Ayah ibuku berasal dari Padang, ibu sudah tidak
ada, dan ayah menikah dengan wanita lain lalu pindah ke Palembang. Kakak
perempuanku sebagai pewaris harta peninggalannya menjual tanah dan rumah kami
namun tidak memberikan bagian yang cukup untukku. Itulah sebabnya, aku sampai
harus merantau kesana-kemari pindah dari satu kota ke kota lain demi mencari
sesuap nasi.
Selama hampir setahun terakhir ini aku tinggal di
jambi. Ada saudara jauh yang memberikan pekerjaan, pekerjaan menjaga pasar.
Setiap malam antara komplek pasar dari Angso Duo sampai ruko-ruko baru di
WTC, aku berjaga-jaga dan mengutip pembayaran sebulan sekali. Mungkin penjagaan
yang informal itu bisa diistilahkan dengan sebutan preman.
Badanku gempal, kulitku hitam, rambutku keriting,
dan di lenganku yang berotot terdapat tato berwarna hijau biru yang sudah
memudar. Setidaknya itu menjadi bekal yang cukup untuk pekerjaanku. Tetapi
lama-lama pekerjaan ini tidak menyenangkan juga, masih terasa rasa bersalah
saat beberapa teman mengutip berlebihan dari pemilik-pemilik toko. Saat memberikan
uang, mau tidak mau terasa bahwa dalam hati mereka, mereka mungkin mengutuki
kami ini yang menerima uang mereka. Suatu saat, terasa bahwa suasana kian tidak
menyenangkan, kuputuskan untuk merantau ke Jakarta.
Perjalanan ke Jakarta dengan menumpang sebuah truk,
selama dua hari membuat badanku lumayan pegal. Tujuanku adalah Terminal Pasar Senen,
dengan berbekal sebuah SIM, mudah-mudahan aku bisa menjadi sopir cadangan angkot
atau apapun itu di terminal. Tetapi, hari sudah malam, sehingga aku mencari
tempat istirahat di antara ruko-ruko pasar.
Banyak juga orang di sana, ada beberapa lelaki yang
gaya bicaranya kewanitaan dan mencoba menggodaku, mengajakku bercinta.
Segerombolan lelaki itu, seperti sebuah komunitas, saling berkenalan dan saling
mengajak. Bahkan sampai bersedia membayarku seratus ribu untuk mendapatkan yang
mereka inginkan. Awas, kalau mereka macam-macam bisa kuhantam. Menurutku itu
adalah penyakit menular yang susah disembuhkan, aku tak mau ditularkan penyakit
sejenis itu. Aku masih suka dengan perempuan, meskipun di usia yang sudah tiga
puluh lima ini masih belum menikah. Permasalahan sederhana dan klasik, dimana
bisa kutemukan wanita yang mau menikahi seorang lelaki dengan pekerjaan
serabutan sepertiku?
Sambil menatap kelompok lelaki yang saling berkenalan,
bercanda dan menjurus ke menjalin keintiman itu kupejamkan mata, tidur dengan
beralaskan kardus di sela-sela lorong ruko yang sudah tutup. Aku pun tertidur,
dan dalam tidurku akhirnya merasakan kejamnya Ibukota.
Pada saat bangun pagi, tas yang kubawa sudah tidak
ada, padahal di sana ada perlengkapan, pakaian, fotokopi ijazah SMP, serta dompetku
yang berisi SIM uang dan sebagainya. Kesal sekali, jika bertemu orang yang mengambilnya
tentu kupukuli sampai mampus.
Rencana mencari pekerjaan jadi sopir cadangan di Terminal
Senen tak bisa dijalankan, karena SIM ku sudah tak ada. Akhirnya selama beberapa
hari aku berkeliling kesana kemari, mencari pekerjaan, tidak kudapatkan. Dengan
berjalan kaki kutempuh dari pasar senen, hingga pulau gadung,
hingga kembali lagi, menempuh jalan sampai ke Salemba, mencari pekerjaan
dengan mendatangi satu persatu toko di pinggir jalan. Sampai suatu pagi di hari
keempat, uang di kantongku sudah habis.
