Monday, October 18, 2010

cita-cita Bung Tomo

Tak terlalu tinggi cita-citaku.
Impianku kita punya rumah di atas gunung.
Jauuuh dari keramaian.
Rumah yang sederhana seperti pondok.
Hawanya bersih,
sejuk & pemandangannya Indah.
Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri.
aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa.
(disebut-sebut sebagai surat cinta Bung Tomo)

Hujan membuatku merasa dingin, dingin sampai ke dalam-dalam hati. Secangkir teh panas mungkin bisa membantu menghangatkan diri, seuntai tulisan mungkin bisa menghangatkan hati.  

Kutipan kata-kata di atas, yang menjadi note pertama di facebook, cukup mewakili perasaanku. Kupikir, juga tak terlalu tinggi cita-citaku. Jika harga diri seorang laki-laki diukur dari ketinggian cita-citanya, tentulah tak terlalu tinggi juga harga diriku.

Entah kenapa cita-cita bisa sangat identik dengan pekerjaan. Seperti dialog antara aku dengan teman sekolah dulu,
“Apa cita-citamu?”
“Mau menjadi presiden.” Katanya. Banyak cita-cita yang serupa itu, entah itu menjadi dokter, pilot, insinyur, atau yang berupa pencapaian seperti menjadi pemimpin, keliling dunia, bintang tenar, pengusaha sukses, kaya raya dsb.

Tentu yang sewajarnya, semakin tinggi cita-cita, semakin besar juga usaha untuk meraihnya. Sudah alamiah, yang merupakan hukum alam, bahwa orang-orang yang mempunya kapasitas untuk itu, menjadi begitu dekat  dan mungkin untuk mencapai cita-citanya. Orang yang cita-citanya menjadi presiden, mungkin saja tidak akan pernah menjadi presiden, namun pada akhirnya menjadi salah satu menteri. Kira-kira seperti itu menurut apa yang kupikirkan.

Jika ditanyakan padaku, “Apa cita-citamu?”
Entah berapa lama yang dibutuhkan untuk menjawabnya, aku tak tau apa cita-citaku, dan tak pernah punya cita-cita terlalu tinggi. Secara ngawur waktu SMP pernah kukatakan keinginanku untuk kuliah di Oxford University, tapi itu ngawur. Kalau saat ini aku sedang belajar di program magister, bukanlah karena aku pernah mencita-citakannya. Hanya karena aku sedang tak tau apa yang ku inginkan, lalu aku mendaftarkan diri untuk mengisi waktu, selain karena lokasinya yang dekat dengan tempat persemayaman terakhir sang ayah.  

Aku tak pernah bercita-cita ingin menjadi presiden atau yang semacamnya, menjadi pemimpin. Tak pernah tertarik pada jabatan-jabatan seperti itu. Setidaknya selain menjadi pemimpin keluarga yang kuharap kelak akan kumiliki. Kalau dulu pernah beberapa kali menjadi memimpin, bukanlah karena keinginanku. Tapi aku bukanlah juga seorang plegmatis karena bagaimanapun aku termasuk orang keras kepala, dalam beberapa kali test yang kuikuti kuketahui bahwa distribusi kepribadianku  dari yang paling dominan adalah sanguis, koleris, melankolis dan plegmatis.

Aku tak pernah punya cita-cita bekerja di perusahaan multinasional atau apapun itu yang memiliki penghasilan terlalu besar, yang terlalu besar sehingga tak sempat merasakan empati pada orang kecil. Hanya tidak bekerja di Jakarta, itu saja yang pernah kugariskan tentang pekerjaanku, dengan ketakutan. yang cukup konyol untuk diungkapkan. Aku selalu ingin tinggal dan bekerja di kota kecil, yang hawanya bersih, sejuk dan pemandangannya indah. Hidupku sudah sangat dekat dengan itu semua setahun yang lalu, tapi takdir menggenggamku dengan genggaman yang membuatku bahkan merasa sesak.

Dulu, ayah selalu menginginkanku menjadi pegawai negeri seperti dirinya, yang aku tak terlalu mengindahkan. Sekarang mungkin itu saja yang kuinginkan, agar suatu saat aku bisa mendatanginya dan mengatakan, “aku menjadi seperti yang engkau anggap baik bagiku, dan itu memang baik bagiku.” Kalaupun itu harus di Jakarta, kuanggap sesuatu yang tak bisa dihindari, sebagai takdir. Hanya tidak akan korupsi, itu saja yang ingin ku jadikan pegangan, seperti ayah yang selalu meneladankan prinsip-prinsip kesederhanaan padaku.

Di luar hasratku untuk petualangan dan pengalaman baru. Aku hanya ingin tinggal di kota kecil bersama orang yang kelak menjadi isteriku yang, tentu saja, kucintai. Aku hanya ingin hidup mandiri, tidak merepotkan orang lain, seperti Bung Tomo ingin menanam sayur sendiri. Bagiku itu adalah memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya hidup, pendidikan, sarana dan prasarana serta sedikit tabungan yang bisa digunakan untuk mengajak orang tua dan keluarga menunaikan haji. Itu saja yang kuinginkan sedari dulu. Aku juga ingin sesekali bisa memberikan bantuan berupa pemikiran atau perbuatan yang bermanfaat bagi orang banyak, yang artinya pemikiranku haruslah satu tingkat di atas orang lain dengan perbuatan yang menjadi teladan. Aku ingin setidaknya suatu saat ada anak atau orang lain yang menganggapku sebagai guru. Seperti Bung Tomo ingin mengumpulkan muda-mudi dan mendidiknya menjadi patriot bangsa. Tentu adalah sebuah kebetulan, jika dari namaku, aku juga bisa dipanggil Bung Tomo.

Cita-cita, entah kenapa hal ini kelihatan terlalu duniawi. Sehingga setiap hari, yang menjadi kegiatan orang-orang, termasuk juga aku, adalah mencoba untuk menguasai dunia. Menguasai dunia? Untuk apa? Kadang aku membaca kitab suci, dan merasa malu akan ini semua. Alasan yang menjadi pembenaranku adalah: agar tidak menjadi fakir dan bisa membantu para fakir.

Hujan sudah berhenti, udara tak lagi terasa dingin. Tulisan ini ku akhiri, hatiku tak lagi terlalu dingin.  

Wednesday, September 22, 2010

Hari yang Biasa

Hari yang biasa saja, sinar mentari terasa panas menusuk-nusuk kulit. Yang diluar kebiasaan adalah beberapa hari lalu aku dan teman bernama Agus dan Eman baru berkenalan dengan seorang pemuda asal sumatera utara bernama Leonardo Saragih di tepian Pantai Kuta Bali. Leonardo yang besar kemungkinan masih ada hubungan marga dengan Leonardo Dicaprio.

Hari yang biasa saja, saat ketika dia berkoar-koar dengan sangat membuai, bak seorang calon anggota dewan, tentang kemampuannya surfing.  
“Mudah‘nya itu bang. Bisa aku ajarkan abang, kalau mau.” 
“Serius kau bang, nanti tenggelam pula kawanmu ini kau bikin.” Sambutku skeptis.
 
Hari yang biasa saja, ketika entah kenapa pada hari berikutnya, keinginan untuk mencoba ombak, membakar tubuh yang basah dengan matahari dan mengeringkannya lagi dengan angin di pantai ini memenuhi benakku. Itulah sebabnya, seorang diri kutemui lagi si Leo ini di tempatnya biasa menjaga payung di sejajaran tepi pantai.  
“Cemmana bang, bisa kau ajarkan awa surfing!”
Dan adalah si Leo, telah kunobatkan sebagai seorang pelatih surfing dadakan. Tentu belum pernah ada seorang pun muridnya, yang bisa memanggilnya dengan panggilan guru. Tentu juga belum pernah ada seorang pun yang mengajarkanku surfing, yang bisa memanggilku murid. Kondisi ini, membuat pertukaran kami menjadi adil, dia menjadi guru dadakanku, dan aku menjadi murid dadakan pula. 

Hari yang biasa saja, ketika Leo dengan intonasi batak murni belum dipoles, membius para pemilik sewa papan selancar.
“Mas, ini sodaraku orang jawa datang dari sumatera, mau belajar surfing, bisa kusewa papan ini?” sehingga dapat juga papan dengan harga sangat bersaing. 

Hari yang biasa saja, ketika aku dan si Leo telah membuka pakaian dengan menyisakan celana pendek, segera ingin menaklukkan ombak.
“Oke, siap kita bang.” Katanya
“Jadi gimana caranya bang?” Tanyaku bingung.
“Ikatkan tali pengaman ini ke kaki, lalu kita langsung aja berenang ke laut.”
“Loh, ga dipelajari dulu teorinya di darat  ini? mumpung ga perlu pake tenggelam?” aku terbengong.
“Aih, gampang’nya itu, langsung aja kita turun.” Sahutnya seraya langsung berjalan menuju laut.

