Hari ini berjalan mengejar hari besok. Sore baru saja berangsur malam. Malam ini, aku kembali dalam perjalanan dari Bandung menuju Jogja. Dengan kereta malam ku pulang sendiri. Duduk dihadapanku bukan seorang ibu yang dengan wajah sendu kelabu dan penuh rasa haru akan menatapku, seakan ingin memeluk diriku. Yang lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada karena sakit dan tak terobati, yang wajahnya tidak mirip denganku, karena aku pria, sedangkan dia wanita.
Suara kereta yang mulai melaju terdengar sahdu. Gejes gejes gejes, kira-kira begitu bunyinya. Berangkatlah semua yang berada di kereta ini meninggalkan Bandung kota kenangan, atau yang lebih dikenal sebagai Bandung lautan asmara. Asmaranya siapa? Asmara kita semua.
Aku melamun sendirian, hal yang lazim dilakukan daripada melamun masal. Teringat pengalaman beberapa tahun lalu, hampir sepuluh tahun, kalau ingatanku ini masih bisa diandalkan. Ingatan antara kejadian masa lalu, kejadian dalam mimpi, serta kejadian masa depan sering terasa penuh distorsi di benakku.
Waktu itu masih kuliah menjelang tingkat dua, aku sedang berlibur, meninggalkan Bandung menuju Jogja juga. Sejak aku kuliah di Bandung, kudengar abangku juga kuliah di Jogja, sehingga aku perlu datang untuk mengecek derajat kebenaran pendengaran itu.
Aku sendirian, cukup senang berperjalanan sendirian karena sangat banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Termasuk di dalamnya hal-hal yang membangkitkan adrenalin dan merefleksikan ego. Termasuk di dalamnya, kemungkinan untuk bertemu calon mertua, yang ketika kutanyakan perihal "Jam berapa sekarang?" dia lantas mencoretku dari daftar calon menantu (1). Tapi, tentunya, pastinya, sudah barang tentu, lebih enak berperjalanan berdua bersama kekasih yang memahamiku, sehingga bisa berkomentar dan tertawa atas apa saja dengan serta merta tanpa dianggap gila.
Terlepas dari itu semua, disitulah aku, alih-alih berada di sebuah terminal aku malah berdiri di sebuah stasiun kereta. Alih-alih berada di Stasiun Hall Bandung, aku malah berdiri di Stasiun Kiara Condong. Alih-alih naik kereta eksekutif, aku malah membeli tiket kereta ekonomi eksklusif. Free seat, katanya di depan loket.
Disitulah aku, sedang berdiri bersama beberapa ratus orang yang memiliki tujuan sama, yaitu naik kereta. Yang sedang menghampar dengan bermacam gaya.
Ningnongnengnong nengnong ningnong
Pengumuman menunjukkan bahwa kereta sebentar lagi tiba. Tepat seperti yang Bang Iwan sampaikan, terlambat lebih sejam, dan itu tidaklah lama.
Saat itulah, langit terasa sangat pekat, sepekat aroma persaingan yang terbawa udara malam mengelilingi jiwa dan raga kami. Aku memutuskan mencari gerbong paling belakang, karena tingkat persaingan di gerbong tengah dari berbagai sisi sangat tidak manusiawi. Maklum, musim liburan. Ternyata banyak orang beraliran sama, yang berbondong-bondong menuju lokasi yang diprediksi persis tempat gerbong paling belakang akan berhenti.
Dari kejauhan kereta terlihat berjalan menuju kedekatan. Kecepatannya masih cukup cepat. Akhirnya satu dua tiga empat gerbong melewati titik kami berdiri. Hingga akhirnya kami sama menyadari bahwa kami berada di titik yang salah. Gerbong paling belakang akan berhenti jauh di depan kami. Maka kami berlari-lari menuju gerbong itu. Salah perhitungan yang fatal. Fatal sekali.
Untung aku telah terbiasa berlari seminggu beberapa kali saat di ospek di kampus, sehingga cukup punya stamina. Sampai kami di pintu masuk. Ternyata untuk naik, kami harus meloncat setinggi satu meter. Sebelum kereta benar-benar berhenti aku sudah menggunakan ilmu meringankan tubuh meloncat, naik ke kereta.
Perihal ilmu meringankan tubuh itu, bolehlah ditanya darimana datangnya. Ilmu ini kudapat saat kelas dua SMA, sewaktu aku menjadi suhu bagi sekitar lima orang murit pake t yang merupakan kependekan dari murat-marit, yang menamakan perguruan kami: Perguruan Bebek Terbang. Bolehlah ditambahkan musik Jreng Jreng sebelum nama itu disebutkan. Misinya menyelamatkan bebek-bebek di seluruh galaksi. Mulia memang. Bayangkan, bebek yang bisa terbang, yang bisa menolong bebek-bebek tak berdaya lainnya, yang mengenakan celana dalam di luar. Saat itulah, saat mengajar di sana, aku jadi menguasai ilmu meringankan tubuh. Memang, seringkali cara belajar yang terbaik adalah dengan mengajar.
