Amsterdam adalah kota kanal, tata kota terdiri dari separuh lingkaran
yang dipecah-pecah oleh kanal-kanal kecil maupun besar. Konon kanal yang total
panjangnya lebih dari 100 km ini dibuat abad ke-17 untuk memanajemen air dan
sebagai banteng pertahanan alami, canggih juga mereka sudah mengatur air di
zaman Indonesia masih baru akan dijajah. Keberadaan kanal ini tentu menyebabkan
harus ada jembatan-jembatan yang kabarnya juga sampai seratusan jumlahnya.
Entahlah, siapa yang pernah menghitung jembatan itu. Belum ditambah jumlah
sepeda yang biasanya terparkir dalam keadaan digembok di sepanjang pinggiran
jembatan. Keberadaan gembok-gembok itu mengandung indikasi sebuah usaha untuk mencegah
berputar baliknya keadaan dari kondisi sepeda tak bertuan menjadi tuan tak
bersepada.
Dengan kemiripan antara satu tempat dengan tempat lain dan keberadaan
kanal-kanal ini dijamin orang-orang baru akan lebih mudah kesasar. Disitulah ponsel
canggih dengan aplikasi google maps atau peta konvensional menjadi kebutuhan
pokok untuk mengira-ngira sedang ada di kanal bagian mana, situ jugalah aku
mengerti kenapa Dora selalu mencari peta.
Kanal-kanal besar di kota bisa ditelusuri dengan kapal. Biasa disebut
paket wisata Canal Tour. Harganya sekitar 12 Euro untuk satu dua jam perjalanan
berkeliling, ada beberapa operator yang bisa ditemui di berbagai lokasi kota.
Tiket bisa juga dibeli ditempat atau di lokasi-lokasi travel agen setempat.
Berpikir bahwa perjalanan ke kota ini tak akan kulakukan sekali setaun,
maka kuputuskan mengikuti tour. Teman seperjalan di kanal tour ini adalah dua wanita
cantik asal Taiwan yang kuliah di Brazil dan sedang liburan keliling eropa.
Saat kutanya apa mereka mengatahui Indonesia dan Bali mereka bilang tau, dan
ingin liburan ke bali suatu saat nanti. Berbeda dengan wanita Taiwan teman
kuliahku si Sandra yang bilang pernah ke pulau Bali sewaktu kecil tapi mengaku tidak
pernah ke Indonesia.
Tour kanal adalah menelusuri (tentunya) kanal dengan sebuah (katakanlah)
perahu yang cukup nyaman. Rasakan hembusan angin segar dari jendelanya sambil
menikmati pemandangan berbagai aktivitas di sepanjang kanal dan berbagai
bangunan disekelilingnya. Tentunya tak ada pemandangan sampah bertebaran, atau bidadari
sedang mandi di pinggir kali seperti biasanya sungai-sungai Indonesia. Seorang
petugas mendeskripsikan berbagai bangunan bersejarah berikut cerita-cerita
seputarnya selama kurang lebih satu jam.
Selesai keliling kanal, perjalanan kulanjutkan dengan berfoto bersama
tokoh-tokoh terkenal di madame Tussaud. Musium seperti ini juga terdapat di London,
Berlin, Hongkong, Bangkok, dsb. Di Amsterdam tiket masuknya 21 euro bisa
didapat di travel agent terdekat untuk menghindari antrian di museum.
Harga tiket ini cukup mahal sebenarnya, namun tak apalah demi melakukan
berbagai kegiatan yang ingin dilakukan bersama tokoh pujaan. Maka aku masuk dan
melakukan apa itu yang ingin dilakukan seperti meggelitiki Musolini, menghibur
Anne Frank, mengangkat rok Moulin Moonroe, merenungkan teori relativitas
bersama Einstein, Menari bersama Jacko, membantu Gandhi menyebrang jalan, Menabuh
gendang bersama Bob Marley sambil curhat dengan lagu kesayangan “no woman no
cry...” dsb.