Hari yang biasa saja, ketika ku ikuti juga langkah-langkah tergesa saudara si Dicaprio ini. Kami berlari menjauhi pantai dan saat air terasa dalam mulai berenang melawan ombak. Setiap ombak datang, berbalik badan untuk menahan agar tidak terlalu membentur dada. Si Leo yang sepertinya baterenya baru di charge ini sebentar saja sudah di laut yang dalam. Tali pengaman papan surfing di pasang di kakinya. Leo berbalik badan memungguni ombak, kemudian berbaring di papan, dan berenang searah ombak. Dorongan dari gelombang dan tenaga berenangnya membuat papan segera meluncur kencang ke arah tepi pantai. Leo berdiri di papan dengan trendi, sebentar menjaga keseimbangan, sebelum akhirnya jatuh ke laut.
“Naah, gitu caranya.” Katanya, cukup bangga dengan skill yang masih pas-pasan.
“Okelah bang, sinih ku coba.”

Hari yang biasa saja, ketika ku ikuti cara si Leo, berenang ke tengah laut, dihantam ombak. Berenang lebih jauh lagi, sebentar saja sudah pedih semua badan. Sudah habis tenaga, tak berguna latihan berenangku di sungai waktu kecil dan di kolam renang Mayang Club waktu besar.

Hari yang biasa saja, ketika si Leo berteriak dengan lebih kencang dari deru ombak dan disiplin lebih kejam dari militer.
“Berenang bang, renang terus. Kurang jauh itu.”
“Ampuun bang, udah capek kali ini.” Nafasku memburu.
“Aih, lemah kali, berenang terus, ayo, itu ombak besar datang itu.”
Maka kuikuti gaya si Leo berbaring di atas papan, dan saat ombak datang, berenang ke arah pantai, dan dorongan ombak meluncurkan papan selancar dengan kencang. Diam sesaat, aku berdiri dan segera jatuh, persis contoh dari sang instruktur.
“Aih, cemmana kok malah jatuh, yang penting keseimbangan bang.” Teriak si Leo di sela-sela ombak. “Abang aja ga bisa juga tadi!” Sahut ku sambil ngos-ngosan.  
“Sini ku kasih contoh.”Sahutnya. Maka si Leo segera berenang lagi mengulangi seperti pertama, aku berenang mengikutinya, si Leo sukses meluncur dengan papannya. Kali ini berdiri dengan agak lama sampai menjelang tepi pantai sebelum terjatuh.
“Naah, kek gini bang.” Teriaknya.
“Okelah, aku coba dulu.”
“Terus aja, coba gitu, nanti juga bisa. Awak mau jaga payung dulu ya bang.”

Hari yang biasa saja, ketika aku mengutuki si Leo dalam hati.
“Naah, gawat ini orang. Gimana kalo aku mendadak tenggelam, dan ga ada yang nolongin?” Seperti hari yang biasa juga, ketika tak ada jalan keluar buat perasaan takutku.
“Perdulilah, sudah kepalang basah, harus bisa.”
Maka kulanjutkan sesuai instruksi pelatih. Berenang melawan ombak sampai batas yang jauh, lalu berenang searah ombak. Lalu berdiri di papan. Dan aku terjatuh dihantam ombak karena salah posisi. Dada terasa sesak, kepala pusing, pandangan berkunang-kunang, perut mual, kulit terasa perih, hanya tanganku yang kugunakan untuk menarik tali pada papan selancar agar bisa mengapung lagi.

Hari yang biasa saja, ketika terus kucoba-coba sehingga lama-kelamaan papan selancar ini mulai bersahabat, ombak mulai melunak. Aku meluncur, merasakan angin yang mengusir kegelisahan, merasakah bahagia. Perasaan seperti anak kecil yang melihat setiap informasi sebagai pengetahuan baru, setiap tindakan sebagai pengalaman yang baru.

Hari yang biasa saja, ketika aku dan seorang teman bernama Arman, dalam wujud seorang anak sepuluh tahun berjalan tergesa di halaman belakang rumah. Rumah yang dikelilingi oleh halaman yang luas yang terisi bermacam pepohonan, tanaman, padang ilalang dan semak belukar. Dibelakang rumah, agak jauh kebelakang, setelah menuruni bukit dan menembus hutan dimana terdapat sebuah sungai alam yang saat itu tak disentuh peradaban manusia. Manusia lain kecuali kami, anak-anak nakal ini. Yang menerobos masuk ke dalam hutan dan menemukan sungai itu. Kami namakan sungai AUO, karena ada semacam akar yang melilit dari atas pohon hingga ke permukaan sungai, yang kami potong dan kami jadikan tempat bergelayutan sambil meneriakkan password AUOO.

Hari yang biasa saja, ketika kami memanggul batang pisang, yang sudah ditebang karena buahnya keliahatan telah hampir matang, ke arah sungai yang jaraknya sekitar setengah kilometer dan tidak dalam batas pandang. Terkadang, dengan berlari-lari kecil menerobos semak karena tak sabar menemui sungai yang menanti kami.

Hari yang biasa saja, ketika kami melempar potongan batang pisang itu ke sungai. Lalu melempar baju dan celana kami ke pinggiran, lalu melempar tubuh bugil kami ke sungai juga. Segera menghanyutkan diri berpegang pada batang pisang yang telah kami tambahkan kayu untuk berpegangan.

Hari yang biasa saja, saat kami tak memikirkan resiko untuk tenggelam di arus yang kencang karena belum punya kemampuan berenang, saat kami tak memikirkan resiko untuk dipatuk ular pada bagian terlarang yang saat itu tak terlindung, yang tentu akan kami sesali karena pada suatu saat akan menjadi bagian paling penting dalam kehidupan kami.

Hari yang biasa saja, setelah sekitar setengah kilo kami menghanyutkan diri, kami harus menarik potongan batang pisang itu kembali ke daratan, dan berjalan kembali ke hulu sungai menelusuri tepi hutan tanpa alas kaki dan tak takut akan duri untuk memulai semua dari awal lagi.

Hari yang biasa saja, tetapi saat itu kami merasa gembira, kami menikmati sebuah hari. Kami merasa gembira, seperti orang yang jatuh cinta dan mengejarnya. 

Monday, August 30, 2010

JIngga: Perjalanan ke India dan Thailand, Mencari Surga di Bumi (review)

Judul: Jingga: Perjalanan ke India dan Thailand, Mencari Surga di Bumi.
Penulis: Marina S. Kusumawardhani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 416 Halaman
Tahun Terbit: 2010
Harga: 65.000

Bukuini menceritakan tentang perjalanan. Judul bukunya adalah perjalanan, perjalanan kemana? Perjalanan ke India dan Thailand. Sudah barang tentu, di judulnya sudah dikatakan begitu. Apa yang istimewa? Teristimewanya, buku ini menceritakan perjalanan ke India dan Thailand, dalam rangka mencari surga di Bumi. Baiklah, selesai. Sudah disampaikan apa isi buku ini.

Bagi yang membutuhkan informasi lebih lanjut, akan saya sampaikan sedikit kesan yang saya peroleh dari membaca bukuini. Buku ini ditulis oleh Marina dengan sudut pandang orang pertama,yang mengisahkan perjalanannya, seorang diri, ke India dan Thailand dalam rentang waktu sekitar Tahun 2003-2004. Untuk mencari surga dibumi. Surga di bumi? Sungguh berat topik yang dipilih, karena seingatku keberadaan surga di bumi merupakan perdebatan para ahli teologi.

"Hidup adalah travelling besar" katanya. Persepsi yang aneh bukan? Sangat aneh, disaat wanita-wanita kebanyakan lebih memilih untuk duduk di dalam rumah yang nyaman, di depan sebuah televisi dan dengan dedikasi tinggi menyimak setiap episode sinetron cinta fitri season enam yang sebentar lagi akan di buat season tujuhnya. Kali ini ada yang mengatakan bahwa hidup adalah travelling besar. Baiklah, mari kita lihat travelling seperti apa yang di ceritakan dibuku ini, mengapa sebegitu rupa sehingga sampai pada filosofi bahwa hidup bisa dihargai dengan sebuah travelling.

Cerita dimulai dengan perjalanannya keIndia dengan alasan yang sedikit (atau mungkin banyak) konyol, karena vokalis grub band idolanya: Khula Shaker pernah berkata: suatu saatdalam hidupmu, engkau harus sekali saja pergi ke India. Kalau vokalis tersebut berkata bahwa: suatu saat dalam hidupmu, engkau harus belajar tari piring, barangkali hal ini akan dilakoninya juga. India, negara yang kental dengan nuansa spiritualnya, berbagai agama besar berasal dari sana, dan oleh penulis disebut sebagai tanah perjanjian. Kira-kira apa hubungannya dengan tanah yang dijanjikan kepada pengikut nabi musa sambil menyebrang laut dalam kisah di alkitab? Entah. Dalam perjalanan dari bandara menuju Delhi, seorang supir taksi berkata kepadanya: "Kau sebetulnya mencari surga dibumi m'friend, dan kau akan menemukannya, satu atau lain cara."

Demikianlah perjalanan Marina yang dituntun oleh tangan takdir, menelusuri daerah-daerah mulai dari Delhi, Srinagar, Leh, Rishikesh dan sebagainya. India, yang lingkungannya mirip-mirip negeri asal Sahrul Khan, yang suasanya masih terimbas dampak pertikaian antar kepentingan dan antar agama yang dulu pernah (masih) terjadi. Hingga sampailah dia di Kashmir, demikian indah tempat yang dikunjungi itu, dikenal dunia internasional sebagai paradise on earth.
"Danau yang dikelilingi pegunungan raksasa di sekelilingnya, riak-riak airnya mengalir lembutdan ditengah-tengah terlihat banyak lentera keemasan yang mengapung-ngapung dengan khidmat. Matahari terbenam membuat langit berwarna ungu muda dan semuanya terpantul pada danau yang luas itu, seolah membuat segala keindahan menjadi berlipat ganda."

