Malam hari pukul 10 malam, saat berjalan di trotoar dekat
gambir untuk pulang menuju kosan. Bertemulah aku dengan seorang nenek.
Nenek itu badannya membungkuk hampir 90 derajat, di tangan kirinya dia
memegang tampah (anyaman bambu berbentuk bundar yang biasa dipakai untuk
menampi beras {menampi = membersihkan beras dari kotoran sebelum dimasak
dengan cara seperti diayak}) di tangan kirinya dia memegang kursi
plastik kecil berwarna hijau, di atas punggungnya dia menggendong bakul
beserta isinya.
Pernah mendengar sebuah riwayat, bahwa Ali
bin Abi Thalib pernah terlambat menuju sholat subuh berjamaah di masjid
karena di depannya ada kakek yang berjalan pelan, dan dengan alasan
tertentu beliau tidak mau memotong jalan kakek itu. Sehinggalah aku juga
memelankan jalan, enggan memotong jalan nenek ini.
Sambil
menjejerkan langkah, kutawarkan bantuan untuk membawa bakulnya yang
kelihatan berat. Nenek itu bertanya aku hendak kemana. Diberi tahu
arahku yang berbeda dengan arahnya dia lalu menolak tawaran bantuanku,
tempatnya masih jauh katanya, masih jalan terus menelusuri tepian kali.
Kubujuk berkali-kali nenek itu tetap tidak mau.
Dia
bilang, dia jualan lontong di dekat halte bus gambir, tetapi dagangan
tidak terlalu laku hari ini. Katanya biasanya dia naek bemo, tapi tadi
bemonya tidak mau mengantar beralasan bahwa ke tempat tinggalnya perlu
memutar jalan yang cukup jauh. Karena ditawari berkali-kali dia tidak mau, aku coba membantunya dengan memberikan sedekah uang ala kadarnya, nenek mulanya menolak,
akhirnya menerima dan membalas dengan untaian doa indah. Akhirnya sambil
memohon maaf, aku berjalan duluan.
Sampai sejauh ratusan meter aku
berjalan cepat di depan nenek itu, kulihat kebelakang, nenek itu masih
tidak jauh dari tempat berjalannya waktu kutinggal, masih berjalan
tertatih-tatih. Yang sangat kontras dengan cepatnya jalan orang-orang
yang berpapasan dengannya, juga lebih kontras dengan seliweran kendaraan
yang menderu di tengah jalan. Pelaaaan sekali jalan nenek itu.
Timbul
lagi rasa iba di hatiku, muncul juga pikiran di benakku, bagaimana jika
tiba-tiba dia sampai pada batas kekuatannya, karena beban yang
dibawanya terlalu berat, jarak yang ditempuhnya terlalu jauh,
kekuatannya terlalu terbatas.. bagaimana jika dia terjatuh di tengah
jalan, dan tidak bangun lagi. Tentu aku akan merasa bersalah sekali.
Akhirnya
aku berbalik arah, kembali menghampiri nenek itu. Nenek itu agak
terkejut melihatku kembali. Kali ini aku menawarkan membawa barangnya
dengan sedikit memaksa, mengatakan aku tidak bisa tidur malam ini jika
dia belum sampai rumah. Akhirnya nenek itu mengiyakan.
Aku
bawakan bakulnya yang berisi barang dagangan yang cukup berat, tanpa
barang bawaan di punggungnya ternyata dia tetap membungkuk yang mungkin
karena faktor usia. Saat kuminta membawakan juga tampah dan kursi
plastiknya, dia menolak. Ternyata tampah di tangan kiri dan kursi
plastik di tangan kanan itu adalah alat yang membantunya berjalan, untuk
menapak tanah biar tidak jatuh. Tiap kali ada jeglongan, daerah
berlubang atau tidak datar di trotoar, jalannya jadi berhenti dan sangat
hati-hati karenanya matanya sudah tidak awas.
Terlintas
juga caci maki untuk pemerintah daerah yang tidak menyediakan trotoar
yang layak buat pejalan kaki, terutama untuk pengguna yang sudah
berkurang kemampuan penglihatan dan berjalannya yang seperti nenek ini.
Aku
menjejeri langkahnya, sambil mengajaknya bercerita. Nenek yang baru
pulang sehabis berjualan lontong, buah, rokok dsb. Nenek yang berasal
dari Jogja seperti nenek ku. Nenek yang bahasa Indonesianya masih
terpatah-patah, lebih mudah berbahasa jawa yang halus. Tiap kali nenek
bicara dengan bahasa jawa halus, tiap kali pula aku menjawabnya dengan
bahasa Indonesia. Belum tentu yang kami bicarakan itu saling sambung
menyambung. Nenek ini terlihat menyesal karena sudah membuatku kerepotan
atau keberatan.