Pagi-pagi aku pergi ke Monas, kabarnya bisa menjadi
joki 3 in One di situ, tetapi hari minggu seperti ini ternyata tak ada. Lelah
sekali aku, langkahku sudah sempoyongan, akhirnya aku berjalan ke taman
lapangan Banteng, mencoba mencari tempat tidur.
Orang-orang sedang berolaharaga pagi di taman ini,
aku cari tempat yang nyaman, ada sebuah saung dari bambu dengan atap yang
nyaman di tengah taman, seorang lelaki muda sedang tiduran dan membaca di situ.
“Permisi mas, numpang istirahat ya..” kataku.
“Iya, boleh pak.” Katanya.
Kulihat dia sedang santai membaca buku, judulnya
dalam bahasa inggris, di sebelahnya handphonenya tergeletak seadanya. Kupikir-pikir,
kalau dia lengah bisa juga handphone nya kubawa lari, bisa dijual buat beli makan.
“Susah kali mas nyari kerja di Jakarta ini, sampai tepar
badan saya, sudah jalan kaki kemana-mana cari kerja, ga dapat juga.”
“Iya pak, memang susah nyari kerja di Jakarta.” Sahutnya,
sambil berhenti membaca, melihatku.
“Mana dompet dan tas hilang diambil orang, didalamnya
ada dompet segala macam, jadi dari kemaren belum makan karena habis uang,
memang Jakarta kejam.” Kuceritakan sekalian masalahku.
“Serius pak, sehari belum makan?” tanya pemuda itu,
wajahnya campuran antara kaget, senyum seperti hendak tertawa, mungkin dikiranya
aku bercanda.
“Iya, terakhir sarapan di warung tegal kemaren,
tujuh ribu, semalam cuma minum kopi dikasih penjual minuman.”
“Ini pak, ada beng beng, bisa buat sarapan.” Kata pemuda
itu, sambil menyodorkan plastik berisi tiga buah beng beng, sambil menyodorkan air
minum botol. Dengan canggung akhirnya kuambil, makan satu-satu.
“Darimana asalnya pak? Kok bisa ke Jakarta?” Tanya
pemuda itu, sudah berhenti dari membaca buku. Sambil memasukkan handhphonenya
ke dalam tas.
“Dari padang mas, sudah empat hari saya di Jakarta,
cari kerja. Mas nya darimana?”
“Saya dari Jambi mas, di sini juga cuma kerja.”
“Oh, aku pun dari Jambi kemaren, lah setahun kerja
di jambi.” Kuceritakan sekalian kisahku sambil mengubah dialek jadi melayu Jambi,
bagaimana bisa datang ke Jakarta in. Biasanya orang yang satu daerah, satu
kampung, bisa lebih peka untuk membantu. Mungkin dia bisa memberikan bantuan
uang ala kadarnya, tetapi aku menahan malu supaya tidak meminta secara
langsung. Walaupun belum tentu semuanya baik, berkaca dari pengalaman semalam, penjual
sate padang yang kuajak ngobrol dan kuceritakan bahwa aku tak punya uang untuk
makan sama sekali tak menawariku makan, tetap kipas-kipas dan tak terlalu
peduli, dari pengalamanku memang seperti itulah watak asli padang.
Setelah
kuceritakan kisahku, pemuda ini bukannya simpati malah bertanya.
“Abang, agamanya apa?”
“Islam.” Kataku.
“Itu bang, dalam islam rejeki kita tak cuma tergantung
pada usaha aja, ada unsur doa juga, kalau abang rajin sholat dan berdoa,
mungkin lebih dimudahkan datangnya rejeki.”
“Kadang mau sholat itu ragu jugo, badang kotor
begini, pakaian sudah berapa hari dak ganti. Macam mano sholat mau diterimo.” Ucapku
membela diri, sambil menarik lengan baju, supaya tato di lengan tak terlalu
kelihatan.