Oke, tentunya Marina harus mendeskripsikan dengan cara yang lebih baik lagi untuk sebuah tempat yang disebut sebagai surga itu. Karena nama surga cukup berat untuk di sandang. Namun demikian, tempat tersebut oleh Salman Rushdie dalam Midnights Children diungkapkan dengan cara sama sekali berbeda, dengan deskripsi yang lebih suram. Dalam menyingkapi keindahan alam, ternyata orang-orang dengan latar belakang berbeda akan menanggapi dengan berbeda pula.

Berikut ini cara Marina mengungkapkan bagaimana satu bagian keindahan alam di wilayah itu:
"Di balik segala keindahan yang sempurna secara komposisi itu, sesuatu yang lain tak hentinya memanggil-manggil. Mungkin semacam keindahan yang ilusif.Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk menjaganya. Tidak bisa kaubotolkan ia dan kau bawa pulang. Tak bisa kau foto dan pajang begitu saja di kamarmu. Kau harus pergi ke sana, mendaki gunung-gunung itu, menyelami laut-laut itu, mengarungi sungai-sungai itu, hanya untuk menjumpainya sekali saja." Pendapat ini mengisyaratkan ada sesuatu dibalik keindahan itu, yang lebih agung, yang berhubungan dengan penciptaan. Itulah yang membuat seseorang layak menempuh perjalanan demikian jauh demi mendapatkannya. Namun, seorang lain yang bersamananya, seorang atheis dari Jepang menganggap bahwa semua keindahan itu tidak lain dari hanyalah "komposisi".

Selama beberapa hari menginap di rumah perahu di tepi danau, ternyata suasana indah seperti surga di bumi tersebut, jadi terlihat biasa-biasa saja."Inilah tempat terindah di muka bumi, dimana orang-orang di dalamnya berjalan-jalan tanpa merasa bahagia. Seolah tempat-tempat terindah dibumi pun memang tidak akan dapat menyembuhkan pergulatan batin yang terjadi di dalam. Kalau surga di bumi saja tidak bisa membuat orang-orang senang, apalagi yang bisa?"

Maka Marina melanjutkan perjalanannya, mencari surga di bumi, di tempat lain, dengan pemaknaan yang lebih spiritual. Karena ternyata untuk melihat surga di bumi, "kau harus terlebih dahulu membenarkan cara melihat, kau harus mengosongkan terlebih dahulu isi kepalamu". Mungkin orang-orang yang sering dihujat dengan ucapan :"Tak ada kutengok otakmu!", sudah bisa menemukan surga di bumi.
Perjalanan yang dirangkai dengan konflik batin, seperti kenapa ada orang-orang tidak bahagia, kenapa pula ada orang yang kelihatan begitu bahagia, begitu tenang dan seolah-olah waktu yang ada hanyalah sekarang. Serta bagaimana caranya untuk mendapatkan perasaan seperti orang-orang tersebut dengan tradisi spiritual timur. Hal yang cukup mainstream bagi para backpacker barat yang mengalami krisis karena modernisme.

Dalam proses itu, bisa dikutip perkataan seorang biksu di Laddakh kepada Marina:"Semua ajaran besar selalu bermula dari jatuh cinta yang sama. Kau harus jatuh cinta dulu pada sesama, pada kehidupan, pada apapun, untuk bisa menguak rahasia besar kehidupan. Karena jatuh cinta menarikmu keluar dari dirimu sendiri. Kebenaran ada bukan dalam dirimu atau siapapun, tetapi dalam ruang di antara kita semua. Dalam kasih sayang antar kita semua."Atau ungkapan seperti:"Untuk mengenal kebenaran, kau harus mengenal dirimu sendiri." Yang mirip seperti pernyataan terkenal dari Rumi, yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya. Kebenaran yang hakiki bisa disamakan dengan Ketuhanan. Sejalan juga dengan perkataan yang dinisbatkan pada Syekh SitiJenar:"Sesungguhnya surga neraka itu berada dalam jiwa kalian. Berada dalam jiwa setiap manusia yang bernafas."

Tentunya ada bermacam cara dalam bermacam agama untuk melakukan itu. Untuk mengenal lebih jauh ke dalam diri sendiri, ke dalam dimensi batin yang lebih tinggi, Marina menggunakan cara meditasi, yang dijalaninya di Rishikesh pusat yoga dunia, lalu di lanjutkannya dengan Ritrit disebuah kuil kota Wat Thailand. Hingga akhirnya dia bisa menemukan sesuatu yang bisa diterjemahkan sebagai pencerahan di sana. Bagaimana proses tersebut? Detailnya tersaji dalam buku ini.

Sebenarnya, untuk itu, belum tentu kita harus pergi ke luar negeri atau ke planet lain atau yang lebih jauh dari itu, mungkin saja apabila memahami caranya, kita bisa mendapatkan semacam kebahagiaan batin itu dengan hanya melakukan perjalanan dari gerbang kampus ganesha ke masjid Salman di Bandung. Tapi itulah, bukan hanya hasilakhir yang berharga. Serangkaian proses untuk menuju hasil tersebut, proses menemukan tersebut, yang lebih menjadikan hasil akhirnya berarti. Serta tentunya, pemaknaan yang lebih mendalam terhadap perjalanan fisik yang dilakukan, selain hanya sekedar menikmati suasana dan pemandangan.

Yang jelas, Marina menumpahkan isi pikirannya ke dalam buku ini dengan baik, dengan gaya bahasa anak muda beserta pergolakan batinnya. Berisi dialog-dialog yang terkadang perlu dicerna dengan perlahan agar bisa dipahami. Yang pada akhirnya, dalam momen kedamaian yang dirasakannya, Marina sedikit 'memaksakan diri' untuk menjembatani dimensi batin kepada dimensi rasional dengan teori fisika kuantumnya.

Perbedaan buku ini dengan buku yang sebelumnya ditulis: Keliling Eropa 6 Bulan Hanya Dengan Seribu Dollar, pada buku ini lebih terasa nuansa spiritualnya dibanding dengan nuansa jalan-jalan pada buku sebelumnya tersebut. Mungkin itu juga sebabnya di buku ini tidak ada gambar pemandangan, berbeda dengan buku sebelumnya yang penuh foto disana-sini. Karena yang spiritual itu harus dirasakan alih-alih hanya dipandang.

Lalu kenapa buku ini diberi judul jingga? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena sampulnya berwarna jingga. Bukan untuk didebatkan seperti manakah yang lebih dahulu, apakah itu telur atau ayam, apakah itu sampul atau judul. Maksudku, silahkan cari tau sendiri warna jingga tersebut dengan cara mendapatkannya di toko terdekat. Dengan kondisi fisik buku ini (ukuran, tebal, kertas dsb) harganya agak sedikit mahal, tapi untuk menjadi hiburan yang dilengkapi dengan pengetahuan sekaligus (mungkin) pengalaman spiritual? Rasanya pilihan untuk itu cukup terbatas..

Wednesday, July 28, 2010

kereta malam


Hari ini berjalan mengejar hari besok. Sore baru saja berangsur malam. Malam ini, aku kembali dalam perjalanan dari Bandung menuju Jogja. Dengan kereta malam ku pulang sendiri. Duduk dihadapanku bukan seorang ibu yang dengan wajah sendu kelabu dan penuh rasa haru akan menatapku, seakan ingin memeluk diriku. Yang lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada karena sakit dan tak terobati, yang wajahnya tidak mirip denganku, karena aku pria, sedangkan dia wanita.

Suara kereta yang mulai melaju terdengar sahdu. Gejes gejes gejes, kira-kira begitu bunyinya. Berangkatlah semua yang berada di kereta ini meninggalkan Bandung kota kenangan, atau yang lebih dikenal sebagai Bandung lautan asmara. Asmaranya siapa? Asmara kita semua.

Aku melamun sendirian, hal yang lazim dilakukan daripada melamun masal. Teringat pengalaman beberapa tahun lalu, hampir sepuluh tahun, kalau ingatanku ini masih bisa diandalkan. Ingatan antara kejadian masa lalu, kejadian dalam mimpi, serta kejadian masa depan sering terasa penuh distorsi di benakku.

Waktu itu masih kuliah menjelang tingkat dua, aku sedang berlibur, meninggalkan Bandung menuju Jogja juga. Sejak aku kuliah di Bandung, kudengar abangku juga kuliah di Jogja, sehingga aku perlu datang untuk mengecek derajat kebenaran pendengaran itu.

Aku sendirian, cukup senang berperjalanan sendirian karena sangat banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Termasuk di dalamnya hal-hal yang membangkitkan adrenalin dan merefleksikan ego. Termasuk di dalamnya, kemungkinan untuk bertemu calon mertua, yang ketika kutanyakan perihal "Jam berapa sekarang?" dia lantas mencoretku dari daftar calon menantu (1). Tapi, tentunya, pastinya, sudah barang tentu, lebih enak berperjalanan berdua bersama kekasih yang memahamiku, sehingga bisa berkomentar dan tertawa atas apa saja dengan serta merta tanpa dianggap gila.

