Sing: lebaran sebentar lagi, lebaran sebentar lagi..
Oh, ternyata lebaran sebentar lagi, sama artinya hari-hari berpuasa juga tinggal sebentar lagi. Puasa di Inggris Raya, khususnya di Leeds ini penuh dengan romantika masa muda yang berbeda dengan puasa di Indonesia.
Yang paling berbeda adalah waktunya, berhubung saat ini daerah Eropa sedang mengalami musim panas maka siang lebih lama daripada malam. Mmm.. mungkin kalimat di atas tak begitu tepat, kemungkinan besar, poros bumi yang miring 23.5 derajat terhadap bidang ekliptika mengakibatkan perubahan musim sepanjang tahun dan perubahan lamanya siang dan malam di berbagai belahan bumi. Saat ini, posisi bumi dalam gerak revolusinya membuat matahari lebih banyak menyinari bumi bagian utara, sehingga bagian utara khatulistiwa mengalami musim panas dan waktu siang yang lebih lama. Jika dilihat dari bumi, perubahan posisi matahari ini dikenal dengan istilah gerak semu tahunan matahari, matahari saat ini terlihat berada di rasi bintang cancer. Berbahagialah kamu yang berzodiak cancer, meskipun tidak cocok dengan air. Tentunya selain pelajaran zodiak kita perlu mengingat sedikit pelajaran geografi? (padahal googling). Cukuplah untuk hal rumit ini, yang penting pada intinya sekarang siang di Leeds mencapai lebih dari 12 jam, yang mana waktu berpuasa menjadi lebih dari 17 jam.
Leeds City Center |
Bagaimana rasanya berpuasa di musim panas seperti ini? Bagaimana berpuasa dengan waktu yang jauh lebih lama daripada di Indonesia, rasanya berbuka puasa menjelang pukul Sembilan? Rasanya.. aku sekaraat.. oke oke ini terlalu berlebihan. Ternyata apa yang disebut musim panas oleh orang-orang kebanyakan ini tidaklah sepanas itu buat orang-orang dari Indonesia, yah, buat kami-kami ini. Bahkan ini adalah musim dingin yang buruk. Suhu udara berkisar di 15 derajat saja. Angin yang sangat dingin bertiup dengan kencang dan terkadang dengan kejamnya menusuk-nusuk muka. Disaat penduduk lokal mengenakan pakaian musim panas dan bergelimpangan di taman untuk mendapat sinar matahari, jika kamu melihat ada sekelompok orang yang memakai seragam musim dingin, tentu itulah kami yang dari Indonesia ini, yang sukses mengalami culture shock.
Namun demikian, dengan waktu siang hari yang panjang bukan berarti lebih berat untuk menahan lapar, tidak seperti di Indonesia yang panas membakar kulit membakar lemak sehingga orang cepat merasa lapar dan haus. Di sini justru cenderung tidak begitu terasa lapar dan haus, biasa aja gitu. Agak susah dipahami juga sih apa istilahnya dalam ilmu kedokteran modern.
Namun demikian, bukan pula berarti puasa berjalan semulus itu kawan. Banyak godaan yang lebih menantang ibadah puasa kita, kalau tidak mau dikatakan mengalahkan. Ada orang-orang bule jenis kelamin wanita seperti di film-film barat yang berambut blonde atau biru dongker yang menyambut riang musim panas dengan pakaian yang lebih terbuka lebar (mungkin bisa dicatat bahwa setelah kata terbuka itu masih ada kata lebar), juga ada orang-orang cina yang menuruti perilaku sama. Dan ada kami orang Indonesia yang berpuasa yang harus menahan pandangannya. Dilematis antara ingin melihat tapi tidak boleh yang kadang-kadang keliatan juga itulah yang membuat puasa lebih berat, terutama jika dijalani di luar rumah atau saat sedang belanja keliling city center. Yah, semoga saja masih ada pahala yang bisa dipetik.
Jika tiba waktunya berbuka, kemanakah mencari tajil? Ternyata salah satu fakta yang sangat penting untuk dipelajari sebelum berangkat ke inggris adalah: tidak ada yang berjualan kolak pisang, tidak ada tukang bubur kacang ijo atau es shanghai ditambah tidak ada nasi di warung KFC. Alhasil kami harus mempersiapkan sendiri aneka hidangan ala nusantara.
Sungguh baru disadari bahwa ibu yang memasak adalah pahlawan sesungguhnya dari keberlangsungan peradaban. Karena dialah yang telah mengelola berbagai bahan yang tak jelas entah apa namanya, menjadi hidangan istimewa yang bisa disantap bersama keluarga, yang jelas namanya apa, yang membuat orang terbebas dari rasa lapar dan haus, sehingga Bapak bisa bekerja, anak bisa sekolah, dan petani bisa mengolah sawah. Sehingga Bapak bisa pulang membawa uang, petani bisa memanen padi, dan anak bisa menjadi bermasa depan cerah. Sehingga mereka bisa membeli bermacam bahan yang tak jelas namanya apa untuk dibawa kembali ke dapur, ke hadapan seorang ibu yang mulia, yang akan memasaknya lagi. Demikianlah siklus hidup hidangan istimewa di meja, tanpa seorang ibu yang memasak, tak berjalanlah siklus itu, tak berlangsunglah peradaban.
apapun masakanya.. |
Belum menemukan ibu yang tepat untuk calon anak-anak, jadilah di Leeds ini pengalamanku memasak untuk yang pertama kalinya. Saat siang hari, browsing menu di internet, lalu sore hari di praktekan. Tentunya memasak ini tidak dilalui sendiri, ada tiga orang rekan lainnya yang disatukan karena kepentingan yang sama: masakan ala Indonesia. Tersebutlah seorang Gom, tidak bisa diandalkan, karena citra rasa lidahnya tidak bisa mengenali rasa lain selain rasa pedas. Pernah suatu ketika, disuruh mencicipi sayu bayam, dan ditunggu komentarnya karena dia satu-satunya yang tidak puasa. Maka jawabnya:
“Kurang pedas.”
