Hari yang biasa saja, saat ketika dia berkoar-koar dengan sangat membuai, bak seorang calon anggota dewan, tentang kemampuannya surfing.
“Mudah‘nya itu bang. Bisa aku ajarkan abang, kalau mau.”
“Serius kau bang, nanti tenggelam pula kawanmu ini kau bikin.” Sambutku skeptis.
Hari yang biasa saja, ketika entah kenapa pada hari berikutnya, keinginan untuk mencoba ombak, membakar tubuh yang basah dengan matahari dan mengeringkannya lagi dengan angin di pantai ini memenuhi benakku. Itulah sebabnya, seorang diri kutemui lagi si Leo ini di tempatnya biasa menjaga payung di sejajaran tepi pantai.
“Cemmana bang, bisa kau ajarkan awa surfing!”
Dan adalah si Leo, telah kunobatkan sebagai seorang pelatih surfing dadakan. Tentu belum pernah ada seorang pun muridnya, yang bisa memanggilnya dengan panggilan guru. Tentu juga belum pernah ada seorang pun yang mengajarkanku surfing, yang bisa memanggilku murid. Kondisi ini, membuat pertukaran kami menjadi adil, dia menjadi guru dadakanku, dan aku menjadi murid dadakan pula.
Hari yang biasa saja, ketika Leo dengan intonasi batak murni belum dipoles, membius para pemilik sewa papan selancar.
“Mas, ini sodaraku orang jawa datang dari sumatera, mau belajar surfing, bisa kusewa papan ini?” sehingga dapat juga papan dengan harga sangat bersaing.
Hari yang biasa saja, ketika aku dan si Leo telah membuka pakaian dengan menyisakan celana pendek, segera ingin menaklukkan ombak.
“Oke, siap kita bang.” Katanya
“Jadi gimana caranya bang?” Tanyaku bingung.
“Ikatkan tali pengaman ini ke kaki, lalu kita langsung aja berenang ke laut.”
“Loh, ga dipelajari dulu teorinya di darat ini? mumpung ga perlu pake tenggelam?” aku terbengong.
“Aih, gampang’nya itu, langsung aja kita turun.” Sahutnya seraya langsung berjalan menuju laut.
Hari yang biasa saja, ketika ku ikuti juga langkah-langkah tergesa saudara si Dicaprio ini. Kami berlari menjauhi pantai dan saat air terasa dalam mulai berenang melawan ombak. Setiap ombak datang, berbalik badan untuk menahan agar tidak terlalu membentur dada. Si Leo yang sepertinya baterenya baru di charge ini sebentar saja sudah di laut yang dalam. Tali pengaman papan surfing di pasang di kakinya. Leo berbalik badan memungguni ombak, kemudian berbaring di papan, dan berenang searah ombak. Dorongan dari gelombang dan tenaga berenangnya membuat papan segera meluncur kencang ke arah tepi pantai. Leo berdiri di papan dengan trendi, sebentar menjaga keseimbangan, sebelum akhirnya jatuh ke laut.
“Naah, gitu caranya.” Katanya, cukup bangga dengan skill yang masih pas-pasan.
“Okelah bang, sinih ku coba.”
Hari yang biasa saja, ketika ku ikuti cara si Leo, berenang ke tengah laut, dihantam ombak. Berenang lebih jauh lagi, sebentar saja sudah pedih semua badan. Sudah habis tenaga, tak berguna latihan berenangku di sungai waktu kecil dan di kolam renang Mayang Club waktu besar.
Hari yang biasa saja, ketika si Leo berteriak dengan lebih kencang dari deru ombak dan disiplin lebih kejam dari militer.
“Berenang bang, renang terus. Kurang jauh itu.”
“Ampuun bang, udah capek kali ini.” Nafasku memburu.
“Aih, lemah kali, berenang terus, ayo, itu ombak besar datang itu.”
Maka kuikuti gaya si Leo berbaring di atas papan, dan saat ombak datang, berenang ke arah pantai, dan dorongan ombak meluncurkan papan selancar dengan kencang. Diam sesaat, aku berdiri dan segera jatuh, persis contoh dari sang instruktur.
