Sekali ini agak berat juga hal yang ingin kuceritakan. Membicarakan tentang rasa, tentang cinta, betapa rumitnya topik ini. Rasanya lebih baik membicarakan tentang filosofi, teologi, atau sustainable transportasi daripada yang satu ini. Kenapa menjadi berat? Karena membicarakannya membuat kita harus melihat jauh ke dalam-dalam hati, ke salah satu ruangnya yang penuh dengan kenangan, atau ke ruang lainnya yang penuh dengan harapan, serta ornamen-ornamen kepedihan dan kebahagiaan yang mengisinya. Seringkali hati berbicara dengan cara yang berbeda dengan pikiran, sehingga telah habis pun kemampuan otak yang kecil dan terbatas ini untuk memikirkannya, tak keluar juga solusi yang memungkinkan.
Mungkin, itu sebabnya aku belum menikah, belum punya tunangan, dan lebih parahnya tak punya pacar sekarang ini. Karena belum ada sinkronisasi pikiran dengan hati. Mungkin juga aku sendiri yang memperumit masalah yang seharusnya sederhana ini. Seiring waktu, semakin banyak undangan pernikahan datang, satu persatu teman-teman meninggalkan.
Sehingga suatu waktu, terjadi percakapan imaginer di pikiranku antara Pinky yang polos dengan Brain yang jenius, tokoh kartun favorit sewaktu kecil.
Pinky: Sebenarnya, ada masalah apa sih Brain, sehingga kita belum bisa pasang foto bayi di facebook?
Brain: Kita terlalu sibuk ingin menguasai dunia Pinky.
Pinky: Sebenarnya, buat apa sih Brain, kita menguasai dunia?
Brain: Buat dipersembahkan kepada pujaan hati kita Pinky.
Pinky: Sebenarnya, yang mana sih Brain, pujaan hati kita?
Brain: Yang perlu kita kasih dunia, baru bisa kita kuasai Pinky.
Pinky: Sebenarnya, ada ga sih Brain, yang bisa kita kuasai tanpa perlu kita kasih dunia?
Brain: Pertanyaanmu itu keluar dari konteks Pinky.
Pinky: Jadi, apa rencana kita malam ini Brain?
Brain: Sama seperti malam-malam sebelumnya Pinky, mencoba menguasai dunia!
Si Pinky Si Pinky dan si Brain Brain Brain Brain..
Yah, ga semua orang bisa menangkap isi dialog ini. Mungkin aku juga yang terlalu berbelit-belit. Sebenarnya ini adalah sebuah sindiran yang diungkapkan dengan sedikit citra rasa humor satire yang menunjukkan perasaanku, betapa aku sudah ingin membangun keluarga, lalu betapa sulitnya menemukan pasangan yang tepat, lalu kebiasaan atau keinginan yang menekankan pada aktualisasi diri sebelum berani menikah, pada sebentuk pencapaian, serta tujuan hidup yang seperti tujuan akhir tapi sebenarnya hanyalah tujuan awal dan kadang tak relevan.
Sebenarnya aku mungkin sudah akan telah berkeluarga sekarang ini, jika saja waktu itu tidak putus dengan seorang yang ku cinta. Seorang pembaca garis tangan yagn tak terpecaya pernah mengingatkanku, untuk tidak menikah sebelum berumur dua delapan, karena dia melihat ada perpisahan atau perceraian, aku waktu itu tidak mempercayainya. Lalu ternyata dua tahun lalu aku kehilangan kekasihku untuk orang lain, dan beberapa bulan kemudian kehilangan ayahku untuk selamanya. Kehilangan dua cinta yang besar, yang membuat ruang-ruang hatiku terluka, yang mengubah arah hidupku, sehingga aku tertatih-tatih untuk merangkai mimpi yang baru. Kupikir saat itu, akan sulit bagikku untuk menemukan cinta yang baru, ya ternyata memang begitu.
Mungkin permasalahan pernikahan ini akan menjadi lebih sederhana jika sekarang adalah zaman siti nurbaya. Dimana yang kita lakukan adalah belajar mencintai setiap hari. Belajar menemukan kebaikan-kebaikan kecil dari pasangan kita untuk bisa dicintai, belajar menerima kenyataan. Tidak kita serahkan kehidupan keluarga pada cinta eksotis yang rapuh, yang seringkali gagal seberapapun kita ingin mempertahankannya. Namun sayangnya sekarang bukan zaman siti nurbaya, sehingga harus kita temukan sendiri pasangan sejati kita.
"Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya. Kurasa itulah postulat pertama hukum keseimbangan alam. Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik ke puncak bukit, lalu meniup sangkakala, dunia kiamat." (Andrea Hirata, 2009)
Betapa tidak romantisnya kata-kata di atas, mengungkapkan betapa sulit untuk menemukan pasangan yang tepat, setidaknya buat sebagian orang, salah satunya adalah tokoh dalam cerita Andrea Hirata, salah satunya adalah aku. Mari definisikan tepat itu sebagai saling mencintai dengan sepenuh hati hingga berani memutuskan untuk hidup bersama selamanya. Kenapa itu menjadi sulit buatku? Agak sulit juga buatku untuk jatuh cinta, sehingga aneh juga jika suatu waktu justu harus jatuh cinta pada orang yang sudah punya kekasih. Selain itu, tentunya agak susah juga menemukan yang bisa mencintaiku. Oke oke, mari anggap wajahku yang tidak dalam standar ganteng bukan sebagai variable yang berpengaruh. Tapi agak sulit juga menemukan orang yang siap menerimaku seperti ini, sifat yang keras kepala, perilaku yang sering tidak sesuai standar kebanyakan, pemikiran yang non linear, ditambah lagi salah satu variable yang mungkin berpengaruh adalah belum mapan. Jika ternyata ada kamu di luar sana yang jatuh suka padaku, mari kita sederhanakan permasalahan dengan kembali pada teorema empiris andrea hirata di atas.
Keberanian. Itulah kenapa salah satu yang kebanyakan orang kejar adalah karir, pencapaian, aktualisasi diri. Itulah kenapa orang ingin menguasai dunia, mengumpulkan uang sedikit-demi sedikit, demi memiliki keberanian untuk bisa datang ke rumah seseorang, dan meminta anak gadisnya. Itulah yang kulakukan, dulu, tapi itu salah.
Sekali waktu ditengah-tengah kegiatan sehari-hari, timbul juga pertanyaan, yang mempertanyakan makna? Apa yang dicari dalam kehidupan? Standar apa yang membuat orang berbahagia dan tidak bahagia dalam hidup? Apa harus seperti Epicurus yang menyamakan kebahagiaan dengan kepuasan, atau seperti Betham yang menemukan menghitungnya dengan menjumlahkan kesenangan dan kesedihan, atau seperti Budha yang meraih dengan melepas keinginan, apa sepeti Al Ghazali yang menyerahkannya tidak untuk kehidupan dunia? (1). Ataukah itu hanyalah seperti burung. Lihatlah keluarga burung yang sedari pagi sudah terbang jauh mencari makan, tidakkah dia akan pulang sore hari menuju sarang, untuk memberi makan anak-anaknya, untuk memberlanjutkan kehidupan generasi penerusnya. Dan untuk tujuan yang sederhana itu, yang dilakukannya setiap hari sambil bernyanyi, burung menjadi salah satu yang mempercantik kehidupan.
Pulang. Sekali waktu kutanyakan juga pertanyaan itu, seperti burung yang memiliki sarang, kemana aku pulang? Kepada hati siapa hatiku merasa tenteram? Kepada siapa akan kuceritakan hari-hari? Kepada siapa akan kuceritakan mimpi-mimpi? Apakah kepadamu?
Tentunya hanya sekali waktu kutanyakan pertanyaan itu, yaitu saat aku melihat ke dalam hati, ke dalam ruang-ruangnya yang telah ditinggalkan. Selebihnya biarlah hari-hari seperti hari-hari yang biasa. Yang akan kita lalui dengan berseri seiring ketukan sinar matahari pada jendela, yang akan kita tutup dengan selimut malam dan penjagaan bulan.
Suatu saat nanti, ketika waktunya sudah tiba, kita akan damaikan pikiran dengan hati. Ketika waktu itu tiba, kita akan membicarakan tentang rasa, dengan nada yang bahagia.
Ref:
(1) Schoch, Richard. 2008. The Secret of Happiness. Hikmah. Indonesia.