Tak terlalu tinggi cita-citaku.
Impianku kita punya rumah di atas gunung.
Jauuuh dari keramaian.
Rumah yang sederhana seperti pondok.
Hawanya bersih,
sejuk & pemandangannya Indah.
Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri.
aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa.
Impianku kita punya rumah di atas gunung.
Jauuuh dari keramaian.
Rumah yang sederhana seperti pondok.
Hawanya bersih,
sejuk & pemandangannya Indah.
Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri.
aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa.
(disebut-sebut sebagai surat cinta Bung Tomo)
Hujan membuatku merasa dingin, dingin sampai ke dalam-dalam hati. Secangkir teh panas mungkin bisa membantu menghangatkan diri, seuntai tulisan mungkin bisa menghangatkan hati.
Kutipan kata-kata di atas, yang menjadi note pertama di facebook, cukup mewakili perasaanku. Kupikir, juga tak terlalu tinggi cita-citaku. Jika harga diri seorang laki-laki diukur dari ketinggian cita-citanya, tentulah tak terlalu tinggi juga harga diriku.
Entah kenapa cita-cita bisa sangat identik dengan pekerjaan. Seperti dialog antara aku dengan teman sekolah dulu,
“Apa cita-citamu?”
“Mau menjadi presiden.” Katanya. Banyak cita-cita yang serupa itu, entah itu menjadi dokter, pilot, insinyur, atau yang berupa pencapaian seperti menjadi pemimpin, keliling dunia, bintang tenar, pengusaha sukses, kaya raya dsb.
Tentu yang sewajarnya, semakin tinggi cita-cita, semakin besar juga usaha untuk meraihnya. Sudah alamiah, yang merupakan hukum alam, bahwa orang-orang yang mempunya kapasitas untuk itu, menjadi begitu dekat dan mungkin untuk mencapai cita-citanya. Orang yang cita-citanya menjadi presiden, mungkin saja tidak akan pernah menjadi presiden, namun pada akhirnya menjadi salah satu menteri. Kira-kira seperti itu menurut apa yang kupikirkan.
Jika ditanyakan padaku, “Apa cita-citamu?”
Entah berapa lama yang dibutuhkan untuk menjawabnya, aku tak tau apa cita-citaku, dan tak pernah punya cita-cita terlalu tinggi. Secara ngawur waktu SMP pernah kukatakan keinginanku untuk kuliah di Oxford University, tapi itu ngawur. Kalau saat ini aku sedang belajar di program magister, bukanlah karena aku pernah mencita-citakannya. Hanya karena aku sedang tak tau apa yang ku inginkan, lalu aku mendaftarkan diri untuk mengisi waktu, selain karena lokasinya yang dekat dengan tempat persemayaman terakhir sang ayah.
Aku tak pernah bercita-cita ingin menjadi presiden atau yang semacamnya, menjadi pemimpin. Tak pernah tertarik pada jabatan-jabatan seperti itu. Setidaknya selain menjadi pemimpin keluarga yang kuharap kelak akan kumiliki. Kalau dulu pernah beberapa kali menjadi memimpin, bukanlah karena keinginanku. Tapi aku bukanlah juga seorang plegmatis karena bagaimanapun aku termasuk orang keras kepala, dalam beberapa kali test yang kuikuti kuketahui bahwa distribusi kepribadianku dari yang paling dominan adalah sanguis, koleris, melankolis dan plegmatis.
Aku tak pernah punya cita-cita bekerja di perusahaan multinasional atau apapun itu yang memiliki penghasilan terlalu besar, yang terlalu besar sehingga tak sempat merasakan empati pada orang kecil. Hanya tidak bekerja di Jakarta, itu saja yang pernah kugariskan tentang pekerjaanku, dengan ketakutan. yang cukup konyol untuk diungkapkan. Aku selalu ingin tinggal dan bekerja di kota kecil, yang hawanya bersih, sejuk dan pemandangannya indah. Hidupku sudah sangat dekat dengan itu semua setahun yang lalu, tapi takdir menggenggamku dengan genggaman yang membuatku bahkan merasa sesak.
Dulu, ayah selalu menginginkanku menjadi pegawai negeri seperti dirinya, yang aku tak terlalu mengindahkan. Sekarang mungkin itu saja yang kuinginkan, agar suatu saat aku bisa mendatanginya dan mengatakan, “aku menjadi seperti yang engkau anggap baik bagiku, dan itu memang baik bagiku.” Kalaupun itu harus di Jakarta, kuanggap sesuatu yang tak bisa dihindari, sebagai takdir. Hanya tidak akan korupsi, itu saja yang ingin ku jadikan pegangan, seperti ayah yang selalu meneladankan prinsip-prinsip kesederhanaan padaku.
Di luar hasratku untuk petualangan dan pengalaman baru. Aku hanya ingin tinggal di kota kecil bersama orang yang kelak menjadi isteriku yang, tentu saja, kucintai. Aku hanya ingin hidup mandiri, tidak merepotkan orang lain, seperti Bung Tomo ingin menanam sayur sendiri. Bagiku itu adalah memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya hidup, pendidikan, sarana dan prasarana serta sedikit tabungan yang bisa digunakan untuk mengajak orang tua dan keluarga menunaikan haji. Itu saja yang kuinginkan sedari dulu. Aku juga ingin sesekali bisa memberikan bantuan berupa pemikiran atau perbuatan yang bermanfaat bagi orang banyak, yang artinya pemikiranku haruslah satu tingkat di atas orang lain dengan perbuatan yang menjadi teladan. Aku ingin setidaknya suatu saat ada anak atau orang lain yang menganggapku sebagai guru. Seperti Bung Tomo ingin mengumpulkan muda-mudi dan mendidiknya menjadi patriot bangsa. Tentu adalah sebuah kebetulan, jika dari namaku, aku juga bisa dipanggil Bung Tomo.
Cita-cita, entah kenapa hal ini kelihatan terlalu duniawi. Sehingga setiap hari, yang menjadi kegiatan orang-orang, termasuk juga aku, adalah mencoba untuk menguasai dunia. Menguasai dunia? Untuk apa? Kadang aku membaca kitab suci, dan merasa malu akan ini semua. Alasan yang menjadi pembenaranku adalah: agar tidak menjadi fakir dan bisa membantu para fakir.
Hujan sudah berhenti, udara tak lagi terasa dingin. Tulisan ini ku akhiri, hatiku tak lagi terlalu dingin.