Terlepas dari itu semua, disitulah aku, alih-alih berada di sebuah terminal aku malah berdiri di sebuah stasiun kereta. Alih-alih berada di Stasiun Hall Bandung, aku malah berdiri di Stasiun Kiara Condong. Alih-alih naik kereta eksekutif, aku malah membeli tiket kereta ekonomi eksklusif. Free seat, katanya di depan loket.

Disitulah aku, sedang berdiri bersama beberapa ratus orang yang memiliki tujuan sama, yaitu naik kereta. Yang sedang menghampar dengan bermacam gaya.

Ningnongnengnong nengnong ningnong

Pengumuman menunjukkan bahwa kereta sebentar lagi tiba. Tepat seperti yang Bang Iwan sampaikan, terlambat lebih sejam, dan itu tidaklah lama.

Saat itulah, langit terasa sangat pekat, sepekat aroma persaingan yang terbawa udara malam mengelilingi jiwa dan raga kami. Aku memutuskan mencari gerbong paling belakang, karena tingkat persaingan di gerbong tengah dari berbagai sisi sangat tidak manusiawi. Maklum, musim liburan. Ternyata banyak orang beraliran sama, yang berbondong-bondong menuju lokasi yang diprediksi persis tempat gerbong paling belakang akan berhenti.

Dari kejauhan kereta terlihat berjalan menuju kedekatan. Kecepatannya masih cukup cepat. Akhirnya satu dua tiga empat gerbong melewati titik kami berdiri. Hingga akhirnya kami sama menyadari bahwa kami berada di titik yang salah. Gerbong paling belakang akan berhenti jauh di depan kami. Maka kami berlari-lari menuju gerbong itu. Salah perhitungan yang fatal. Fatal sekali.

Untung aku telah terbiasa berlari seminggu beberapa kali saat di ospek di kampus, sehingga cukup punya stamina. Sampai kami di pintu masuk. Ternyata untuk naik, kami harus meloncat setinggi satu meter. Sebelum kereta benar-benar berhenti aku sudah menggunakan ilmu meringankan tubuh meloncat, naik ke kereta.

Perihal ilmu meringankan tubuh itu, bolehlah ditanya darimana datangnya. Ilmu ini kudapat saat kelas dua SMA, sewaktu aku menjadi suhu bagi sekitar lima orang murit pake t yang merupakan kependekan dari murat-marit, yang menamakan perguruan kami: Perguruan Bebek Terbang. Bolehlah ditambahkan musik Jreng Jreng sebelum nama itu disebutkan. Misinya menyelamatkan bebek-bebek di seluruh galaksi. Mulia memang. Bayangkan, bebek yang bisa terbang, yang bisa menolong bebek-bebek tak berdaya lainnya, yang mengenakan celana dalam di luar. Saat itulah, saat mengajar di sana, aku jadi menguasai ilmu meringankan tubuh. Memang, seringkali cara belajar yang terbaik adalah dengan mengajar.

Tapi, jangan berpikir bahwa kesulitan berhenti disitu kawan, karena ternyata pintu kereta tidak dibuka. Alhasil aku menggantung begitu rupa, menggedor-gedor minta dibukakan pintu. Orang di dalam sana menggeleng, tidak mau membuka. Celaka, ini di luar prediksi kami semua. Tanpa putus asa, kami terus menggedor, kali ini dengan mempersembahkan ekspresi wajah campuran atara marah dan frustasi. Makin banyak yang ikut menggedor, sehingga akhirnya luluhlah sang penguasa pintu. Pintu dibuka, kami menghambur masuk.

Aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu masuk. Berhasil. Aku berjalan mewati wajah-wajah lelah yang bersandar di kursi, akhirnya di ujung ada sebuah kursi kosong. Kursi kosong terakhir di gerbong ini. Aku mendapatkannya dengan riang gembira. Seraya mengungkapkan selebrasi dengan cengar-cengir tak karuan sambil salam kiri kanan.

Salah satu pesaing yag mengejar dibelakangku, cuma mendapati ruang kosong diantara deretan kursi kereta. Saat dia menatap iri padaku, aku mempersembahkan senyum simpati yang lebih-lebih kurasakan sebagai senyum mengejek. Seolah-olah berkata:

"Maaf kawan, dunia memang kejam."

Mas mas tersebut akhirnya terduduk di lantai. Yang lain mengikuti, sehingga penuhlah koridor itu.

Beberapa pemuda yang terlambat, terlihat kebingungan mencari sisa tempat. Mereka berjalan berjingkat-jingkat, akhirnya bergerak ke arah ruang yang boleh diasumsikan sebagai toilet.

"Naah, ini kosong." berkata salah satunya.

"Iya, duduk sini ajalah." berkata yang lainnya. Maka mereka yang sebayak empat orang itu, menguji nyalinya, duduk di dalam toilet.

Kereta akhirnya melaju, setelah semua persaingan yang mengharu biru itu. Udara dingin yang berdesir mengalir dari jendela yang kacanya sudah tidak ada, menerbitkan rasa ngantuk. Kulirik mas mas yang tadi, terbesit sedikit rasa antara bersalah atau iba, sehingga kuberikan kertas koran untuk dijadikannya alas duduk. Dia berterima kasih dan berbasa basi sejenak.

Dengan padatnya penumpang yag bergelimpangan, jangan pernah membayangkan akan sebuah adegan ala before sunrise dalam kereta dari Budapest menuju Vienna dimana Jesse bertemu Celline. Mereka terganggu oleh suara pertengkaran pasangan rumah tangga, sehingga pindah untuk duduk nyaman di ruang makan dan akhirnya menghabiskan malam bersama dengan berjalan-jalan, yang mengubah hidup mereka selamanya. Akupun tertidur dengan potongan adegan tersebut.

Sebagai catatan, karena kereta ini eksklusif, maka setiap stasiun yang dilewatinya akan memintanya berhenti untuk sekedar bertegur sapa. Berhentilah kereta di sebuah stasiun, aku segera terbangun oleh suara orang-orang menjajakan dagangan. Bermacam rupanya, bermacam dagangannya, bermacam warnanya, bermacam juga harganya. Aku terkesima mengamati satu persatu yang lewat. Karena melihat langsung akan ditafsir sebagai menaksir, tak jarang aku hanya melirik dengan sudut mata. Curi-curi pandang.

Mereka lewat dengan caranya masing-masing dan logat masing-masing pula.

nasi rames makan makan: logat bandung

aqua aqua ye: logat bandung

nasi ayam telor: logat batak

tahu tahunya sumedang tahu: logat sumedang

kacang rebus kacang: logat dian sastro aadc

koran mas seribu: logat tegal

selai pisang goring: logat jawa

kopi susu pop mie kopi susu: logat indramayu

yang garut oleh-oleh garut: logat garut pastinya

rokok tisu basah: logat jakarte

sol patuk: logat cimahi

salak pondoh salak pondoh: logat jawa


Suasana ini, aku menyebutnya dengan istilah kerakyatan. Beragam suku bangsanya, beragam warna kulitnya, beragam suaranya, beragam idenya, semua bergabung menjadi satu. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Karena rasanya hanya rakyat yang berada di sini, tidak ada pejabat.

Sistem perdagangan ini, aku menyebutnya dengan sistem politik dagang salak dalam karung. Adalah, penjual salak membawa sekarung penuh salak. Lalu mulai menjual dengan harga 10 ribu sekilo di awal gerbong. Beberapa orang membelinya. Lalu ditengah2 mendadak harganya turun menjadi 5 ribu sekilo, beberapa orang lain membelinya. Lalu di ujung gerbong sampailah harganya pada kisaran 5 ribu sekarung. Sungguh, sistem dagang yang amat sangat spektakuler, sensional, brilliant, two thumbs up. Salak dalam karung. Terbayang olehku, pembeli awal salak tersebut sedang meratapi takdirnya karena duduk di ujung depan. Terbesit juga pikiran bahwa sang penjual hanya berjualan sebagai wujud aktualisasi diri.

Selang beberapa waktu yang berlalu, akhirnya ada petugas yang bertugas memeriksa karcis. Menanyai satu persatu karcis penumpang. Kuberikan karcisku untuk diperiksa, selesai sekejap kemudian. Lalu pak petugas beranjak ke orang sebelahku, orang tersebut merogoh kantongnya untuk mengambil sesuatu, lalu berjabat tangan dengan petugas karcis seperti bertemu teman lama yang akrab. Setelah itu, petugas karcis langsung ikut merogoh kantong untuk menaruh sesuatu. Apakah gerangan sesuatu itu, masih menjadi pertanyaan besar bagiku. Yang jelas, semua terjadi dalam gerakan yang sangat harmonis, sinergis. Praktis aku terpana seolah menatap keteraturan alam semesta.

Waktu berlalu, kereta melaju dalam deru dan debu. Mendadak kurasakan sebentuk perasaan ingin buang air kecil. Kuberanikan diri untuk bangkit dan bergerak menuju toilet. Ada empat pemuda sedang duduk disana, bermacam gaya dan posisinya, salah satu menatapku dengan pandangan tidak wajar yang menghipnotis. Hasrat ku pun terlupakan sudah, segera duduk lagi.