“Sebenarnya ada seorang paman buka rumah makan
padang di terminal Baranangsiang, kalau terpaksa mungkin aku bisa bantu-bantu
di sana, tapi sekarang ini mau ke Bogor pun sudah tak ada ongkos. Dengan baju
tinggal di badan begini, datang ke sana kaya gembel, biso diketawain aku. Nanti
diceritakan pula sama sanak keluarga, masak biasanya di kampung jadi preman di
Jakarta malah jadi gembel.” Kataku melanjutkan keluhan. Pemuda itu tertawa sedikit.
“Ukuran badan kita ga jauh beda kan ya bang, di
tempat aku ada baju-baju yang sudah jarang dipakai, abang mau?” katanya.
“Boleh juga jika begitu.” Kataku.
Kami pun berjalan menuju ke tempat tinggalnya, katanya di daerah Pejambon, dekat Stasiun Gambir. Sambil jalan, pemuda itu bilang.
“Tapi, sebenarnya kalau mau berusaha bisa hidup di
Jakarta ini, jika jualan apa saja pasti ada yang beli, kaya pemulung dan
penyapu jalan itu, itu juga suaut yang bisa dikerjakan, asal kita terus
berusaha.” Katanya sambil jalan, kami
lewati beberapa pemulung, seorang pak tua yang sedang menyapu jalanan, seorang
perempuan yang sedang menunggu bus di trotoar. Akhirnya tiba di pengkolan
jalan.
“Abang sarapan aja dulu, terserah mau di mana,
sambil aku ambilkan bajunya.” Kata pemuda itu.
“Iyolah, di sini aja.” Aku lapar sekali, sehingga
tak berpikir panjang langsung masuk ke sebuah warteg pinggir jalan. Pemuda
tadi, entah siapa namanya, pergi meninggalkanku menuju tempat tinggalnya.
Aku pun makan dengan lahap, sampai kenyang. Saat
selesai makan, barulah terpikirkan, bagaimana jika pemuda itu tidak datang
lagi. Mau bagaimana caranya membayar makanan ini? Uang tidak ada, sesuatu yang
bisa dijual digadai juga tidak ada, alamak, sering orang menipu di Jakarta ini,
masak aku tertipu lagi. Beberapa menit aku menunggu, sambil meminjam koran dan
membacanya di kursi depan warung. Jika sampai lama nanti pemuda itu tidak
datang, aku bisa tinggal lari pura-pura lupa membayar.
Sial sekali nasibku, umurku sudah 35 Tahun, tidak
punya pekerjaan, mau makan tidak ada uang, mau pergi ke Bogor tidak ada modal, jika
sampai 40 tahun nasibku masih begini-begini saja, maka sudah tidak ada harapan
buat menjadi lebih baik. Begitu selalu yang kudengar dari orang-orang tua. Sering kupikirkan untuk berbuat apa saja demi mendapat uang,
mencopet, menjambret, mencuri, toh orang-orang juga tidak peduli jika perutku
lapar. Orang yang bermobil, bermotor di jalanan ini bahkan tak peduli jika aku menyeberang, tetap kencang
laju jalannya. Orang sekampung yang jualan sate padang bahkan tak peduli jika aku lapar. Pemuda tadi juga, harusnya kuambil saja handphonenya, terus lari,
setidaknya aku bisa dijual untuk hidup sebulan. Begitu pikiranku dalam hati,
sambil pura-pura membaca koran. Dadaku berdebar-debar karena kekhawatiran.
Saat itulah mendadak dari arah depan pemuda itu berjalan mendekat, langsung masuk
ke warung, menanyakan dan membayar apa yang kumakan.
“Sempat ketar-ketir tadi, kukira mas ga balik lagi..”
kukatakan isi pikiranku.
“Ga mungkin lah bang..” katanya sambil memberikan
satu plastik berisi baju-baju dan celana.
“Sukses ya bang, mudah-mudahan cepat dapat kerjaan..”
Dia menjabat tangan, sambil memberikan sejumlah uang yang jumlahnya cukup untuk membawaku ke Bogor. Aku tak
bisa berkata-kata. Aku langsung
berbalik dan melangkah pergi, rasanya ingin menangis..