Ditambah persepsinya yang sangat salah kaprah, bahwa masakan itu berasal dari kata masak yang sama artinya dengan matang, yang implikasinya apabila sesuatu sudah direbus hingga matang itu artinya adalah sudah masak.
Tersebutlah seorang lainnya bernama Kiki, juga tidak bisa diandalkan. Orang yang gagal mengenali keberadaan daging babi pada roti karena mementingkan kuantitas dengan seharga satu pound padahal diluar dekat label harga sudah ada tulisannya PORK sausages tentunya perlu dicurigai kapabilitasnya. Persepsinya tentang masakan adalah mengandung nutrient yang lengkap, serta berharga murah, tak ada juga unsur rasa di sana.
Tersebutlah seorang lainnya, kali ini berjenis kelamin wanita, yang juga tidak bisa diandalkan, bernama Andin. Sebenarnya orang ini cukup bercitra rasa, bisa mengenali makanan yang enak, dan menyukai seni kuliner. Namun, moodnya untuk memasak setipis embun pagi, sekali waktu antusias untuk memasak dan di banyak waktu tak punya minat sama sekali. Dan sekalinya memasak, yang terlihat cekatan dan mengagumkan, bolehlah ditanyakan “wah, sering ya masak ini?”
“Ngga, ini pertama kali.”
Dan tentunya, menjadi kelinci percobaan agak membahayakan keberlangsungan generasi penerus bangsa.
menu maksimal |
Itulah kombinasi tidak sempurna yang saling melengkapi untuk menyiapkan menu buka puasa kami. Tentunya tak boleh berharap terlalu banyak hidangan, selain ada nasi, segoreng-dua goreng ayam, dan sedikit tumis. Tumis, itulah menu andalan kami, sangat sederhana, karena hanya membutuhkan sedikit bawang putih, bawang merah, tambah irisan cabe, tambah goreng teri yang dipadu menjadi satu dalam wujud tumis. Kombinasi yang membuat seorang Spanyol entah siapa namanya terbatuk-batuk parah sampai mukanya merah karena kepedasan oleh aromanya. Katanya:
“What kind of evil things do you cook? I’am dyiiiing…”
pengumuman |
Syukurlah, hari-hari puasa bisa berlalu dengan lancar, hingga sepuluh malam terakhir. Saat reportase ini dibuat, tiga hari lagi menjelang lebaran. Di papan pengumuman tertera undangan untuk pesta, yang katanya dilengkapi dengan tarian ala amerika latin, Cha Cha, Tanggo, Salsa atau apapun itu namanya, kurang paham juga. Sementara di masjid Grand Mosque diumumkan ajakan untuk membaca Quran bersama dalam rangka menyambut kemungkinan datangnya malam Lailatul Qadr, malam yang istimewa yang seperti seribu bulan. Perpaduan informasi ini agak sulit juga untuk dikombinasikan. Agak susah dibayangkan jika pada malam ke-27 ini, ternyata adalah malam Lailatu Qadr dimana ribuan malaikat yang dipimpin oleh malaikat Jibril turun kebumi membawa berkah untuk manusia yang sedang beribadah, salah satu malaikat mungkin akan melihat satu orang Indonesia yang sedang menari Salsa di salah saty bar. Lalu malaikat itu mungkin akan mencatat amalnya sebagai menari salsa selama seribu bulan. Agak susah untuk dibayangkan.. Itulah yang menyebabkan aku atau kami-kami ini memilih tetap berada di kamar. Saat weekend, saat penduduk local atau teman sekampus sibuk dengan kegiatan party sana sini, tentunya kami hanya di rumah, memasak, berbuka puasa sampai jam sepuluh dan kembali ke kamar. Begitu saja hari-hari yang berlalu.
Lebaran sebentar lagi, sebentar lagi lebaran. Sayangnya kita tak akan bisa berjabat tangan saling mengucapkan selamat dan meminta maaf. Sehingga aku hanya bisa mendoakan semoga kita bisa meraih berkah yang sebanyak-banyaknya dari bulan Ramadhan ini. Semoga amal ibadah kita diterima, dan semoga doa-doa kita dijawab dengan jawaban yang terbaik. Salah satu doa beberapa malam yang lalu: "Yaa Rabb, dekatkanlah hamba pada jodoh yang baik bagi hamba, limpahkanlah kepada hamba kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat." Sepertinya cukup kecil kemungkinan untuk bisa mengatakan bahwa doaku melingkupimu atau doamu melingkupiku atau suatu saat kita akan bertemu karena doa-doa kita. Semoga yang terbaik untuk kita semua. Aamiin yaa Rabbal’alamin.