Sebuah percakapan dengan seorang asing sepanjang Bandara Soeta sampai Gambir beberapa waktu lalu membuatku berpikir kembali tentang keberadaan islam di negeri ini. Orang itu kuketahui kemudian bernama Jeff, seorang pria usia sekitar empat puluh yang katanya berasal dari Canada. Dia tidak bisa bahasa Indonesia, sehingga dengan bahasa inggris yang seadanya aku menanggapi berbagai pertanyaanya tentang islam.
Dia berpenampilan resmi, duduk disebelahku dengan kemeja rapi ke dalam celana bahan dan bersepatu kulit. Saat dia itu sedang membaca sebuah buku dari tablet PC nya, sebuah buku filsafat entah apa, yang menjadi awal percakapan kami ketika kutanyakan buku apa yang sedang dibacanya. Kukatakan bahwa aku juga suka membaca buku, beberapa buku filsafat juga kubaca saat waktu senggang. Dia terlihat sedikit terkejut, katanya orang Indonesia tidak suka membaca, dilanjutkan dengan orang Indonesia tidak suka mengajukan pertanyaan. Kukatakan bahwa beberapa orang Indonesia suka membaca dan beberapa mengajukan pertanyaan. Lalu dia menanyakan adakah filsuf yang berasal dari Indonesia, kukatakan bahwa beberapa yang kuketahui mendasarkan filsafatnya pada islam. Dari situlah bermulanya perdebatan kami mengenai islam.
Dia menunjukkan ekspresi heran ketika kukatakan bahwa aku beragama islam. Kenapa? Tanyanya, dia mengatakan bahwa kebanyakan orang Indonesia beragama islam karena orangtuanya islam, itu tidak adil. Kukatakan bahwa pada awalnya memang kami memeluk islam karena keturunan, lalu kami mulai mencari, dan mempelajari agama kami, dan mulai memberi makna pada keberagamaan kami. Kukatakan bahwa aku juga sudah mempelajari agama lain, aku membaca perjanjian lama, perjanjian baru, injil barnabas, juga cerita tentang Budha.
Ketika dia bertanya apakah aku membaca Quran, kata demi kata, kujawab bahwa tentu aku membacanya, secara bertahap. Lalu dia memintaku untuk memberitahu jika memang ada ajaran moral dalam Quran? Ku kutip salah satunya, bahwa Al Quran menganjurkan untuk menyayangi anak yatim, dan memberi makan orang miskin, seperti dalam surat Al Ma’un. Lalu dia membantah bahwa tanpa membaca Quran dia sudah mengatahui bahwa tidak baik untuk mengambil harta anak yatim, itu ukuran moral yang sudah disepakati banyak orang. Lalu dia mulai mengutip beberapa ayat, yang menurutnya berarti bahwa orang islam dianjurkan untuk membunuh orang yang berbeda keyakinan. Dia mengatakan bahwa agama merupakan salah satu penyebab kehancuran peradaban. Dia mengutip terjadinya pembunuhan terhadap Jemaah Ahmadiyah oleh sekelompok massa baru-baru ini, yang pelakunya tidak diadili.
Permasalah ini membuatku cukup bingung untuk menjawab, karena itu adalah massa yang marah disebabkan oleh sekelompok orang yang dianggap melanggar aqidah, dan mungkin penyebabnya lebih kompleks dari itu. Kukatakan bahwa aku tak akan membunuhnya karena dia berbeda keyakinan. Kukatakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap ayat Quran harus dengan cara yang benar, sesuai dengan latar belakang turunnya dengan membedakan makna yang tersirat dan tersurat.
Dia menanyakan, jika dia mengatakan bahwa dia mendengar suara-suara dari Tuhan, dan mengatakan bahwa dia adalah seorang nabi, akankah aku percaya? Kubilang bahwa aku tak mengenalnya, dan tentu tak akan percaya. Dia lalu mempertanyakan berbagai peristiwa yang dipercayai umat muslim, seperti tidak mungkin bahwa bulan pernah terbelah. Hanya sedikit pengetahuanku tentang itu, sehingga kukatakan bahwa, hanya karena belum ada pembuktian menganainya, bukan berarti hal tersebut tidak pernah terjadi.
