Pagi yang berseri, angin dingin menyapu wajah-wajah yang mengejar hari. Seperti angin, tak ketinggalan kusapu juga wajah-wajah disekelilingku, wajah-wajah yang menurut perhitunganku lebih kurang kekurangan pigmen.
Dari jauh terdengar suara sesuatu mendekat, cukup asing di telinga, sehingga susah pula dideskripsikan dengan kata-kata. Lama-lama terlihat sebuah kereta berwarna biru nyaris unyu yang, entahlah apa itu bisa dinamakan kerata api, karena tak kelihatan ada asap bergulung-gulung dari depannya, sejauh yang kutau jika tak ada asap maka tak ada api. Ketiadaan kuda di depannya juga menegasikan anggapan bahwa ini adalah kereta kuda. Bahkan bentuk bagian kepala dan bagian ekor sama saja, sehingga bisa dikatakan kepala itu adalah ekor dan ekor itu adalah kepala, kuketahui kemudian bahwa dia bisa berjalan kedepan dan kebelakang sesuka hatinya, sungguh janggal memang.
Sebenarnya, ini bukanlah kereta yang seharusnya kutunggu. Keretaku sudah berangkat tadi. Keretaku tercepat selama lima menit, yang sama artinya aku terlambat lima menit juga relatif terhadap kereta itu. Kereta itu tak mau menunggu, karena menunggu adalah pekerjaan yang membosankan baginya, padahal jika dia terlambat dua jam saja seperti di negeriku, aku masih mau menunggunya, menunggu adalah sesuatu yang lumrah buatku. Sehingga aku yang tadi berlari-lari mengejar merasa kecewa. Untunglah seorang petugas yang baik hati melihat raut susah pada wajahku, sehingga memberikan tanda pada tiket bahwa pemiliknya bisa berangkat dengan kereta berikutnya.
Sebenarnya sedikit banyak gara-gara tiket tercela itulah kenapa aku sampai terlambat lima menit. Metode pembelian tiket memanfaatkan teknologi internet yang cukup canggih dengan sedikit pencet-pencet, lalu datang ke mesin tiket otomatis. Namun ternyata sebagai seorang pemula pencet-pencet di mesin tiket otomatis tidak berjalan dengan lancar, sehingga mesin tidak mau mengeluarkan tiket, sehingga harus kuhubungi seorang petugas untuk meminta petunjuk praktis, sementara kereta itupun berlalu.
Beberapa orang yang sama menunggu kereta terlihat santai. Kereta lalu berhenti, pintu terbuka, beberapa orang keluar. Lalu dengan melenggang santai aku masuk. Sungguh aneh mereka ini, tidak ada yang berdasak-desakan, tidak ada yang berburu kursi, tak terasa aroma persaingan perebutan kursi kereta, masing-masing dengan dengan gerakan sewajarnya. Sehingga pengalaman memenangkan persaingan di kereta ekonomi di salah satu stasiun di Indonesia dahulu kala terasa tak berguna. Pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga, pada tempat dan waktu yang bukan sekarang, tidak di tempat ini.
Ya sudahlah, aku duduk saja dengan agak menyesal, tak bisa mempertunjukkan ilmu meringankan tubuh atau ilmu belut putih menelusup diantara penumpang yang padat berdesakan. Duduk di sebelahku seseorang. Kali ini aku tak sendiri, karena di sebelahku ada teman seperjalanan, orang ini.. nanti saja diperkenalkan.
Di depanku terpisah oleh sebuah meja, dua orang anak muda duduk santai. Seorang membaca buku “the girl with the duck tattoo” atau yang semacanya, seorang membaca koran yang halaman judulnya “We can still rely on Robin, says Wenger”. Bolehlah ku paraphrasekan headline itu sebagai, “We don’t have anyone else except Robin to rely on, cries Wenger” hahaha aku, tertawa-tawa dalam hati. Kulayangkan pandang ke sekeliling, ada yang sedang menghidupkan laptop, ada yang melamun, seorang sedang menelepon dengan suara pelan, beberapa berbincang ria dengan logat british kental. Dengan dialek yang terdengar intelek, yang sering mengurangi dua huruf t pada kata letter atau matter dan menebalkam hurut r di ujung kalimatnya. Kecepatannya berbicara, bisa diasumsikan lebih cepat dari kecepatan suara, sehingga telinga terkadang tak bisa menangkapnya. “Yu be’e tu rimemba baut d nambe, d weda iz dazn ma’e.”
Agak jauh di sebelah sana terlihat seorang british dengan jaket almamater Cambridge University. Hooph, aku pura-pura tak melihatnya, takut jika suatu saat mata kami bertabrakan, takut dikenali keberadaanku. Karena sudah menjadi aturan, adalah dilarang untuk menatap langsung orang yang mengenakan jaket almamater dengan strata lebih tinggi. Sehingga jika seorang dari Universitasku bertemu dengan orang dari Universitas Cambridge atau Oxford saat sedang mengenakan jaket almamater, maka sudah selayaknya orang itu memberi hormat. Itu belum seberapa, ada mahasiswa dari Universitas yang harus berjalan jongkok, bahkan kebanyakan harus merayap jika bertemu dengan mahasiswa dari Universitas Cambridge ini. Yang demikian ini adalah aturan yang baku, untuk menjaga kewibawaan dari salah universitas terbaik di dunia. Untunglah aku sedang tidak mengenakan jaket universitas, sehingga tak harus menerapkan aturan tersebut.