Untuk apa yang disebut toilet itu, janganlah sekali-kali membayangkan sebuah tempat yang nyaman dimana orang bisa duduk membaca koran, sambil menghirup aneka wangi bunga. Cukup bayangkan sebuah kotak persegi saja, yang ada sebentuk closet yang dari lubangnya lintasan rel bisa terlihat. Untuk sebuah privasi, benda ini tidak direkomendasikan.

Tak berapa lama, seorang ibu tertular hasrat buang air. Berjalan menuju toilet, persis saat ibu itu berdiri di depan pintu, terdengar pertanyaan.

"Mo ngapain bu?"

Dari nadanya yang tak ramah, tentu saja boleh dibayangkan juga tatapan mengintervensi yang diberikan pemilik pertanyaan.

"Ini gimana sih, ko wc diduduki?"

Ibu itu pergi sambil ngomel. Dihampirinya petugas yang kebetulan lewat, dan mengadukan kekecewaannya. Petugas menjawab dengan sama kecewanya.

"Salah sendiri naek ekonomi."

Katanya seraya berlalu. Aku membeku di tempat duduk ku.

Kereta terus melaju, meski aku membeku. Lalu ditengah jalan terasa kecepatannya menurun dan sesaat kemudian berhenti. Tidak ada stasiun, berarti bisa diasumsikan bahwa kereta berhenti untuk menunggu kereta lain yang akan lewat, karena jalurnya berselisihan. Seperti junior yang akan dilewati senior, kereta menunggu dengan bersabar. Saat senior lewat, yang dalam hal ini dikategorikan sebagai kelas bisnis atau eksekutif, maka junior akan menghormat. Terdengar aba-aba.

"Hormat gerak!" Saat senior sudah lewat seluruhnya, terdengar lagi aba-aba.

"Tegak gerak!"

Yang biasanya berlaku seperti dalam sekolah kedinasan, prosesi ini dikenal sebagai PPM (peraturan penghormatan militer).

Aku masih membeku. “Salah sendiri naik kereta ekonomi” katanya, penghormatan terhadap kereta yang tiketnya lebih mahal. Mau tidak mau terasa juga perbedaan kelas sosial dalam negara yang berkeadilan sosial. Kelas sosial, rangkaian huruf dalam Madilog dan Das Capital memenuhi pikiranku, dalam untaian yang sulit dipahami seperti biasanya.

Memang, perbandingan harga tiket dengan jarak yang ditempuh untuk kereta ini patut mendapat jempol. Kita mengeluarkan uang senilai seribu rupiah untuk menempuh jarak sekitar 25 km, murah meriah. Sangat menolong bagi orang-orang yang keperluannya untuk mobilitas sangat tinggi dan penghasilan sangat rendah, sehingga tidak menguras bagian penghasilannya yang seharusnya digunakan untuk konsumsi, sehingga patut juga aku berterimakasih pada pemerintah atas layanannya ini. Sehingga mahasiwa yang sisa uang kirimannya perbulan yang jika dilewatkan ke kasir Mc D hanya akan mendapat dua potong es cream cone juga bisa ikut melancong. Tak apalah, setidaknya ada ikatan emosional yang bisa kurasakan dengan sesama penumpang. Mas mas tidak dikenal, telah tertidur di lantai beralaskan koran. Dari posisiku, posisinya malah terlihat lebih nyaman. Akupun tertidur lagi.

Akirnya kereta tiba di Jogja, aku menggeliat bangun. Tak sabar melihat abang yang sejak aku lahir telah setia menjadi seorang abang. Akupun bergegas menuju pintu keluar. Aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu keluar. Berhasil. Aku berjalan melewati beberapa lajur rel. Celingak-celinguk mengamati sekitar, mampir ke warung yang ada di pojokan untuk membeli pengganjal perut. Kurogoh saku belakang dan demi daun yang jatuh dari pohon ke muka bumi yang sudah tercatat di lauhl mahfudz, dompetku telah sukses mempelajari ilmu menghilangkan diri. KTP, SIM, KTM, ATM serta uang yang tak seberapa banyaknya juga turut serta.

Rentetan kejadian mulai dari naik kereta sampai turun barusan dengan cepat menghambur, tak kutemukan adegan di mana ia menghilang. Kuputar ulang lagi dengan fast forward pada beberapa adegan, tetap misterius. Lalu kutemukan slow motion pada adegan aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu.

Kuhampiri aparat yang sedang bertugas. Akan kulaporkan perihal jurus menghilang dompetku. Aku tau, peluangnya untuk ditemukan satu banding sejuta, peluang untuk aparat membantu mencari sebelas dua belas saja dengan yang tersebut sebelumnya. Tapi, aparat itu akan membantuku melewati hari, karena kuceritakan bebanku padanya. Karena mungkin dia akan mendengarkan, bahkan lebih dari itu, dia mungkin akan mencatat dengan penuh perhatian.

Aku terjaga dari lamunan. Masih di kereta. Tak ada orang-orang yang berserakan di koridor kereta ini. Suasana kerakyatan yang tadi kukenang cukup kurindukan. Tapi, kali ini, aku membeli tiket eksekutif.. 

Ket:
(1) Sebuah cerita komedi yang beredar luas, sehingga tak diketahui siapa penulisnya..
Seorang pemuda sedang dalam perjalanan dengan kereta api ke Jakarta. Persis di depannya duduk seorang bapak setengah baya. Setelah lama berdiam diri, sang pemuda bertanya, “Jam berapa sekarang, Pak?” 

Namun si bapak itu ternyata diam saja. Mengira sang bapak agak tuli, ia mengulangnya sampai 3 kali, namun tetap saja si bapak itu diam. Merasa kesal, pemuda mencolek bapak itu dan berkata “Saya heran kenapa bapak tidak menjawab pertanyaan saya? Apa sih susahnya?”

Si bapak membalas, “Bukannya saya gak mau jawab, tapi nanti kalau saya jawab, kita pasti ngomong-ngomong lagi soal ini soal itu, soal apa saja, ngalor-ngidul, terus nanti kita jadi akrab.”

“Lalu apa salahnya kalau kita akrab?”

“Nanti anak gadis dan istri saya akan menjemput di stasiun Gambir. Kalau kita sudah akrab, nanti kita akan turun sama-sama, terus saya pasti akan memperkenalkan mereka sama kamu.”

“Lalu?”

“Istri saya tuh orangnya baik sama semua orang. Nanti dia pasti nawarin kamu mampir ke rumah. Nanti kamu mandi di rumah saya, terus makan di rumah saya, trus nanti kamu lama-lama bisa akrab dengan anak gadis saya, dan kamu bisa jadi pacarnya, dan lama-lama kamu bisa jadi menantu saya.”

Sang pemuda yang dari tadi sudah bingung sekarang makin bingung. Lantas dia tanya, “Terus hubungannya apa sama pertanyaan saya soal jam tadi?” 

Sambil berdiri dan lantang bapak tersebut menjawab, “Masalahnya.. SAYA TIDAK MAU PUNYA MENANTU SEPERTI KAMU, JAM TANGAN AJA NGGAK PUNYA, GIMANA MAU MEMBAHAGIAKAN ANAK SAYA!!”

Saturday, July 24, 2010

maaf

Jika sebuah kata saja yang bisa kuucapkan kepadamu, maka kata itu adalah maaf. Sebuah kata saja, karena sedikit kata tak kuharap akan menyakiti. Tetapi jika engkau membutuhkan yang lebih dari itu, akan kucoba menjelaskan dengan hati-hati. Agar tetap tidak menyakiti.

Aku lelaki dan engkau wanita, jelas itu berbeda. Dengan perbedaan itu, orang-orang menyatu menjadi keluarga dengan berbagai proses yang dilaluinya.

Bagiku, proses itu berarti, aku menyadari ada yang berbeda dengan perasaanku terhadapmu sejak pertama kali bertemu, lalu aku akan memutuskan untuk mulai mengenalmu dan itu tidak berlaku  untuk sebaliknya, masih bagiku.

Bagiku, waktu pertemuan kita tidaklah ideal. Itu untuk mengartikan bahwa pada saat bertemu denganmu, aku sedang sangat mencintai wanita lain, yang kuharapkan menjadi ibu dari anak-anakku. Sehingga tidaklah mungkin menaruh sedikit perasaan terhadapmu diatas perasaan lain yang memenuhi hatiku.

Bagiku, mengejar cintaku adalah sebuah keniscayaan. Yang berarti dikejar-kejar perasaan cinta adalah kemustahilan. Tak perlulah mengirimkan kata-kata apapun atau melakukan tindakan apapun karena tak ada ruang untuk itu dalam diriku. Tindakanmu hanya mengingatkanku akan cintaku yang telah pergi dan masih ingin kukejar. Tak enak rasanya mengingat itu semua. Terlebih aku khawatir hanya akan menyalahkanmu atas kehilanganku.

Bagiku, meski masih sendirian melewati malam, dalam umur yang menua, dalam julukan yang membujang lapuk, tak akan bisa diartikan bahwa aku mengambil kesempatan yang mudah dibandingkan dengan berjuang dengan hal-hal yang sulit dan kemungkinan yang lebih melimpah. Yang berujung pada diriku menikmati malam, masih sendirian, dalam waktu yang lebih lama, yang melentur menjadi tak hingga.