Kutanyakan padanya, dalam keberagaman cara pandang dan berpikir manusia, tidakkah dia membutuhkan sesuatu yang benar-benar bisa dipercaya, sesuatu yang mengandung kebernaran universal? Ajaran moral yang universal seperti dalam agama? Dia mengatakan bahwa dia hanya mempercayai apa-apa yang dirasakan oleh indra, logika, dan dibuktikan oleh science. Kutanyakan padanya, apakah dia percaya cinta? Tidakkah dia merasakannya tanpa harus melihatnya? Dia mengatakan bahwa cinta tidak eksis, bahwa itu hanyalah salah satu bagian dari syaraf.
Dia mengatakan bahwa islam tidak mendukung ilmu pengetahuan, hal itu ditunjukkan dengan tingkat illiteracy di Indonesia yang sangat tinggi, perempuan di Iran yang tidak bisa sekolah, dibandingkan dengan di Norwegia yang 98 persen penduduknya mendapat kesenangan dari membaca. Dia juga mengatakan bahwa islam memilih antara fakta sejarah yang diajarkan dan disembunyikan, dia menyinggung teori evolusi Darwin yang disanggah secara tidak tepat atas nama agama, dia menyinggung Averos, membandingkan dengan Socrates dan sebagainya.
Dia lalu menunjuk, lihatlah orang-orang miskin yang dipinggir jalan itu, dan tanyakan apa agamanya. Juga Gayus tambunan, tanyakan apa agamanya. Dilanjutkan dengan mengemukakan bahwa agama tidak membawa kebaikan bagi kehidupan, justru membawa kehancuran dan menghambat ilmu pengetahuan. Aku hanya bisa terdiam, kukatakan bahwa tidak adil membandingkan antara Indonesia yang pada saat di Eropa sudah memulai revolusi industry, Indonesia masih terpecah belah merangkak berjuang dari penjajahan, lantas menyalahkan islam atas itu semua. Kupikir islam bukanlah orang-orang yang ditunjuk itu, atau negara Indonesia, atau negara-negara Arab itu.
Setelah percakapan panjang yang tidak memiliki titik temu itu, sampailah kami di Gambir, dia menganjurkanku untuk membaca sebuah buku berjudul “Why I’m not muslim?” karangan Ibn Warraq. Kukatakan bahwa aku akan mencobanya dan menyarankannya untuk melihat islam dengan lebih baik, dia harus melepas kacamatanya itu. Harus mulai melihat dari sumber-sumber yang bukan hanya berasal dari barat, karena mungkin sejarah agama dan kekuasaan di barat tidak begitu baik, dan orang yang menulis apa-apa yang dibaca orang barat bisa jadi terlalu menggunakan sudut pandang yang mendiskreditkan islam. Dia bahkan belum membaca satupun buku yang ditulis Karen Amstrong.
“Nice to meet you.” katanya. Aku turun dari Bus dengan menyisakan banyak pertanyaan dan beban pikiran. Ini bukan pertama kalinya aku berdialog mengenai topic ini dengan orang barat, tapi kali ini aku merasa tidak terlalu berhasil membela agama ini, karena keterbatasan penguasaan bahasa, keterbatasan pengetahuan, karena keadaan beragamaku yang belum baik, serta keterbatasan kondisi dimana memang beberapa hal yang dijadikan acuan adalah hal-hal yang di permukaan terlihat benar.
Lihatlah kondisi di negeri ini sekarang, dengan mayoritas warganegaranya muslim ternyata tingkat korupsinya juga mayoritas. Ditambah dengan pergeseran nilai belakangan ini, dimana kelompok pengajian tertentu malah identik teroris. Orang-orang yang memandang dengan kacamata barat yang skeptis, tentu sulit untuk memahami bahwa agama islam adalah rahmat bagi seluruh alam, karena ciri-ciri yang muncul dipermukaan belum menggambarkan itu semua. Jika kita melihat sebuah rumah yang dari halamannya saja terlihat berantakan bukankah akan berasumsi bahwa bagian dalam akan tidak kalah berantakan. Bukankah kaum muslim di negeri ini perlu meninjau kembali identitasnya sebagai muslim?
