Hari itu, 15 oktober 2006, beberapa anak muda menjejakkan kaki di negeri aceh. Dibawa oleh Pak Le seorang bos besar tetapi keci. ”Penjualan manusia”. Tujuh anak muda, antara lain: Yows, Roni, Obhe, Fikar, Dany, Ardha dan Zikri, yang berhasil dikecoh dengan iming-iming pekerjaan yang beliau selalu bilang ”kesempatan” yang menjanjikan bagi fresh graduate. Gaji sekian sebulan, uang makan sekian, transportasi, berikut pulsa sekian.
Maka jadilah, meski masih shock karena baru saja tiba di bagian paling ujung indonesia barat, sekian manusia itu langsung disebar ke berbagai daerah lokasi pekerjaan: Pidie, Meulaboh dan Tapak Tuan. Tersebutlah tiga orang yang mendapat kesempatan emas di daerah Pidie, dengan ibukotanya Siglie.
Profil Tim Pidie:
Yows: Tampan, berperilaku santun, berbudi pekerti luhur, berjiwa ksatria, gemar menabung dan cinta keindahan.
Zikri: Hampir tidak tampan, berperilaku hampir ganjil.
Ardha: Tidak tampan, berperilaku ganjil.
Pak Asep: Sangat tidak tampan, dan berperilaku sangat ganjil.
Kota Siglie
Semua makhluk tersebut di basecamp kan (oleh Bos Besar tapi Kecil) di losmen Riza. Losmen yang mendominasi industri penginapan di kota kecil ini. Lokasi sangat strategis dan pelayanan sangat tidak strategis. Siglie adalah kota yang aneh, terlihat terlalu malu untuk dikatakan sebuah kota. Berjalan keliling di pusat kota hanya akan menghabiskan waktu sekitar 15menit.
”Ironis” kata yang sering terucap oleh Pak Asep saat melihat keadaan kota. NAD provinsi kaya. Dan kekayaannya tak tergambar pada keadaan kota yang mereka lihat. Tapi jika hal itu dikaitkan dengan kenyataan bagaimana keadaan NAD saat berada di bawah kekuasaan RI, pernyataan ironis itu telah menemukan jawaban. Pemerintah RI dibawah rezim orde baru telah... telah apa ya? mungkin cukup untuk dikatakan telah berlalu.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan sebuah kota kecil. Hidup di kota kecil seharusnya menyenangkan. Padang rumput yang luas menghampar, sapi-sapi hidup rukun, gunung-gunung hijau berjajar, sungai yang bening mengalir. Tapi, setelah di tinjau lebih jauh lagi, disini tak ada toko buku yang memadai. Itu yang sangat menyedihkan bagi sebuah kota kecil.
Satu hal yang tak lepas dari pengamatan, seperti yang terdapat di kota besar, di daerah ini banyak pengemis, di pinggir jalan, di pom bensin, bahkan yang berdinas dari rumah ke rumah. Salah satu yang paling populer adalah seorang wanita usia produktif yang punya ciri khas kental. Begitu datang ke kamar dia mengucapkan salam, kemudian dilanjutkan dengan kalimat yang sama rima dan iramanya dari hari ke hari, ”Bisa kakak minta tolong sama adek, Sudah dua hari kk belum makan, tidak punya uang buat beli beras, kalau adek mau membantu insya alloh amalnya diterima.” Kedatangan pertama, mereka memberi ala kadarnya. Tapi begitu besoknya dia datang lagi dengan perkataan yang sama ”Sudah dua hari tidak makan.” bingungnya hendak berbuat apa. Tapi mereka tak bisa menyalahkan diri mereka karena tidak memberi, tidak bisa menyalahkan beliau karena meminta-minta, juga tidak bisa menyalahkan bencana Tsunami yang melanda wilayah ini.
Inspector dan Konsultan Supervisi
Apakah bedanya antara inspector dan inspectur? Pertanyaan itu akan terjawab dalam percakapan berikut ini:
Duri dan Ardha memasuki lapangan (sebuah rumah makan nasi goreng kentucki yang sangat khas dari dari Aceh setelah mie kepiting dan kopi hitamnya). Mereka langsung disambut oleh seorang laki-laki bertubuh besar, ganteng, berkulit hitam dan berhidung mancung layaknya seorang bintang film india.
”Selamat datang, mau pesan apa inspector?” Kata si laki-laki.
”Pesan nasi goreng ayam kentucki inspectur Rajib!”
(Sebenarnya dialog ini hanya memberikan jawaban ambigu)
Ya, itulah bedanya inspector dan inspectur. Dan demikianlah, tiga orang mahasiswa yang hari-hari sebelumnya tak pernah bermimpi akan singgah di negeri daun surga akhirnya mejadi seorang inspector. Mungkin lebih tepat jika dikatakan: menjadi seorang sub-inspector.
Seperti juga kontraktor yang biasa men-subkan pekerjaan, ternyata supervisi juga mengakomodir perilaku yang sama, men-subkan pekerjaan. Hingga nama-nama yang ada di daftar bukanlah nama sebenarnya. Seorang dengan nama Ardha saat dilapangan harus siap memperkenalkan diri sebagai Sukirman, seorang Wahyu dengan nama Mustakin dan seorang Duri dengan nama Sekretaris Asep?
Empat orang tim Sigli di dalam kijang inova merah marun secara rutin berangkat ke proyek sambil bernyanyi-nyanyi lagu Iwan Falls dan Dloyd, sambil cekakan, tak lupa untuk mengklakson inong-inong cantik di pinggir jalan. Begitu rutinnya, sampai Pak Asep bisa membedakan apakah itu anak gadis yang sedang kerja di sawah atau ibu-ibu tua dari bunyi angin yang meniupnya antara Ssssssssst atau Wiir Wiiir... Begitu tiba di proyek, celingak celinguk sebentar, salaman sana sini, sapa sana sini, tunjuk sana sini, sambar air dan rokok jatah trus pulang. Tentu saja ini bukan budaya kerja yang baik, tapi begitulah hari-hari harus berlalu.
Sulit untuk dikatakan apakah masa-masa di Aceh ini merupakan masa bahagia atau masa yang lain. Tapi mereka selalu mewanai hari-hari disana dengan ceria, saat matahari sudah agak tinggi berangkat ke proyek, pulang sebelum matahari turun. Untuk tetap di proyek seharian tidak mungkin karena ada beberapa lokasi yang berjauhan, apalagi dengan kondisi pengawasan tidak lebih sebagai formalitas.
Begitu saja hari-hari berlalu, Tim Siglie sukses menjadi Tim yang jarang kena marah oboz besar, padahal oboz adalah seorang yang terkenal berdarah tinggi. Tentu saja ini terjadi berkat Yows yang berbudi pekerti luhur, Zikri yang berbudi pekerti agak ganjil, Ardha yang ganjil, serta Pak Asep yang sangat Ganjil.
Beberapa bulan berlalu, hingga bulan ramadhan tiba, hingga liburan hari raya tiba. Akhirnya mereka pulang dengan selamat ke kampung halaman masing-masing.