Duduk di sebelahku, adalah seseorang. Yah boleh juga jika hendak diasumsikan bahwa dia adalah seorang wanita melayu berambut sebahu dikepang dua yang bercerita sambil tertawa-tawa riang sepanjang perjalanan. Atau boleh juga jika mau dibayangkan bahwa dia adalah seorang yang wanita manis dengan kerudung bunga-bunga yang senyumnya indah merekah. Atau baik juga untuk dikatakan, dia adalah wanita berkulit kuning berambut pirang yang menghabiskan masa kecilnya yang berbahagia sebagai boneka Barbie. Nanti saja kuceritakan perihal orang disebelahku ini, untuk mengakhiri cerita dengan romantis.
Tak berapa lama datanglah seorang berseragam untuk mengecek karcis karcis. Petugas meminta karcis dengan sopan. Jika tak membawa tiket, jangan harap untuk membayar dengan cara sim salabin, karena petugas tiket ini juga membawa mesin yang dapat mengeluarkan tiket kapan dan dimana pun. Tinggal pencet pencet sedikit, maka tiket akan keluar diiringi bunyi tret tret. Saat petugas menghampiri, terinspirasi dari Amelia Poulain, refleks kukatakan “Without you, today's emotions would be the scurf of yesterday.” Petugas terbengong sejenak, “Pardon.. ticket please.” Maka kuserahkan saja tiket berikut kartu sakti untuk mendapat diskon karcis kereta.
Kereta masih berjalan dengan kecepatan sedang, sekitar sekilo semenit, adegan-adegan di jendela datang dan pergi silih berganti, Sewaktu-waktu terlihat sapi yang berpadu dengan biri-biri diselingi kuda-kuda besar di padang rumput yang sunyi, di kali lain jajaran rumah kuno berwarna merah genteng yang berjejer rapi yang diiringi bunga yang warna-warni. Di atas sama, matahari bersembunyi di balik awan tebal yang berterbangan setelah diberi warna kelabu.
Melihat sapi-sapi di luar, kawan seperjalananku bercerita tentang temannya yang jatuh cinta pada seekor sapi, yang temannya itu seorang lelaki, bukan berarti tidak suka wanita, karena ternyata yang disukainya juga adalah sapi betinanya. Cinta memang tidak mengenal fisik, cinta memang perasaan yang murni yang muncul dari hati. Muncul pertanyaan penting dalam benakku, sehingga kutanyakan padanya. “Siapakah nama sapi betinanya itu?” Dia tak bisa menjawab, lalu segera menanyakannya kepada om google, tempat dimana hampir semua pertanyaan tidak essensial menemukan jawaban. Tak berapa lama diapun terlupa pertanyaan itu, karena terlarut keasyikan berselancar menggunakan blackberrynya. Alat yang sangat berguna memang, untuk mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Maka kucari saja sebuah lagu di kepala, dan mulai mendendangkannya dengan sumbang. Sebuah lagu dari Iggy Pop yang judulnya the passenger.
"I am a passenger
I stay under glass
I look through my window so bright.."
Kereta tak terlalu sering berhenti, tiap menjumpai stasiun dan harus berhenti, kereta ini hanya memakan waktu kurang dari semenit. Dia berhenti, membuka pintu, mengeluarkan penumpang, menutup pintu dan berjalan lagi. Cukup berbeda dnegan kereta kebanggaanku dulu yang terbiasa berhenti di tengah jalan dan lama sekali, sehinggalah tak kujumpai ada pedagang-pedagang yang datang menawarkan tahu sumedang, tak adalah orang yang menawarkan salak dalam karung, tak ada juga yang membawa gitar dan menyanyikan lagu roma irama. Sehinggalah terbesit juga sedikit rindu pada pedagang tahu sumedang, serta salak dan ksatria bergitar itu. Ingin kubawa kereta ini pulang sehingga bisa kuberikan kesempatan kepada pedagang-pedagang itu untuk mencoba peruntungannya di kereta seperti ini.
Akhirnya kereta melambat, stasiun besar terlihat di depan mata, dari jauh sekelompok remaja hooligan dengan kaos merah-merah sedang bernyanyi dengan bersamangat untuk menyambut pertandingan nanti siang.
"He's only a poor little scouser
His face is all tattered and torn
He made me feel sick
So I hit him with a brick
And now he can't sing anymore!"
Kereta berhenti. Di papan informasi di luar sana terlihat kata Manchester, seperti juga tertera di papan informasi yang terdapat di dalam kereta. Teman seperjalananku yang lupa untuk kuceritakan, sedang tertidur pulas, maka kubangunkan dengan tendangan.
“Jon, Joni, bangun Jon. Udah sampe.”
Joni menguap lebar seraya celingukan kebingungan. Kami pun segera menyusul iring-iringan untuk turun dari kereta, mendapati kembali udara peralihan ke musim dingin yang terlalu sejuk dan langit yang terlalu sering dicat dengan warna kelabu.