengingatkan akan nostalgia sewaktu kecil, menjadi pertanyaan, apakah dulu sewaktu kecil juga sama petakilan dan tidak bisa dikendalikan seperti anak-anak ini, apakah dulu juga sebegitu merepotkan, apakah dulu juga sering menangis, sering tertawa-tawa, selalu minta digendong, selalu senang diajak keliling-keliling naik motor, selalu senang digenggam tangannya dan diajak berjalan-jalan, nostalgia masa kecil akan mengingatkan lagi pada Alamarhum Bapak yang sudah tidak ada, dan ibu yang jauh di kampung halaman.