Bagiku, engkau harus menemukan orang lain, yang akan mencintaimu dengan sepenuh hati. Karena penting bagi wanita untuk dicintai, dan penting bagi laki-laki untuk mencintai. Tak perlulah menyia-nyiakan waktumu yang berharga itu. Sebagaimana aku tak ingin menyiakan waktuku.

Bagimu, apalah artinya diriku ini. Diriku yang tak rupawan dalam wajah, yang seringkali terseok dalam langkah, yang seringkali gundah dalam arah, yang sering terlanggar dalam sumpah, yang akan sering kau dapati matanya memerah saat mengingat ayah.

Pada akhirnya, apa maumu, apa mauku, tidak memungkinkan untuk bertemu. Sehingga yang kuucapkan seharusnya adalah sebuah saja kata maaf, agar tidak akan menyakiti. Maaf.

Monday, July 05, 2010

Padang Bulan (Resensi)

Judul : Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, Juni 2010 

Ini adalah buku kelima dari Andrea Hirata sang penulis novel best seller tetralogi laskar pelangi. Padang bulan menjadi sebuah dwilogi bersama dengan Cinta di Dalam Gelas. Dua buku bisa didapatkan dalam satu paket, sebuah buku bersampul orange di depan dan marun di belakang.

Padang bulan dan Cinta di Dalam Gelas masih menceritakan kehidupan di sekeliling ikal, kehidupan orang melayu yang tinggal di pulau Belitong. Selain menceritakan kisah si Ikal, andrea juga menceritakan kisah seorang anak perempuan bernama Maryamah, yang biasa dipanggil Enong, yang menjadi pembuka buku ini dengan kehidupan yang dihinggapi tragedi tapi selalu bangkit dan berdiri.

Pengaruh besar perasaan cinta dalam kehidupan manusia menjadi bagian penting dari buku ini. seperti dalam kutipan berikut.
"Tak dapat dipungkiri, hal paling sinting yang mungkin dilakukan umat manusia di muka bumi ini sebagian besar berasal-muasal dari cinta." Atau dalam bagian lain dikatakan “Cinta, yang jika seluruh gunung di dunia ini digabungkan, masih akan lebih kecil darinya.”

Ikal harus berhadapan dengan kenyataan, ketika perasaan cinta pertamanya menuai pertentangan antara mencintai ayahnya dan mencintai A Ling yang tak direstui ayahnya. Ikal berniat membawa A Ling pergi ke Jakarta. Suka dan duka sebagai paradoks yang diakibatkan oleh perasaan cinta digambarkan dengan kutipan ini.
"Bagi yang tengah jatuh cinta. Waktu mengisi relung dada mereka dengan kegembiraan, sekaligus kecemasan. Karena teristimewa untuk cinta, waktu menjadi jerat. Semakin cinta melekat, semakin kuat waktu menjerat. Jika cinta yang lama itu menukik, jerat itu mencekik."

Cerita berlanjut hingga sampai pada kenyataan dimana Ikal mendapat saingan yang akan merebut cintanya dari dirinya. Perasaan cemburu itu tergambar dengan begitu mempesona.
"Akupun sesungguhnya ingin bertemu dengan Zinar. Sesungguhnya aku ingin tahu, bagaimana muka orang yang telah membuat A Ling mabuk kepayang, yang telah pula membuatku sengsara. Sore itu aku naik sepeda ke manggar. Kukayuh sepedaku dengan marah dan tergesa-gesa. Nafas meburu, hati membiru, tangan menggenggam tinju, kepala penuh pikiran jahat. Trifolia cemburu pada bunga desember, capung cemburu pada kumbang, danau ingin ditinggalkan sendiri, awan bercerai-berai, langit curiga pada angin dan angin membenci gunung. Alam penuh angkara murka."

Dimana si perebut kebahagiaannya dibayangkannya dalam sebentuk deskripsi yang amat sangat super kejam sekali.
"Bayangan manusia lain menyerbu. Giginya tonggos, wajahnya bulat, hidungnya meleleh karena suntikan silikon yang gagal dan ia dulu adalah seorang perempuan."

Rasa kehilangan terhadap orang yang dicintai yang diungkapkannya juga terasa mengiris hati, terutama bagi yang pernah mengalami.
"Namun, ternyata, jika seseorang hanya memikirkan seseorang, bertahun-tahum dan dari waktu kewaktu mengisi hatinya sendiri dengan cinta hanya untuk orang itu saja, maka saat orang itu pergi, kehilangan menjelma menjadi sakit yang tak tertanggungkan, menggeletar sepanjang waktu."

Dilanjutkan dengan teori empirisnya terhadap kebenaran-kebenaran di alam semesta.
"Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya. Kurasa itulah postulat pertama hukum keseimbangan alam. Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik ke puncak bukit, lalu meniup sangkakala, dunia kiamat."

Andrea juga sangat piawai dalam menggambarkan kehidupan disekitar Ikal yang berisi tragedi dengan cara komedi, yang banyak ditemui disepanjang cerita. Salah satunya adalah tentang teman semasa kecilnya yan disebut sebagai Detektif M Nur.
"Nasibku dan Detektif M Nur mirip. Kami adalah pengangguran, lebih dari itu kami adalah bagian dari golongan pria-pria yang paling menyedihkan di dunia ini, yaitu pria yang tak jelas masa depannya, mulai memasuki satu tahap yang disebut sebagai bujang lapuk, dan masih tinggal dengan ibu."

Namun dalam pada itu, penulis tetap mengisi narasinya dengan semangat untuk berjuang, dengan mimpi dan harapan bahwa potensi kemanusiaan bisa terus berkembang.
"Orang-orang telah melupakan bahwa belajar tidak melulu untuk mengejar dan membuktikan sesuatu, namun belajar itu sendiri adalah perayaan dan penghargaan terhadap diri sendiri." atau “Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar.”

Demikian buku Padang Bulan berkisah. Lalu dilanjutkan dengan buku keduanya: Cinta di Dalam Gelas, tetap dengan gaya bahasa satire yang sama indahnya. Mengisahkan keadaan sosial dan kultural di daerahnya, yang menaruh harga diri dalam pertandingan catur, yang mengadukan kegetiran hidup di dalam sebuah warung kopi, yang kesemuanya terangkum dalam segelas kopi, yang adalah penjelmaan dari sebuah cinta di dalam gelas.

Seperti biasanya, cerita ini dilengkapi dengan pelajaran moral nomer sekian serta penyakit gila nomer sekian sekian yang tak pernah ditempatkan dengan urutan, seolah-olah dia hanya menyebutkan angka apa saja yang sedang terlintas di kepala.
“Pelajaran moral no dua puluh dua: kemiskinan susah diberantas karena pelakunya senang menjadi miskin.”

Hingga akhirnya penyakit gila itu hinggap di kepala narator, ketika dia bercerita tentang Yamuna blender kesayangannya.
“Jika warung kopi sedang sepi, aku bercakap-cakap dengan blender itu. Aku berkisah tentang kawan-kawan masa kecilku. Blender itu bercerita tentang musim yang tak menentu dan keluhannya tentang dapur tempat tinggalnya yang berantakan.”

Sangat indah sekali bagaimana andrea menceritakan tragedi, harapan dan perasaan cinta berdasarkan pengamatan dan perasaan yang mendalam, dengan gaya bahasa yang masih sama seperti buku-buku sebelumnya. 

Monday, June 07, 2010

children's delusion (bab sikok)


BIODATA PENGARANG

1.      Wahyu
Ciri      :
Gagah, caem, mirip ngandi low dan ngaron kwok, agak sedikit pendek dibanding teman-temannya.
Profesi            :
Ilmuan terkenal dari SD 150, kemudian masuk SMP 16, kemudian ke Titian Teras (TT) dan akhirnya lulus dengan nilai terbaik di Oxford University. Saat ini menjadi guru besar perguruan kungfu.
TULISAN BERWARNA HITAM
2.      Firman
CIri      : 
Cakep, gemuk kayak derom, mirip Jet Lee tapi Jet Lee yang tidak sipit. JUga mirip aktor terkenal Kua Lee, tapi sayang ternyata saya ini agak sedikit gila.
Profesi            :
Dirut PT. Thamak, berasal dari SD Adiyaksa, dan masuk ke SMP 16, setelah itu masuk kebun binatang  dan akhirnya masuk Rumah Sakit Jiwa Level IV. Kemudian saya keluar dari RSJ karena dianggap sebagai orang gila teladan.
TULISAN BERWARNA BIRU
3.      Andi Mangatas
Ciri      : 
Gagah, tampan mirip Bruce Lee dan Brandon Lee, tinggi atletis rambut hitam tapi cribow dikits. He..he… (Tulisan berwarna hijau)
Profesi            :
Sebagai mahasiswa Universitas Oxford, lulus dengan predikat yang memuaskan. Menyandang gelar lebih dari gelar yang ada di Eropa dan di Asia.
TULISAN BERWARNA HIJAU



BAB SIKOK 



Pada suatu hari, yaitu hari N bulan M minggu Y tahun Z dan abad x2 . Nampak seorang pelajar yang gagah sedang berjalan untuk pergi ke SMP 16. Tau kan SMP 16? SMP yang kuno, di pedalaman, dan terisi oleh berbagai macam makhluk aneh seperti: Firman, Andi, Syamsir, Hariyanto, dan Nopi. SMP itu dikepalai oleh kepala sekolah dan di wakil kepalai oleh wakil kepala sekolah, begitulah kiranya. Guru-guru di SMP itu sudah senior semua, ada yang senior dalam hal makan, minum,mandi, cuti tangan, cuci muka, cuci mata, ngepel dan juga ngelap sepatu. Mereka memang sudah pada mandiri (mandi sendiri), begitulah kiranya.

