Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang kesan. Karena yang saya bicarakan adalah sebuah surat di dalam Al Qur’an, maka saya hanya berani mengungkapkan sebagai kesan. Penguasaan bahasa yang terbatas serta penelusuran historis dan simbolik yang belum bisa saya lakukan, ditambah kondisi beragama saya yang tidak terlalu baik, membuat saya tidaklah dalam kapasitas yang tepat untuk membuat sebuah tafsir.
Meski begitu, saya sudah memutuskan untuk maju satu langkah, dengan mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Saya maju dua langkah dengan mempercayai kebenaran ajaran islam, para rasul, para malaikat, Al Quran berikut kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, keberadaan alam akhirat serta takdir.
Dan ini adalah kesan menurut saya. Sesuatu yang terlintas di kepala berdasarkan sesuatu yang lainnya yang telah lebih dahulu mengendap di kepala saya sebagai pengalaman dan pengetahuan. Kesan saya ketika beberapa tahun yang lalu, membaca surat ini adalah betapa indahnya. Keindahan itu terasa dari nada-nadanya saat membaca dan ketika melihat terjemahnya keindahan itu saya rasakan juga dari makna kata-katanya. Berikut ini sebagian kutipan nya.
(Tuhan) Yang Maha Pemurah (1)
Yang telah mengajarkan Al Qur'an (2)
Dia menciptakan manusia (3)
Mengajarnya pandai berbicara (4)
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (5)
Dan bintang-bintang dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya (6)
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) (7)
Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu (8)
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (9)
Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya) (10)
Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang (11)
Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya (12)
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (13)
Sang Maha Pemurah yang telah menciptakan manusia, mengajarkan kepada isi Al Qur’an dalam rangka menuntun kita menjalani kehidupan. Sang pencipta memberikan petunjuk kepada ciptaannya, karena tanpa petunjuk, manusia akan kebingungan menjalankan peranannya di bumi ini. Sang pencipta juga telah menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang bisa mengekspresikan isi pikiran dan kemauan dengan cara berbicara. Berbicara atau berkomunikasi merupakan symbol dari pengetahuan dan kecerdasan pikiran manusia dibanding makhluk hidup lainnya.
Matahari, bulan, bintang dan seisi alam semesta berjalan berdasarkan aturan, sesuai perhitungan yang telah ditetapkan. Dan diantara bumi dan benda langit telah ditetapkan keseimbangannya yang belakangan telah diformulasikan dalam rumus-rumus oleh fisikawan. Agar manusia tetap menjaga keseimbangan tersebut. Agar manusia tidak merusak hukum kesetimbangan tersebut, hidup dalam harmoni. Bumi ini telah diciptakan dan dipersiapkan untuk kedatangan manusia dengan kondisi ideal, sumber makanan dari tumbuhan yang kaya variasi yang bukan hanya mengandung gizi, tetapi memuaskan indra pengecap dan pengihatan kita, untuk mendukung kehidupan kita dan seluruh makhluk hidup lainnya.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Kalimat inilah yang menjadi penekanan dalam surat ini, yang diulang berkali-kali pada ayat-ayat berikutnya setelah menceritakan mengenai penciptaan, surga, dan neraka, yang kalau dirangkum hanya seiktar sepertiga yang menceritakan kehidupan dunia dan dua pertiga sisanya adalah kehidupan akhirat. Kalimat ini ditafsirkan dengan beragam makna dengan kekayaan kata-kata bahasa arab dari kata “nikmat” dan beragam penjabaran pada kata “dustakan”.
Nikmat, bisa juga diterjemahkan sebagai manifestasi, mukjizat, atau kekuasaan Tuhan dalam konteks yang berbeda pada ayat-ayat selanjutnya. Sedangkan mendustakan bisa terjadi dalam beberapa tingkatan antara lain: Tidak mengakui keberadaan Tuhan sebagai sang pencipta yang biasanya kita temukan pada penganut materialisme, tidak mengakui kebenaran ajaran agama atau atheis yang belakangan semakin banyak kita jumpai, dan pada tingkatan yang lebih terselubung adalah tidak berterimakasih atas nikmat yang telah diperoleh.
Tetapi mengapa pertanyaan ini bernada negatif? Dalam bagian lain disebutkan karakter yang dominan pada diri manusia adalah makhluk yang cenderung zalim, tergesa-gesa, bodoh, banyak membantah dan mendebat, serta tidak berterima kasih. Seperti dalam surat Al Ma'arij (70: 19, 20, 21) dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung berkeluh kesah, apabila ditimpa kesusahan ia mengeluh dan apabila mendapat kebaikan ia menjadi kikir, dengan beberapa perkecualian yang salah satunya adalah orang-orang yang mengerjakan sholat dan sebagainya. Itulah salah satu yang menyebabkan manusia membutuhkan penuntun dalam menjalankan kehidupannya.
Kehidupan kita selalu berputar, terkadang hal-hal yang kita inginkan tak selalu berjalan sesuai kehendak kita, selain kenyataan bahwa apa-apa yang kita ingingkan belum tentu benar-benar baik bagi diri kita. Maka seberapa sering kita mengeluh terhadap kehidupan ini dan merasa semakin tidak bahagia dari hari kehari. Oke mungkin bahasa saya terlalu negatif. Seberapa sering kita tidak bersyukur atas apa-apa yang kita miliki? Dalam bahasa yang lebih positif lagi, seberapa sering kita bersyukur atas semua nikmat yang telah kita peroleh?
Jika boleh mengeluh, saya seringkali merasa iba jika melihat berita di televisi dimana sering meliput pertikaian antar manusia karena hal-hal sepele yang dilanjutkan pertikaian antar keluarga dan antar kampung bahkan antar Negara karena konflik kepentingan. Okelah, mungkin memang sudah semestinya begitu, karena toh manusia sama-sama memperjuangkan kepentingan yang menurutnya layak diperjuangkan dan itu semua bisa berbeda-beda tergantung pada sudut pandang, latar belakang pengalaman dan pendidikan. Tapi bolehlah jika saya merasa heran pada status orang-orang yang memprotes kedatangan hujan misalnya, atau mengeluhkan sejumlah hal-hal remeh lainnya.
Bukankah sudah ditakdirkan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung berkeluh kesah, jadi kenapa harus protes? Benar sekali, tapi telah diajarkan juga kepada kita untuk bisa memanfaatkan potensi kita untuk lebih cenderung bersyukur daripada kufur. Menurut saya, tak apalah sesekali mengeluh, karena itu memberi ruang bagi seseorang lain dalam kehidupan kita untuk menjalankan peranannya menentramkan kita, untuk saling berbagi. Tapi jika setiap hari kita terlaru larut dalam keluhan-keluhan, rasanya lambat laun itu akan menjerumuskan kita, yang pada akhirnya bisa membuat kita lupa untuk berterima kasih pada karunia Tuhan atas diri kita.
Dalam rangka inilah, kesan saya terhadap surat yang indah ini, lebih spesifik lagi, terhadap ayat: “Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” ini, saya buat untuk mengingatkan diri saya sendiri. Agar lebih mensyukuri nikmat di sekeliling saya, lebih fokus pada apa-apa yang saya miliki, daripada terus menyesali apa-apa yang tidak ada dan yang telah hilang dari kehidupan saya. Jika suatu saat saya terlupa, apa boleh buat? toh itu bukan berarti saya tidak berusaha...