Dia berpenampilan resmi, duduk disebelahku dengan kemeja rapi ke dalam celana bahan dan bersepatu kulit. Saat dia itu sedang membaca sebuah buku dari tablet PC nya, sebuah buku filsafat entah apa, yang menjadi awal percakapan kami ketika kutanyakan buku apa yang sedang dibacanya. Kukatakan bahwa aku juga suka membaca buku, beberapa buku filsafat juga kubaca saat waktu senggang. Dia terlihat sedikit terkejut, katanya orang Indonesia tidak suka membaca, dilanjutkan dengan orang Indonesia tidak suka mengajukan pertanyaan. Kukatakan bahwa beberapa orang Indonesia suka membaca dan beberapa mengajukan pertanyaan. Lalu dia menanyakan adakah filsuf yang berasal dari Indonesia, kukatakan bahwa beberapa yang kuketahui mendasarkan filsafatnya pada islam. Dari situlah bermulanya perdebatan kami mengenai islam.
Dia menunjukkan ekspresi heran ketika kukatakan bahwa aku beragama islam. Kenapa? Tanyanya, dia mengatakan bahwa kebanyakan orang Indonesia beragama islam karena orangtuanya islam, itu tidak adil. Kukatakan bahwa pada awalnya memang kami memeluk islam karena keturunan, lalu kami mulai mencari, dan mempelajari agama kami, dan mulai memberi makna pada keberagamaan kami. Kukatakan bahwa aku juga sudah mempelajari agama lain, aku membaca perjanjian lama, perjanjian baru, injil barnabas, juga cerita tentang Budha.
Ketika dia bertanya apakah aku membaca Quran, kata demi kata, kujawab bahwa tentu aku membacanya, secara bertahap. Lalu dia memintaku untuk memberitahu jika memang ada ajaran moral dalam Quran? Ku kutip salah satunya, bahwa Al Quran menganjurkan untuk menyayangi anak yatim, dan memberi makan orang miskin, seperti dalam surat Al Ma’un. Lalu dia membantah bahwa tanpa membaca Quran dia sudah mengatahui bahwa tidak baik untuk mengambil harta anak yatim, itu ukuran moral yang sudah disepakati banyak orang. Lalu dia mulai mengutip beberapa ayat, yang menurutnya berarti bahwa orang islam dianjurkan untuk membunuh orang yang berbeda keyakinan. Dia mengatakan bahwa agama merupakan salah satu penyebab kehancuran peradaban. Dia mengutip terjadinya pembunuhan terhadap Jemaah Ahmadiyah oleh sekelompok massa baru-baru ini, yang pelakunya tidak diadili.
Permasalah ini membuatku cukup bingung untuk menjawab, karena itu adalah massa yang marah disebabkan oleh sekelompok orang yang dianggap melanggar aqidah, dan mungkin penyebabnya lebih kompleks dari itu. Kukatakan bahwa aku tak akan membunuhnya karena dia berbeda keyakinan. Kukatakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap ayat Quran harus dengan cara yang benar, sesuai dengan latar belakang turunnya dengan membedakan makna yang tersirat dan tersurat.
Dia menanyakan, jika dia mengatakan bahwa dia mendengar suara-suara dari Tuhan, dan mengatakan bahwa dia adalah seorang nabi, akankah aku percaya? Kubilang bahwa aku tak mengenalnya, dan tentu tak akan percaya. Dia lalu mempertanyakan berbagai peristiwa yang dipercayai umat muslim, seperti tidak mungkin bahwa bulan pernah terbelah. Hanya sedikit pengetahuanku tentang itu, sehingga kukatakan bahwa, hanya karena belum ada pembuktian menganainya, bukan berarti hal tersebut tidak pernah terjadi.