Pemuda gagah yang sedang berjalan tadi tiba-tiba mendapat firasat yang aneh.  Dan dari kejauhan terdengar suara motor yang mirip pesawat tempur.

DROONG DROONG BROOM BROOM CKIIIIT!! BRUAK BRUAK BRUAK BLETUK KLENTUNG!!!!

Tiba-tiba motor itu terpeleset akibat kulit pisang usil yang sedang jalan-jalan cari udara segar. Dan akhirnya motor itu nyungsep ke pagar rumah orang batax. Pemuda tadi segera bersembunyi di balik semak-semak dengan hati berdebar-debar ria. Pengendara motor yang terpeleset itu ternyata adalah Om Jhony (salah seorang staf pengajar di SMP) yang kemudian membetulkan motor yang berbentuk seperti Harley Davidson dari jaman nabi Adam itu. Setelah mengambil motor yang nyangkut dipagar itu, guru yang perkasa dan penuh wibawa bak kolonel jendral mahsyur itu langsung mengendarai motornya lagi menuju SMP.

BROOM BROOM BREEENG DOR DOR DOR BROOOOM!!! (music by. Firman)

Pemuda tadi yang ternyata bernama Wahyu langsung keluar dari persembunyiannya dan langsung berlari-lari kecil, berlari-lari sedang, dan kadang berlari-lari besar menuju SMP 16. Sesampainya di SMP 16 dia bertemu dengan salah satu makhluk aneh dan unik di SMP itu, yaitu Firman. Firman sedang member makan chachink nya yang bernama Alex, Alexander dan Alex Murphy.

Wahyu lalu melempar senyum dan mengenai kepala Firman. Firman marah dan membalas melempar senyum. Akhirnya mereka saling lempar-melempar senyum. Dan Firman terkena banyak senyum, mukanya benjol-benjol dan akhirnya dia duduk sambil menangis tersedu.-sedu ditemani ketiga cacingnya yang juga ikut bersedih. Wahyu yang tidak terkena satu lemparan pun dengan cueknya berjalan menuju kelasnya.

Tapi kembali dia bertemu makhluk mengerikan lainnya yang berambut cribow yaitu Samsir.  Kembali Wahyu melempar senyum, tetapi malah terkena Mr. Punk yang “killer”nya sangat terkenal sadis itu. Akibatnya:
POKA BOKA MOKA TOKA COCA COLA FANTA SPRITE FANTA SEVEN UP LIMUN SAPARILLA BUAG BUAG AGH!!!

Wahyu di hajar habis-habisan sampai babak belur, babak penyisihan, babak semi final hingga akhirnya ke babak final. Setelah itu Mr. Punk pergi ke kantor tanpa perasaan “berdosa”. Lima detik kemudian Wahyu yang cedera berat, kira-kira beratnya 3 ton akhirnya masuk ke kelas.

Ternyata lonceng telah berdenting NING NONG NING NONG. Wahyu pun menghentikan atraksi babak belurnya. Kemudian masuk ke kelasnya. Kelasnya sudah riuh rendah dengan suara aneh makhluk-makhluk yang lumayan aneh juga. Wahyu tetap berjalan dengan gaya cuek bebeknya. Lho? Mukanya ko berubah jadi kaya bebek? Setelah tidak cuex bebek lagi maa mukanya yang semula kaya bebek itu berubah gagah seperti semula. Dia pun duduk di bangkunya, kemudian membuka tasnya. Kelihatannya tas itu lumayan penuh juga. Di dalamnya ada buku-buku pelajaran seperti fisika, matika, kimia dan bahasa inggris. Disitu juga ada buku cerita seperti Kobo Chan, Nana Chan, Chan-Chan, Mari Chan dan buku lainnya. Didalamnya juga ada barang-barang seperti meja, kursi, papan tulis, kamar mandi, telepon, kulkas, dan juga barang pecah belah seperti piring pecah, gelas pecah, mangkuk pecah, senduk pepacah, kapal pecah dan juga barang perabotan rumah tangga lain yang juga pecah. 



Sementara Firman telah duduk di kelasnya. Perlajaran pertama dengan guru besar Mr. Punk. Yaitu bahasa batax yang baik dan benar. Dalam pelajaran itu diajarkan contoh-contoh bahasa batak seperti bodat kan, horas bah, dll. Sementara itu di sudut lainnya, tepat di bangku paling belakang tampak syamsir sedang makan sesuatu yang dibungkus daun pisang. Melihat itu Pak Mr. Punk menjadi kuesal banget. Ia lalu mengambil bungkus daun pisang itu. Dan ia jadi terkejut ketika melihat isi dari bungkusan tersebut. Karena isinya adalah: tahi kuping, kotoran kambing, cacing, ulat kerjbang, sapi, kambing, banteng, burung unta dan beberapa potong besi bekas. Akhirnya tibalah waktu untuk pulang.

NING NONG

Ketika pulang, Nopi yang jenius mengajax Firman dan Wahyu ke rumahnya yang lumayan jelek karena rumah itu terbuat dari bahan-bahan kumuh, contoh: batu bata yang kumuh, besi yang kumuh, papan yang kumuh, seng yang kumuh, bahkan Nopi sendiri sebenarnya adalah orang yang kumuh. Di dalam rumahnya terdapat juga benda-benda yang kumuh, contoh: kursi yang kumuh, meja yang kumuh, dll. Nopi lalu mengambil sesuatu dari kamarnya yang kumuh.

Ternyata itu adalah computer buatannya sendiri, meski dibantu oleh adiknya, kakaknya, neneknya, kucingnya, ayamnya, kambingnya dan sapinya. Komputer kumuh itu dibuat dari radio kumuh dan tv kumuh yang di beli dari pasar rombeng. Sehingga ketika di program bunyinya mirip-mirip kentu


BUTT BRUEK BRUEK FSSSSSTT.
Tiba-tiba…
DUAAAR!!!

Komputer itu akhirnya meledak. Rumah kumuh itu seketika hancur berantakan dan Nopi, Wahyu, serta Firman terpelanting hingga nyemplung ke sungai AUO. Wajah mereka rata-rata bonyok semua. Mereka lalu hanyut ke sungai Bagan Petai.

Ketika mereka hanyut ke bagan petai, nopi yang hanyut duluan disebabkan oleh berat badannya yang ringan segera tenggelam. Wahyu dan Firman berusaha menarik. Tetapi mereka malah tertarik dan akhirnya kepala mereka terbentur air hingga pingsan.

Ketika bangun dari pingsan, mereka telah berada di hutan amazon. Disitu mereka bertemu suku primitive yang dikepalai oleh Andriokosoajinomotodoremifasolasido. Andri berkata: “kill them!!” maka anak-anak malang itu di sate dan jadi santapan suku cannibal di tengah hutan amazon. Tiba-tiba….
“Hah!”
Wahyu terbangun dari mimpinya. Terbayang di benaknya bayang-bayang. Dia ingat bagaimana nasibnya, dan teman-teman dijadikan sate dan dikasih kecap manis yang di impor langsung dari Indonesia. Sedang Nopi dijadikan sop tulang. Iiiih ngeri…
Tiba-tiba sebuah tangan yang tak bisa dibilang halus menjewer kuping Wahyu. Oooh rupanya dia tertidur pada pelajaran IPS dengan ibu Rosma.
“Hooy, udah preman loe tidur pada jam gue?!!” PLAK PLAK PLAK!!!


Setelah menapar ibu itu berkata:
“Wahyu, kamu gagah sekali. Tapi kok ada panu di gigi dan di pipimu? Jarang mandi ya? Lalu kurap di keningmu kenapa menumpuk? Kurang ajar! Ternyata kamu itu makhluk jelek bin buruk! Terima ini! CIAAAT”


BET BET DUAG PLAK TAK DUK BRUENG TENG TENG CTAR CTAR BLAAR

“Ish, dak meraso.” Umpat Wahyu. Bajunya sudah compang camping, entah apa yang terjadi. Mukanya juga sudah penuh dengan bekas cakar-cakaran. NING NONG
Syukurlah akhirnya jam pelajaran berganti keluar main eh berganti pelajaran biology. Dengan Miss Madonna, bintang film terkenal.

Dalam pelajaran biologi dibahas tentang pengeluaran hewan-hewan. Ibu guru bertanya pada Firman.
“Firman! Sebutkan bagian-bagian hewan avertebrata?”
Firman menjawab:
“H-E-W-A-N spasi A-V-E-R-T-E-B-R-A-T-A  buu”
“Bagus Firman, Kamu anak berbakat. Sekarang. Apa nama ibu kota Syria?”
“Dak tau bu.” Jawab Firman cuek.
“hebaat, lagi-lagi kamu anak yang b erbakat. Kalau begini terus kamu sebentar lagi bisa masuk RSJ dengan sukses. Selamat ya atas keberhasilanmu.” Ucap bu guru, kemudian mulai menghajar Firman.
BOKA BOKA BOKA BOKA  BOKA lagi BOKA dan akhirnya BOKA.