Ketika sore hari berjalan menuju museum Anne Frank aku berpapasan dengan
dua orang wanita yang sepertinya baru pulang dari belanja-belanji. Dan inilah
tipikal wanita yang bisa bikin bangkrut para lelaki, diliat dari kantung belanjaannya
yang memenuhi tangan itu, dilihat dari tas yang dipegangnya yang bermerk Hermes
itu.
Kami saling melihat, lalu senyum-senyuman, salah seorang dari mereka
menyapa dan minta difoto. Ya sudah aku foto mereka, mulai dari pose standard,
lalu salah satu mengecup sebelahnya, lalu mereka berciuman, lalu mereka semakin
liar. Hmm, ternyata adegan terakhir hanya terjadi dalam bayanganku. Si rambut
pirang mengatakan bahwa temannya adalah artis, sehingga fotonya tak bisa
sembarangan beredar. Baiklah, hanya akan ku upload di blog.
Antrean untuk masuk museum Anne Frank rasanya terlalu berlebihan untuk
seroang anak perempuan malang berumur 15 Tahun itu, sehingga urunglah niat
untuk masuk ke sana. Di dekatnya terdapat sebuah monumen aneh yang disebut homo
monumen, padahal setelah dicari-cari ternyata tak ada monumen, cuma sebuah
lantai berbentuk segitiga. Tak perlu dipertanyakan apa maksud monumen ini, karena
aku pun tak begitu paham. Bahkan anak kecil setempat yang kutanyakan perihal
ini pun tak paham. Akhirnya kulanjutkan jalan-jalan ke berbagai tempat lain,
seperti Bijbel Museum (Museum Injil), American book corner, dan restoran take
away Indonesia, Kanjtil. Restoran yang terakhir ini, sangat recommended, yang
termurah sebangsanya.
Kesan bahwa Amsterdam adalah kota penyiksaan kudapat saat berjalan-jalan
dan melihat di pinggir jalan terdapat berbagai museum penyiksaan, mulai dari
Torture museum, Medieval torture museum, hingga pertunjukan seram Amsterdam
Dungeon, sungguh sesuatu yang terasa aneh bahwa siksa-menyiksa bisa dijadikan
museum. Mereka ingin mengenang berbagai penyiksaan yang pernah dilakukan pada
masa lampau. Penampakan museum ini dari luar saja sangat menyeramkan, ada
berbagai alat penyiksaan seperti kursi listrik, dsb. Membayangkan bahwa dulu
banyak yang disiksa dengan alat-alat itu membuatku bergidik dan segera
melanjutkan perjalanan, tak akan mampir. Namun penampakan seorang wanita
bertampang seram dengan busana unik jaman pertengahan sebagai penjaga dan tokoh
utama salah satu pertunjukan membuatku tertarik untuk mengabadikan.
Lalu ku ajak dia berfoto bersama. Dia dengan tegas menolak.
“I can’t smile.” Katanya.
“It’s oke, you don’t have to smile.” Ucapku, tak putus asa. Akhirnya dia
menyetujui, saat kami sedang difoto, dia sempat mengucapkan kutukan.
“I wish you a bad day!” Ucapnya lagi, entah benar-benar mengutuk atau
hanya menyesuaikan dengan perannya sebagai wanita jahat penggerutu.
“I wish you a good day.” Ucapku, berusaha menabahkan hati.
Ketika melihat hasil foto wajahnya yang begitu cemberut, dan wajahku
yang begitu sulit untuk cemberut, maka kukatakan.
“Please smile at least once, you’ll look beautiful.” Bujukku.
“No, i can’t smile.” Ya sudahlah, sepertinya harus aku yang menyesuaikan
memasang tampang cemberut. Kupikir entah wanita ini aslinya adalah seorang yang
benar-benar penyedih, penggerutu, dengan kelainan jiwa dan tak bisa tersenyum
atau dianya yang terlalu menjiwai peran yang diberikan.
Akhirnya sudah saja kuucapkan terima kasih.
“Thank you, nice to meet you.”