Tapi, jangan berpikir bahwa kesulitan berhenti disitu kawan, karena ternyata pintu kereta tidak dibuka. Alhasil aku menggantung begitu rupa, menggedor-gedor minta dibukakan pintu. Orang di dalam sana menggeleng, tidak mau membuka. Celaka, ini di luar prediksi kami semua. Tanpa putus asa, kami terus menggedor, kali ini dengan mempersembahkan ekspresi wajah campuran atara marah dan frustasi. Makin banyak yang ikut menggedor, sehingga akhirnya luluhlah sang penguasa pintu. Pintu dibuka, kami menghambur masuk.
Aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu masuk. Berhasil. Aku berjalan mewati wajah-wajah lelah yang bersandar di kursi, akhirnya di ujung ada sebuah kursi kosong. Kursi kosong terakhir di gerbong ini. Aku mendapatkannya dengan riang gembira. Seraya mengungkapkan selebrasi dengan cengar-cengir tak karuan sambil salam kiri kanan.
Salah satu pesaing yag mengejar dibelakangku, cuma mendapati ruang kosong diantara deretan kursi kereta. Saat dia menatap iri padaku, aku mempersembahkan senyum simpati yang lebih-lebih kurasakan sebagai senyum mengejek. Seolah-olah berkata:
"Maaf kawan, dunia memang kejam."
Mas mas tersebut akhirnya terduduk di lantai. Yang lain mengikuti, sehingga penuhlah koridor itu.
Beberapa pemuda yang terlambat, terlihat kebingungan mencari sisa tempat. Mereka berjalan berjingkat-jingkat, akhirnya bergerak ke arah ruang yang boleh diasumsikan sebagai toilet.
"Naah, ini kosong." berkata salah satunya.
"Iya, duduk sini ajalah." berkata yang lainnya. Maka mereka yang sebayak empat orang itu, menguji nyalinya, duduk di dalam toilet.
Kereta akhirnya melaju, setelah semua persaingan yang mengharu biru itu. Udara dingin yang berdesir mengalir dari jendela yang kacanya sudah tidak ada, menerbitkan rasa ngantuk. Kulirik mas mas yang tadi, terbesit sedikit rasa antara bersalah atau iba, sehingga kuberikan kertas koran untuk dijadikannya alas duduk. Dia berterima kasih dan berbasa basi sejenak.
Dengan padatnya penumpang yag bergelimpangan, jangan pernah membayangkan akan sebuah adegan ala before sunrise dalam kereta dari Budapest menuju Vienna dimana Jesse bertemu Celline. Mereka terganggu oleh suara pertengkaran pasangan rumah tangga, sehingga pindah untuk duduk nyaman di ruang makan dan akhirnya menghabiskan malam bersama dengan berjalan-jalan, yang mengubah hidup mereka selamanya. Akupun tertidur dengan potongan adegan tersebut.
Sebagai catatan, karena kereta ini eksklusif, maka setiap stasiun yang dilewatinya akan memintanya berhenti untuk sekedar bertegur sapa. Berhentilah kereta di sebuah stasiun, aku segera terbangun oleh suara orang-orang menjajakan dagangan. Bermacam rupanya, bermacam dagangannya, bermacam warnanya, bermacam juga harganya. Aku terkesima mengamati satu persatu yang lewat. Karena melihat langsung akan ditafsir sebagai menaksir, tak jarang aku hanya melirik dengan sudut mata. Curi-curi pandang.
Mereka lewat dengan caranya masing-masing dan logat masing-masing pula.
nasi rames makan makan: logat bandung
aqua aqua ye: logat bandung
nasi ayam telor: logat batak
tahu tahunya sumedang tahu: logat sumedang
kacang rebus kacang: logat dian sastro aadc
koran mas seribu: logat tegal
selai pisang goring: logat jawa
kopi susu pop mie kopi susu: logat indramayu
yang garut oleh-oleh garut: logat garut pastinya
rokok tisu basah: logat jakarte
sol patuk: logat cimahi
salak pondoh salak pondoh: logat jawa
Suasana ini, aku menyebutnya dengan istilah kerakyatan. Beragam suku bangsanya, beragam warna kulitnya, beragam suaranya, beragam idenya, semua bergabung menjadi satu. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Karena rasanya hanya rakyat yang berada di sini, tidak ada pejabat.