Kutanyakan padanya, dalam keberagaman cara pandang dan berpikir manusia, tidakkah dia membutuhkan sesuatu yang benar-benar bisa dipercaya, sesuatu yang mengandung kebernaran universal? Ajaran moral yang universal seperti dalam agama? Dia mengatakan bahwa dia hanya mempercayai apa-apa yang dirasakan oleh indra, logika, dan dibuktikan oleh science. Kutanyakan padanya, apakah dia percaya cinta? Tidakkah dia merasakannya tanpa harus melihatnya? Dia mengatakan bahwa cinta tidak eksis, bahwa itu hanyalah salah satu bagian dari syaraf.
Dia mengatakan bahwa islam tidak mendukung ilmu pengetahuan, hal itu ditunjukkan dengan tingkat illiteracy di Indonesia yang sangat tinggi, perempuan di Iran yang tidak bisa sekolah, dibandingkan dengan di Norwegia yang 98 persen penduduknya mendapat kesenangan dari membaca. Dia juga mengatakan bahwa islam memilih antara fakta sejarah yang diajarkan dan disembunyikan, dia menyinggung teori evolusi Darwin yang disanggah secara tidak tepat atas nama agama, dia menyinggung Averos, membandingkan dengan Socrates dan sebagainya.
Dia lalu menunjuk, lihatlah orang-orang miskin yang dipinggir jalan itu, dan tanyakan apa agamanya. Juga Gayus tambunan, tanyakan apa agamanya. Dilanjutkan dengan mengemukakan bahwa agama tidak membawa kebaikan bagi kehidupan, justru membawa kehancuran dan menghambat ilmu pengetahuan. Aku hanya bisa terdiam, kukatakan bahwa tidak adil membandingkan antara Indonesia yang pada saat di Eropa sudah memulai revolusi industry, Indonesia masih terpecah belah merangkak berjuang dari penjajahan, lantas menyalahkan islam atas itu semua. Kupikir islam bukanlah orang-orang yang ditunjuk itu, atau negara Indonesia, atau negara-negara Arab itu.
Setelah percakapan panjang yang tidak memiliki titik temu itu, sampailah kami di Gambir, dia menganjurkanku untuk membaca sebuah buku berjudul “Why I’m not muslim?” karangan Ibn Warraq. Kukatakan bahwa aku akan mencobanya dan menyarankannya untuk melihat islam dengan lebih baik, dia harus melepas kacamatanya itu. Harus mulai melihat dari sumber-sumber yang bukan hanya berasal dari barat, karena mungkin sejarah agama dan kekuasaan di barat tidak begitu baik, dan orang yang menulis apa-apa yang dibaca orang barat bisa jadi terlalu menggunakan sudut pandang yang mendiskreditkan islam. Dia bahkan belum membaca satupun buku yang ditulis Karen Amstrong.
“Nice to meet you.” katanya. Aku turun dari Bus dengan menyisakan banyak pertanyaan dan beban pikiran. Ini bukan pertama kalinya aku berdialog mengenai topic ini dengan orang barat, tapi kali ini aku merasa tidak terlalu berhasil membela agama ini, karena keterbatasan penguasaan bahasa, keterbatasan pengetahuan, karena keadaan beragamaku yang belum baik, serta keterbatasan kondisi dimana memang beberapa hal yang dijadikan acuan adalah hal-hal yang di permukaan terlihat benar.
Lihatlah kondisi di negeri ini sekarang, dengan mayoritas warganegaranya muslim ternyata tingkat korupsinya juga mayoritas. Ditambah dengan pergeseran nilai belakangan ini, dimana kelompok pengajian tertentu malah identik teroris. Orang-orang yang memandang dengan kacamata barat yang skeptis, tentu sulit untuk memahami bahwa agama islam adalah rahmat bagi seluruh alam, karena ciri-ciri yang muncul dipermukaan belum menggambarkan itu semua. Jika kita melihat sebuah rumah yang dari halamannya saja terlihat berantakan bukankah akan berasumsi bahwa bagian dalam akan tidak kalah berantakan. Bukankah kaum muslim di negeri ini perlu meninjau kembali identitasnya sebagai muslim?