“You’re welcome, have a nice day.” katanya, seraya kulihat sedikit
senyum tergurat di ujung bibirnya, sekilas saja, sedikit sekali. Aku balas
dengan senyum lebar-lebar.
Amsterdam adalah kota yang melegalkan ganja, itu sudah pernah kudengar
sebelumnya. Selain ada ganja museum gallery, banyak terdapat kafe-kafe tidak
biasa yang menyediakan rokok ganja, kue ganja, atau apapun itu yang berhubungan
dengan ganja salah satu yang paling terkenal adalah Buldog. Penasaran akan
seperti apa tempat ini, maka kumasuki salah satunya yang kebetulan memiliki
akses internet (merangkap warnet).
Di dalamnya terdapat meja kursi layaknya cafe dimana orang biasa makan
kue atau minum kopi. Yang membedakan adalah asap yang mengepul memenuhi ruangan
dan bau menyengat yang merebak. Orang-orang yang kebanyakan adalah anak-anak
muda pria wanita terlihat sedang merokok, sambil berbicara riuh dan
tertawa-tawa. Aku melihatnya sambil membuka internet mengecek kuesioner untuk
penelitian. Terpikir juga untuk mencoba setidaknya sebatang rokok, namun
melihat harga yang paling tidak 5 euro membuatku mundur teratur tak berdaya.
Seperti coba-coba yang tak akan bermanfaat, sebatang rokok ganja beberapa menit
untuk uang yang bisa dilarikan ke perut itu. Akhirnya setelah membayar biaya
warnet kepada seorang yang dari penampilannya seperti dari Jamaika itu,
kutinggalkan saja si warung ganja dan orang-orang yang bersukaria di dalamnya.
Bahwa Amsterdam adalah kota buku murah, itu baru ku ketahui saat
memasuki salah satu toko buku. Banyak buku tebal tentang seni di sana, bayangkan
sebuah buku tebal berisi karya lengkap Leonardo Da Vinci, Rembrandt atau
VanGogh seharga 10-20 Euro? Jika tidak sedang jalan-jalan yang dibatasi oleh
berat bagasi, tentu kebeli beberapa buku ini untuk koleksi. Selain buku-buku
seni lukis itu terdapat juga aneka ragam seni lainnya, yaitu seni seksual.
Kuhabiskan beberapa detik menatapi buku besar dengan berbagai pose wanita, ada
buku yang khusus mengulas dan mengupas alat produksi wanita. Tentu sudah
kutilik juga isi buku ini dengan hati-hati..
Salah satu yang paling kusuka dari kota ini adalah salah satu jalan
dimana studio-studio seni bertebaran. Dari jendela kelihatan berbagai karya
lukisan baik yang masih baru atau yang sudah lama. Terkadang seniman atau pelukisnya
masih terlihat dari balik kaca, dengan pakaian belepotan cat minyak karena
sedang menyelesaikan lukisan. Terpikir bahwa aku pernah ingin menjadi pelukis,
melihat pemandangan ini menyenangkan.
Amsterdam adalah kota perayaan euforia hidup. Itulah yang bisa
kusimpulkan selintas lalu dari kota ini. Betapa orang-orang di kota ini sedang
menikmati segalanya. Orang-orang diserahkan untuk berbuat sebebasnya sebagai
sebuah perayaan atas kehidupan mereka. Mereka menulis, mereka melukis, mereka
membangun peradaban dengan ilmu pengetahuan dan seni. Mereka mabuk, mereka
menikmati minuman keras, mereka menikmati ganja, mereka menikmati sex bebas,
mereka menikmati apa saja. Mereka mengaktualkan diri sesuai apa saja yang
mereka mau. Mereka merayakan euphoria atas kehidupan, yang menurut anggapannya
hanya sekali ini.
Entahlah, apa mungkin perayaan akan hidup itu adalah sebuah tahap dimana orang-orang tak lagi memikirkan makna. Setelah menikmati segala sesuatu, setelah puas merayakan mungkin sebagian akan merasakan kekosongan, mungkin sebagian akan mulai memikirkan akan kemana hidup ini setelah dirayakan begitu rupa.