Sistem perdagangan ini, aku menyebutnya dengan sistem politik dagang salak dalam karung. Adalah, penjual salak membawa sekarung penuh salak. Lalu mulai menjual dengan harga 10 ribu sekilo di awal gerbong. Beberapa orang membelinya. Lalu ditengah2 mendadak harganya turun menjadi 5 ribu sekilo, beberapa orang lain membelinya. Lalu di ujung gerbong sampailah harganya pada kisaran 5 ribu sekarung. Sungguh, sistem dagang yang amat sangat spektakuler, sensional, brilliant, two thumbs up. Salak dalam karung. Terbayang olehku, pembeli awal salak tersebut sedang meratapi takdirnya karena duduk di ujung depan. Terbesit juga pikiran bahwa sang penjual hanya berjualan sebagai wujud aktualisasi diri.
Selang beberapa waktu yang berlalu, akhirnya ada petugas yang bertugas memeriksa karcis. Menanyai satu persatu karcis penumpang. Kuberikan karcisku untuk diperiksa, selesai sekejap kemudian. Lalu pak petugas beranjak ke orang sebelahku, orang tersebut merogoh kantongnya untuk mengambil sesuatu, lalu berjabat tangan dengan petugas karcis seperti bertemu teman lama yang akrab. Setelah itu, petugas karcis langsung ikut merogoh kantong untuk menaruh sesuatu. Apakah gerangan sesuatu itu, masih menjadi pertanyaan besar bagiku. Yang jelas, semua terjadi dalam gerakan yang sangat harmonis, sinergis. Praktis aku terpana seolah menatap keteraturan alam semesta.
Waktu berlalu, kereta melaju dalam deru dan debu. Mendadak kurasakan sebentuk perasaan ingin buang air kecil. Kuberanikan diri untuk bangkit dan bergerak menuju toilet. Ada empat pemuda sedang duduk disana, bermacam gaya dan posisinya, salah satu menatapku dengan pandangan tidak wajar yang menghipnotis. Hasrat ku pun terlupakan sudah, segera duduk lagi.
Untuk apa yang disebut toilet itu, janganlah sekali-kali membayangkan sebuah tempat yang nyaman dimana orang bisa duduk membaca koran, sambil menghirup aneka wangi bunga. Cukup bayangkan sebuah kotak persegi saja, yang ada sebentuk closet yang dari lubangnya lintasan rel bisa terlihat. Untuk sebuah privasi, benda ini tidak direkomendasikan.
Tak berapa lama, seorang ibu tertular hasrat buang air. Berjalan menuju toilet, persis saat ibu itu berdiri di depan pintu, terdengar pertanyaan.
"Mo ngapain bu?"
Dari nadanya yang tak ramah, tentu saja boleh dibayangkan juga tatapan mengintervensi yang diberikan pemilik pertanyaan.
"Ini gimana sih, ko wc diduduki?"
Ibu itu pergi sambil ngomel. Dihampirinya petugas yang kebetulan lewat, dan mengadukan kekecewaannya. Petugas menjawab dengan sama kecewanya.
"Salah sendiri naek ekonomi."
Katanya seraya berlalu. Aku membeku di tempat duduk ku.
Kereta terus melaju, meski aku membeku. Lalu ditengah jalan terasa kecepatannya menurun dan sesaat kemudian berhenti. Tidak ada stasiun, berarti bisa diasumsikan bahwa kereta berhenti untuk menunggu kereta lain yang akan lewat, karena jalurnya berselisihan. Seperti junior yang akan dilewati senior, kereta menunggu dengan bersabar. Saat senior lewat, yang dalam hal ini dikategorikan sebagai kelas bisnis atau eksekutif, maka junior akan menghormat. Terdengar aba-aba.
"Hormat gerak!" Saat senior sudah lewat seluruhnya, terdengar lagi aba-aba.
"Tegak gerak!"
Yang biasanya berlaku seperti dalam sekolah kedinasan, prosesi ini dikenal sebagai PPM (peraturan penghormatan militer).
Aku masih membeku. “Salah sendiri naik kereta ekonomi” katanya, penghormatan terhadap kereta yang tiketnya lebih mahal. Mau tidak mau terasa juga perbedaan kelas sosial dalam negara yang berkeadilan sosial. Kelas sosial, rangkaian huruf dalam Madilog dan Das Capital memenuhi pikiranku, dalam untaian yang sulit dipahami seperti biasanya.