Lambat sekali jalan kami. Melewati
trotoar yang tidak rata yang bolong-bolongnya berbahaya, melewati parkir
aneka mobil, melewati berbagai penjual makanan, melewati gang yang
gelap menelusuri pinggiran kali.
Sampai kami di depan tempat
tinggal nenek itu. Ketika aku mau pamit, malah si nenek membekaliku
dengan aneka buah-buahan salak dan jeruk yang diambil dari dagangannya.
Dengan terpaksa aku menerima, untuk menyenangkan nenek yang harga
dirinya tinggi ini. Nenek yang mau hidup mandiri dan tidak mau
merepotkan orang lain.
Ketika kutanya, anaknya masih ada,
kenapa nenek masih berjualan. Jawabnya adalah untuk mencari hiburan,
daripada di rumah membosan. Sudah cukup sering ketika pulang dari suatu
perjalanan aku bertemu nenek-nenek jawa yang membawa bakul berat di
punggungnya yang sedang menempuh perjalanan yang sepertinya jauh.
Terlintas
tanya di kepala, benarkah bahwa orang-orang tua yang masih bekerja
hingga tua itu masih bekerja dengan alasan mencari hiburan,
memaksimalkan kemampuan dirinya, bukan semata-mata motif ekonomi?
Tentunya tak bisa berkomentar banyak jika kelak survey membuktikan
demikian, bahwa ekonomi bukanlah alasan mereka untuk masih bekerja di
luar rumah dan melakukan perjalanan jauh.
Namun jika
alasan sebenarnya adalah faktor ekonomi, tentu harus ada solusi yang
dilembagakan. Seandainya memungkinkan, suatu saat Negara ini harus
memberikan tunjangan kepada kakek atau nenek dalam keadaan tertentu,
yang keluarganya tidak mampu atau yang tinggal sebatang kara, agar
setidaknya mereka terlepas dari beban kehidupan sehari-hari, terlepas
dari kekhawatiran harus mencari nafkah jika tidak tinggal bersama
cucunya, agar seorang anak atau cucu lebih tergerak untuk merawat orang
tua mereka yang masih tersisa yang usianya sudah tua. Mungkin setidaknya
itu bisa membuat usia harapan hidup manusia di negeri ini meningkat,
yang saat ini jauh lebih kecil daripada di negara-negara maju sana
(Rata-rata life expectancy di Indonesia 69.5 Tahun, sementara UK 80.5
Tahun).
Tunjangan itu mungkin seperti tunjangan
hari tua pensiunan pegawai ditambah dengan berbagai bentuk perlindungan sosial
lain seperti kesehatan dan sebagainya.
Ketika melihat seorang nenek atau kakek yang sudah tua di rumah sering aku bertanya-tanya, apa kira-kira yang ada di benaknya. Apa hidupnya sudah sesuai dengan cara hidup yang selama ini dia inginkan. Apa mimpi-mimpi hidupnya sudah tercapai..
Ketika melihat seorang nenek atau kakek yang sudah tua di rumah sering aku bertanya-tanya, apa kira-kira yang ada di benaknya. Apa hidupnya sudah sesuai dengan cara hidup yang selama ini dia inginkan. Apa mimpi-mimpi hidupnya sudah tercapai..
Namun tak berani kutanyakan itu,
khawatir jawabannya akan menimbulkan perasaan tidak enak. Hanya satu
yang aku tau, bahwa dalam usia tua itu, jangan sampai ada kekhawatiran
pada diri seorang nenek atau kakek untuk memenuhi kehidupan dasarnya.
Jika mengacu pada piramida maslow, maka setidaknya nenek atau kakek
sudah harus mengaktualisasikan diri atau memenuhi kebutuhan spiritual.
Bahkan
dalam Quran sudah ditekankan untuk memperlakukan orang yang berumur
lanjut dengan baik sejak dari perkataan, dilarang membentak, dan harus
mengucapkan perkataan mulia dan mendoakannya dengan doa “Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telak mendidik aku
waktu kecil.” (Quran 17: 23, 24).
Sambil berpamitan kepada
nenek itu, aku hanya berjalan pulang sambil kepala tertunduk dengan
pikiran berkecamuk. Teringat kepada nenek di rumah sana, ingin datang,
dan memeluknya..
Jakarta, 30 Juni 2013