Selanjutnya apa yang terjadi pada Firman? JIka ada mengetahui jawabannya kirimkan jawaban anda ke alamat 666636 JKT PO BOX 6601 magazine.
Setelah menghajar Firman, ibu guru lalu bertanya pada Andi.
“Andi, sebutkan contoh-contoh hewan avertebrata!
Andi menjawab:
“Coklat, vanilla, susu, strawberry dll”
“Bagus, jawab bu guru seraya mendekati Andi. Dia lalu mengangkat tangannya yang mirip gada bima itu dan 20 cm lagi tangan itu ajab menggebuks kepala Andi… tiba-tiiba ada seorang murid mengatakan bahwa Andi di panggil kepsek. Mendengar itu, ibu guru menghentikan aksinya.
Dalam hati Andi berkata “Wah, lega deh rasanya tidak jadi di hajar.”
Dia lalu melenggang ke kantor. Ketika ia masuk, ia jadi terkejut ketika melihat orang di dalam kantor itu. Ternyata di sana telah menunggu algojo-algojo SMP 16 yaitu Mr.Punk, Om Jhony, dll. Dengan wajah tanpa berdosa Andi masuk ke kantor, tiba-tiba…

BUAK POKA BOKA CTAR DUNG BLAR BOKA BOKA TONG DOENG BYAR CIAAY BRAAK

Andi langsung dijadikan bola oleh para algojo tsb. Ia di uncal dan ditinju kesana kemari kesitu kedepan kesamping kebelakang dan akhirnya diuncal keluar dan jatuh di hadapan seseorang. Tanpa mengetahui kesalahannya Andi yang sudah tak berbentuk lagi tsb mencoba bangkit. Begitu ia melihat orang yang ada di hadapannya ia menjadi terkejut lagi karena orang tersebut adalah Mrs. Madonna yang masih dendam padanya. Akhirnya

BUAG BUAG BUAG DUK TAK BLAR BOKA BOKA BOKA POKA MOCA COCA COLA

Andi kembali di hajar. Akibatnya tubuh Andi sekarang lebih mirip nangko busux. Begitulah nasib Andi yang sesuai dengan pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga terpeleset ke sungai batang hari di tabrak kapal beli bawang, beli mie dan makan lontong”( dak nyambung)

Lima menit lima detik kemudian lonceng balix akhirnya berbunyi. Anak-anak kelas dua a mengambil langkah seribu untuk segera pulang, tetapi karena mereka sudah loyo karena belum makan, akhirnya mereka hanya mampu ambil langkah 13. Dari sekian banyaknya makhluk-makluk jelek SMP 16 yang terdiri dari berbagai macam versi, contoh: versi cribow, versi gemux, versi kurus, versi chachink, versi ndut, versi cipit dll.

Terdapatlah lima ekor makhluk mengerikan. Ciri-cirinya ada yang gemuk, ada yang kurus seperti tiang listrik, ada yang cribow seperti bonsai, ada yang keriting seperti indomie, ada yang seperti gorilla dan ada pula yang seperti gelandangan. Mereka adalah Firman, nopi yang mengendarai sepeda bobroknya tetapi sebenatnya tidak bisa dikatakan seperda karena bannya sudah meirip angka delapan.Besi-besi sepeda tersebut sudah karatan, stangnya juga sudah kribow, bahkan rantainya sudah banyak sambungannya. Kemudian gigi tulang sepernta juga sudah kuning-kuning, sehingga sepedanya sering sakit gigi. Sementara makhluk-makhluk mengerikan lainnya adalah: syamsir, Ade G, dan Wahyu. Mereka berlima asyik ngerumpi tentang cara membuat baju rumpi yang baik dan benar. Selain itu mereka juga asyik mengobrol hal-hal yang bisa diobrolkan seperti: tentang kambing Wahyu yang mati, tentang rambut Samsir yang terbakar dll. Tiba-tiba…

DUAR DUAR

Ternyata ban sepeda nopi pecah. Akhirbanya sepeda itu melanting dan nopi pun melayang entah kemana. Melayang-layan seperti layang-layang di tanah lapang.

Sementara itu Firman, Wahyu, Ade, dan Samsir terkejut mendengar suara tersebut. Firman terkejut setengah mati, Ade terkejut seperempat hidup dan Samsir terkejut seperdelapan mati. Seketika itu juga jantung ketiga makhluk itu langsung copot. Sementara itu Wahyu yang pekak dan tuli serta budge alias congek hanya terkentut-kentut karena kebanyakan makan angin. Ia menjadi terkejut karena menyaksikan jantung ketiga temannya coppot. Tapi untunglah ia seorang ahli bongkar pasang, sehingga dalam waktu 10 jam ia berhasil memasang kembali jantung ketiga temannya.

Namun malang bagi Samsir, karena yang dipasang Wahyu bukan jantung aslinya tetapi malah jantung pisang. Itulah sebabnya sampai sekarang Samsir rada-rada gila. Jadi bila anda bertemu dengan Samsir, maka berhati-hatilah. Karena makhluk ini sangat mengerikan.

Sekarang mari kita kembali ke cerita. Setelah sadar, Ade, Firman, Samsir dan Wahyu pulang ke rumah masing-masing. Dengan selamat, meskipun ketika pulang Ade digigit anjing, wajtu menumbur mobil, Samsir dikeroyok budak astek dan Firman dilindas mesin giling.
Lalu bagaimana dengan nasib nopi?

Ternyata ia masih melayang dan sekarang berada di atas rumah Andri. Ternyata Andri melihat nopi melayang, maka ia lalu berteriak. “AUOOOOOOOOOOOO” seketika itu juga anak-anak ingusan yang ada di situ segera berbaris dengan rapi di depan Andri. Andri lalu berkata:
“Hai pasukanku, coba kalian kejar layangan itu.” Maka pasukan Andri pun langsung mengejar nopi yang mereka sangka layangan itu. 

Mendadak layangan eh nopi itu melayang jauh ke angkasa dan nyangkut di tiang listrik.

BZZZT BZZZZT BZZZZT

Itu suara nopi tersentrum hingga rambutnya jadi kaya durian busuk. Ketika angin bertiup sepoy sepoy layangan itu langsung terbang dan nyangkut di batang pule, kemudian diterbangkan lagi ke atap rumah orang, KELONTENG KELONTENG kemudian nyangkut di parabola. Orang di dalam rumah yang punya parabola itu sedang menonton tv, tiba-tiba…

“Oooooh tuooolooooooong”
Satu keluarga berteriak histeris dan dengan kompak berlari ke kamar mandi sambil terkencing-kencing. Ternyata siaran yang ditontonnya berubah menjadi wajah nopi akibat nopi tersangkut di parabola.
“Iiiih, amit-amit deh, itu tadi apa sih, hantu, gendoruwo, vampire atau apa yah? Kok jeleknya ga ketolongan. Fosil idup kali ya?”

Sungguh malang nasib nopi, sampai di kira fosil. Akhirnya nopi melayang lagi dan akhirnya jatuh menimpa rumahnya sendiri.

Sementara itu Wahyu sedang duduk-duduk di rumahnya sambil ngemil beberapa pasir dan kerikil dari tetangga sebelah sambil menonton tv. Acara di tv ternyata ga ada yang bagus. Setelah pencet-pencet remote ternyata tetap ga ada yang bagus. Acaranya malah ada acara memasak kerikil ala india, spektrum, bulletin siang dan ada juga film si komo. Tiba-tiba…
DUAARR!!
Televisi itu terkena lemparan remote. Dan Wahyu berlalu tanpa perasaan berdosa.

Sementara itu, suasana di rumah Firman biasa-biasa saja. Firman sedang berdendang-dendang ria sambil menyanyikan lagu-lagu yang ngelantur. Suaranya yang luar biasa dahsyat sempat memecahkan piring-piring tetangga, tv tetangga, gelas tetangga, dan cicak cicak di dinding tetangga pun sudah pingsan sejak tadi. Cacaing-cacing piaraan Firman sudah kehilangan selera makannya akibat mendengar suara itu. Sementara itu, rumah Firman sendiri sudah hancur sedari kemarin. Rumput-rumput pun menjadi layu, karena hawa mulut Firman yang lebih dahsyat daripada bau kaos kaki Andi.



Keadaan di rumah syamsir tenang-tenang saja.
Meskipun Samsir sedang bertengkar dengan ayuxnya, hingga piring-piring di rumah itu hancur berantakan dan adik Samsir sedang mengadakan keliling rumah dengan motor GL PROvitamin B5 dan diperkaya dengan zat besi dan protein yang baru dibeli oleh buapaknya tetangga.

Sedangkan kedaan di rumah Nopi sangat memprihatinkan karena rumah itu sudah hancur berantakan dan penghuninya sudah lenyap entah kemana. Menurut cerita tetangga lima detik yang lalu di rumah itu telah terjadi perang antar Serbia melawan hongkong.

to be continued..

for complete stories, you can download at this link:
children's delusion complete