Memang, perbandingan harga tiket dengan jarak yang ditempuh untuk kereta ini patut mendapat jempol. Kita mengeluarkan uang senilai seribu rupiah untuk menempuh jarak sekitar 25 km, murah meriah. Sangat menolong bagi orang-orang yang keperluannya untuk mobilitas sangat tinggi dan penghasilan sangat rendah, sehingga tidak menguras bagian penghasilannya yang seharusnya digunakan untuk konsumsi, sehingga patut juga aku berterimakasih pada pemerintah atas layanannya ini. Sehingga mahasiwa yang sisa uang kirimannya perbulan yang jika dilewatkan ke kasir Mc D hanya akan mendapat dua potong es cream cone juga bisa ikut melancong. Tak apalah, setidaknya ada ikatan emosional yang bisa kurasakan dengan sesama penumpang. Mas mas tidak dikenal, telah tertidur di lantai beralaskan koran. Dari posisiku, posisinya malah terlihat lebih nyaman. Akupun tertidur lagi.
Akirnya kereta tiba di Jogja, aku menggeliat bangun. Tak sabar melihat abang yang sejak aku lahir telah setia menjadi seorang abang. Akupun bergegas menuju pintu keluar. Aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu keluar. Berhasil. Aku berjalan melewati beberapa lajur rel. Celingak-celinguk mengamati sekitar, mampir ke warung yang ada di pojokan untuk membeli pengganjal perut. Kurogoh saku belakang dan demi daun yang jatuh dari pohon ke muka bumi yang sudah tercatat di lauhl mahfudz, dompetku telah sukses mempelajari ilmu menghilangkan diri. KTP, SIM, KTM, ATM serta uang yang tak seberapa banyaknya juga turut serta.
Rentetan kejadian mulai dari naik kereta sampai turun barusan dengan cepat menghambur, tak kutemukan adegan di mana ia menghilang. Kuputar ulang lagi dengan fast forward pada beberapa adegan, tetap misterius. Lalu kutemukan slow motion pada adegan aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu.
Kuhampiri aparat yang sedang bertugas. Akan kulaporkan perihal jurus menghilang dompetku. Aku tau, peluangnya untuk ditemukan satu banding sejuta, peluang untuk aparat membantu mencari sebelas dua belas saja dengan yang tersebut sebelumnya. Tapi, aparat itu akan membantuku melewati hari, karena kuceritakan bebanku padanya. Karena mungkin dia akan mendengarkan, bahkan lebih dari itu, dia mungkin akan mencatat dengan penuh perhatian.
Aku terjaga dari lamunan. Masih di kereta. Tak ada orang-orang yang berserakan di koridor kereta ini. Suasana kerakyatan yang tadi kukenang cukup kurindukan. Tapi, kali ini, aku membeli tiket eksekutif..
Ket:
(1) Sebuah cerita komedi yang beredar luas, sehingga tak diketahui siapa penulisnya..
Seorang
pemuda sedang dalam perjalanan dengan kereta api ke Jakarta. Persis di depannya
duduk seorang bapak setengah baya. Setelah lama berdiam diri, sang pemuda
bertanya, “Jam berapa sekarang, Pak?”
Namun si
bapak itu ternyata diam saja. Mengira sang bapak agak tuli, ia mengulangnya
sampai 3 kali, namun tetap saja si bapak itu diam. Merasa kesal, pemuda
mencolek bapak itu dan berkata “Saya heran kenapa bapak tidak menjawab
pertanyaan saya? Apa sih susahnya?”
Si bapak
membalas, “Bukannya saya gak mau jawab, tapi nanti kalau saya jawab, kita pasti
ngomong-ngomong lagi soal ini soal itu, soal apa saja, ngalor-ngidul, terus
nanti kita jadi akrab.”
“Lalu apa
salahnya kalau kita akrab?”
“Nanti
anak gadis dan istri saya akan menjemput di stasiun Gambir. Kalau kita sudah
akrab, nanti kita akan turun sama-sama, terus saya pasti akan memperkenalkan
mereka sama kamu.”
“Lalu?”
“Istri
saya tuh orangnya baik sama semua orang. Nanti dia pasti nawarin kamu mampir ke
rumah. Nanti kamu mandi di rumah saya, terus makan di rumah saya, trus nanti
kamu lama-lama bisa akrab dengan anak gadis saya, dan kamu bisa jadi pacarnya,
dan lama-lama kamu bisa jadi menantu saya.”
Sang
pemuda yang dari tadi sudah bingung sekarang makin bingung. Lantas dia tanya,
“Terus hubungannya apa sama pertanyaan saya soal jam tadi?”
Sambil berdiri dan
lantang bapak tersebut menjawab, “Masalahnya.. SAYA TIDAK MAU PUNYA MENANTU
SEPERTI KAMU, JAM TANGAN AJA NGGAK
PUNYA, GIMANA MAU MEMBAHAGIAKAN ANAK SAYA!!”