“Aih, cemmana kok malah jatuh, yang penting keseimbangan bang.” Teriak si Leo di sela-sela ombak. “Abang aja ga bisa juga tadi!” Sahut ku sambil ngos-ngosan.
“Sini ku kasih contoh.”Sahutnya. Maka si Leo segera berenang lagi mengulangi seperti pertama, aku berenang mengikutinya, si Leo sukses meluncur dengan papannya. Kali ini berdiri dengan agak lama sampai menjelang tepi pantai sebelum terjatuh.
“Naah, kek gini bang.” Teriaknya.
“Okelah, aku coba dulu.”
“Terus aja, coba gitu, nanti juga bisa. Awak mau jaga payung dulu ya bang.”
Hari yang biasa saja, ketika aku mengutuki si Leo dalam hati.
“Naah, gawat ini orang. Gimana kalo aku mendadak tenggelam, dan ga ada yang nolongin?” Seperti hari yang biasa juga, ketika tak ada jalan keluar buat perasaan takutku.
“Perdulilah, sudah kepalang basah, harus bisa.”
Maka kulanjutkan sesuai instruksi pelatih. Berenang melawan ombak sampai batas yang jauh, lalu berenang searah ombak. Lalu berdiri di papan. Dan aku terjatuh dihantam ombak karena salah posisi. Dada terasa sesak, kepala pusing, pandangan berkunang-kunang, perut mual, kulit terasa perih, hanya tanganku yang kugunakan untuk menarik tali pada papan selancar agar bisa mengapung lagi.
Hari yang biasa saja, ketika terus kucoba-coba sehingga lama-kelamaan papan selancar ini mulai bersahabat, ombak mulai melunak. Aku meluncur, merasakan angin yang mengusir kegelisahan, merasakah bahagia. Perasaan seperti anak kecil yang melihat setiap informasi sebagai pengetahuan baru, setiap tindakan sebagai pengalaman yang baru.
Hari yang biasa saja, ketika aku dan seorang teman bernama Arman, dalam wujud seorang anak sepuluh tahun berjalan tergesa di halaman belakang rumah. Rumah yang dikelilingi oleh halaman yang luas yang terisi bermacam pepohonan, tanaman, padang ilalang dan semak belukar. Dibelakang rumah, agak jauh kebelakang, setelah menuruni bukit dan menembus hutan dimana terdapat sebuah sungai alam yang saat itu tak disentuh peradaban manusia. Manusia lain kecuali kami, anak-anak nakal ini. Yang menerobos masuk ke dalam hutan dan menemukan sungai itu. Kami namakan sungai AUO, karena ada semacam akar yang melilit dari atas pohon hingga ke permukaan sungai, yang kami potong dan kami jadikan tempat bergelayutan sambil meneriakkan password AUOO.
Hari yang biasa saja, ketika kami memanggul batang pisang, yang sudah ditebang karena buahnya keliahatan telah hampir matang, ke arah sungai yang jaraknya sekitar setengah kilometer dan tidak dalam batas pandang. Terkadang, dengan berlari-lari kecil menerobos semak karena tak sabar menemui sungai yang menanti kami.
Hari yang biasa saja, ketika kami melempar potongan batang pisang itu ke sungai. Lalu melempar baju dan celana kami ke pinggiran, lalu melempar tubuh bugil kami ke sungai juga. Segera menghanyutkan diri berpegang pada batang pisang yang telah kami tambahkan kayu untuk berpegangan.
Hari yang biasa saja, saat kami tak memikirkan resiko untuk tenggelam di arus yang kencang karena belum punya kemampuan berenang, saat kami tak memikirkan resiko untuk dipatuk ular pada bagian terlarang yang saat itu tak terlindung, yang tentu akan kami sesali karena pada suatu saat akan menjadi bagian paling penting dalam kehidupan kami.
Hari yang biasa saja, setelah sekitar setengah kilo kami menghanyutkan diri, kami harus menarik potongan batang pisang itu kembali ke daratan, dan berjalan kembali ke hulu sungai menelusuri tepi hutan tanpa alas kaki dan tak takut akan duri untuk memulai semua dari awal lagi.
Hari yang biasa saja, tetapi saat itu kami merasa gembira, kami menikmati sebuah hari. Kami merasa gembira, seperti orang yang jatuh cinta dan mengejarnya.