Dia berjalan perlahan, aku masih di sampingnya.
Berjalan melintasi peradaban, sesekali mengomentari, sesekali melibatkan diri. Tiada yang lebih dia dan aku nikmati, selain bisa berjalan berdampingan. Senyumnya tertebar dalam arah pandang, akulah yang mendapat kehormatan untuk selalu merasakan indahnya, karena berada di sampingnya. Air matanya pernah menetes, akulah yang mendapat kehormatan untuk berusaha menghapusnya, karena berada di sampingnya.
Sedang berjalan setelah sekian bilangan waktu, dia sempat ingin berhenti, aku menyanggupi, kekhawatiran akan arah tujuan yang berbeda menimbulkan sebentuk perasaan yang menyebabkan keinginan itu. Kami istirahat sebentar, berusaha mencermati pemandangan di dalam diri sembari melihat jejak-jejak yang telah ada di belakang, pada warna-warninya. Di dalam diriku hanya ada dia, di dalam dirinya masih ada aku. Jejak-jejak yang manis di belakang itu, ada saat kami berdua. Aku tertawa mendalam melihat itu, dia tersenyum menyadarinya. Kami lalu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, masih berdua, dengan langkah-langkah kecil yang menurutku tak akan membuat tergelincir.
Sedikit-demi sedikit kekhawatiran yang tadinya ada padanya, perlahan-lahan mereda. Kekhawatiranku juga segera berlalu. Kami terus berjalan, sembari mempersiapkan diri untuk apa yang akan ada di depan, terus berjalan bersama. Kami akan segera menemukan tempat tujuan kami, di dalam pelukan takdir.
Hingga suatu saat, pada waktu aku semakin ingin lebih dekat dengannya dan hari-hari hanya seperti biasa saja, aku salah melangkah. Persimpangan kecil, yang karena berhubungan dengan arah, semakin lama semakin membuatku terpisah dengannya. Aku melihat ke belakang, mencari pada titik mana langkahku menjadi salah. Aku melihat ke belakang, berharap bisa berjalan mundur melawan waktu. Tapi tak ada yang pernah bisa melakukan itu. Aku melihat ke samping, dia telah semakin jauh. Aku melihat ke depan, tak ada apa-apa. Aku tak tau harus melangkah kemana, karena terlanjur kutitipkan kompasku padanya.
Aku mulai memikirkan tentang engkau, dirimu. Mungkin dia melihatmu, sehingga tak sempat memanggilku ketika aku salah jalan. Dia segera bertemu denganmu, dan engkaulah yang akan menemaninya melanjutkan perjalanan. Mungkin, engkau bisa membahagiakannya. Aku harap dia lebih bahagia denganmu.
Aku mulai memikirkan tentang engkau, dirimu. Mungkin aku akan menemukanmu, sehingga bisa melupakan dia. Dan engkaulah yang akan melanjutkan perjalanan bersamaku. Aku harap bisa membahagiakanmu. Mungkin aku lebih bahagia denganmu. Tapi maafkan aku jika aku tak bisa, maafkan aku jika aku akan mencari dirinya dalam dirimu, maafkan aku jika aku akan melihatnya ketika melihatmu, maafkan aku jika aku akan mendengar dia saat engkau berbicara, maafkan aku, maafkan aku sebelum melakukannya.
Aku berhenti, mematung, merenung, menyesali. Dia, engkau, dan aku, semua hanya diri sendiri. Aku tak bisa melihat engkau sebagai dirimu, aku tak sepenuhnya bisa melihat dia sebagai dirinya, tentu saja engkau dan dia tak juga melihat aku sebagai diriku. Dunia tetap akan berada dalam ironi karena manusia tak bisa saling memahami. Aku berhenti, mematung, merenung, menyesali.
Berjalan melintasi peradaban, sesekali mengomentari, sesekali melibatkan diri. Tiada yang lebih dia dan aku nikmati, selain bisa berjalan berdampingan. Senyumnya tertebar dalam arah pandang, akulah yang mendapat kehormatan untuk selalu merasakan indahnya, karena berada di sampingnya. Air matanya pernah menetes, akulah yang mendapat kehormatan untuk berusaha menghapusnya, karena berada di sampingnya.
Sedang berjalan setelah sekian bilangan waktu, dia sempat ingin berhenti, aku menyanggupi, kekhawatiran akan arah tujuan yang berbeda menimbulkan sebentuk perasaan yang menyebabkan keinginan itu. Kami istirahat sebentar, berusaha mencermati pemandangan di dalam diri sembari melihat jejak-jejak yang telah ada di belakang, pada warna-warninya. Di dalam diriku hanya ada dia, di dalam dirinya masih ada aku. Jejak-jejak yang manis di belakang itu, ada saat kami berdua. Aku tertawa mendalam melihat itu, dia tersenyum menyadarinya. Kami lalu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, masih berdua, dengan langkah-langkah kecil yang menurutku tak akan membuat tergelincir.
Sedikit-demi sedikit kekhawatiran yang tadinya ada padanya, perlahan-lahan mereda. Kekhawatiranku juga segera berlalu. Kami terus berjalan, sembari mempersiapkan diri untuk apa yang akan ada di depan, terus berjalan bersama. Kami akan segera menemukan tempat tujuan kami, di dalam pelukan takdir.
Hingga suatu saat, pada waktu aku semakin ingin lebih dekat dengannya dan hari-hari hanya seperti biasa saja, aku salah melangkah. Persimpangan kecil, yang karena berhubungan dengan arah, semakin lama semakin membuatku terpisah dengannya. Aku melihat ke belakang, mencari pada titik mana langkahku menjadi salah. Aku melihat ke belakang, berharap bisa berjalan mundur melawan waktu. Tapi tak ada yang pernah bisa melakukan itu. Aku melihat ke samping, dia telah semakin jauh. Aku melihat ke depan, tak ada apa-apa. Aku tak tau harus melangkah kemana, karena terlanjur kutitipkan kompasku padanya.
Aku mulai memikirkan tentang engkau, dirimu. Mungkin dia melihatmu, sehingga tak sempat memanggilku ketika aku salah jalan. Dia segera bertemu denganmu, dan engkaulah yang akan menemaninya melanjutkan perjalanan. Mungkin, engkau bisa membahagiakannya. Aku harap dia lebih bahagia denganmu.
Aku mulai memikirkan tentang engkau, dirimu. Mungkin aku akan menemukanmu, sehingga bisa melupakan dia. Dan engkaulah yang akan melanjutkan perjalanan bersamaku. Aku harap bisa membahagiakanmu. Mungkin aku lebih bahagia denganmu. Tapi maafkan aku jika aku tak bisa, maafkan aku jika aku akan mencari dirinya dalam dirimu, maafkan aku jika aku akan melihatnya ketika melihatmu, maafkan aku jika aku akan mendengar dia saat engkau berbicara, maafkan aku, maafkan aku sebelum melakukannya.
Aku berhenti, mematung, merenung, menyesali. Dia, engkau, dan aku, semua hanya diri sendiri. Aku tak bisa melihat engkau sebagai dirimu, aku tak sepenuhnya bisa melihat dia sebagai dirinya, tentu saja engkau dan dia tak juga melihat aku sebagai diriku. Dunia tetap akan berada dalam ironi karena manusia tak bisa saling memahami. Aku berhenti, mematung, merenung, menyesali.