Saturday, December 27, 2008
Tradisi tebang pohon
Acara tebang pohon ini hampir selalu terjadi saat ada anak gadis yang dinikahkan. Acara resepsi pernikahan berbiaya beberapa tahun menabung umumnya dilangsungkan di tempat mempelai wanita, karena halaman rumah yang biasanya cukup luas, maka halaman ybs disulap menjadi tenda biru.
Untuk itu, biasanya keluarga si wanita harus merelakan pohon-pohon yang ada di halaman menjadi korban. Itulah yang terjadi di halaman rumahku saat kakak perempuan menikah dengan seorang laki-laki (pastinya). Tetangga-tetangga sebelah berdatangan beberapa hari sebelum hari H untuk prosesi tebang pohon.
Seorang Bapak pemilik pohon yang dalam dilema biasanya tak kuat mengayunkan parangnya.
Bapak : “Yang ini jangan ditebang semua ya..” dengan memelas.
Tetangga : “Sayang sama anak apa sama pohon?” seraya mengayunkan parang dengan tertawa-tawa kejam.
Alhasil sebuah pohon sawo, jambu, rambutan, mangga harus menjadi korban. Selang setahun setelah itu mereka belum bisa berbuah. Si pohon jambu bahkan tidak pernah hidup lagi. Itulah salah satu wujud pengorbanan sebuah keluarga untuk melepas anaknya ke pelaminan.
Kali ini tradisi (atau mungkin tragedi?) tebang pohon dilaksanakan di rumah tetangga sebelah rumahku, maka tetangga-tetangga lain kembali berdatangan, beberapa siap membawa parang dari rumahnya sendiri yang sudah diasah dengan tajam. Tentu saja Bapak yang dua tahun lalu kehilangan pohonnya pun bertindak cukup agresif sebagai wujud balas budi. Ayunan demi ayunan dilayangkan untuk mengubah sebuah taman bunga berikut beberapa pohon sawo dan alpukat menjadi sebuah tenda. Bahkan pohon mangga tetangga lainnya juga harus menjadi korban. Mereka melakukannya dengan tertawa-tawa seraya mengucapkan slogan “Sayang anak apa sayang pohon?”
Aku hanya memperhatikan, dalam hati timbul pertanyaan, “Kapan dan dimanakah ada anak gadis yang keluarganya akan merelakan pohon berikut taman kecilnya untukku?”
Sunday, December 21, 2008
Biji Island
Aku adalah salah satu diantara yang berjuang disana. Seperti juga orang-orang lain, tidak semua hal dalam hidup bisa dipilih, sehingga pilihan untuk menyambung hidup di pulau biji tak bisa dielakkan. Tak lepas dari pengamatan mengenai silih bergantinya warga pulau biji. Hampir setiap bulan ada wajah baru yang datang dan ada wajah lama yang menghilang. Seringkali bahkan wajah menghilang lebih banyak dari wajah yang datang, hingga pontang-pantinglah kami pekerja di pulau biji menerima beban kerja yang lebih banyak.
Ada kisah bung Teme yang sejak hari pertama menginjakkan kakinya disana selalu memikirkan rencananya untuk pergi ke pulau lain yang lebih subur. Bung Teme yang biasa makan siang bersamaku mengatakan di pulau ini tak ada kenyamanan, tak ada tantangan, hanya kebosanan yang hadir setiap hari. Sehingga jika saja kutanyakan kepada Bung Teme “Apa rencana mu hari ini?” dia akan menjawab: “Seperti hari-hari sebelumnya, melarikan diri dari pulau Biji.” Akhirnya beberapa bulan berselang Bung Teme berhasil mewujudkan rencananya, rencana itu terbungkus rapi dalam alasan sakit yang mendera dirinya, padahal dia berlayar ke pulau bali.
Penguasa pulau Biji kehilangan, dan mencari kemana Bung Teme, tapi Bung Teme telah terlalu jauh untuk dikejar. Kalau perasaannya tak bisa ditangkap, apa gunanya mengurung badannya, pikirku mengenai kejadian ini. Akupun merasa sangat kehilangan, tapi turut bergembira untuk keberhasilan Teme, karena tindakannya adalah perwakilan dari perasaan banyak orang di pulau Biji.
Ada juga kisah Bung Koco yang sehari-hari mendapat tekanan luar biasa dari banyaknya Biji yang harus dia hasilkan. Koco yang dibiasakan untuk makan ikan asin setiap hari, sangat gembira ketika datang tawaran serupa bandeng, Berlarilah Koco mengejar ikan Bandeng. Berkurang lagilah warga pulau Biji diikuti bertambahnya beban warga pulau yang tersisa. Pertambahan dan pengurangan selalu ditanggapi alam dengan mencapai sebuah kesetimbangan baru.
Demikian satu persatu warga pulau berkurang, dengan kecepatan yang lebih lambat, satu demi satu juga penguasa pulau menambah warga baru. Ditengah-tengahnya aku mulai merasakan getaran yang ditinggalkan oleh para pendahulu tersebut, getaran bosan luar biasa pada biji imajiner yang harus dikumpulkan setiap hari. Teriakan pendahulu juga terdengar sayup-sayup “bangkitlah!”. “Sekali-kali kita harus mengatakan tidak pada kehidupan statis”, ucapku pelan.
Hingga suatu ketika dimana angin tak bertiup, hujan tak turun, guntur tak terdengar, dan semua terlihat biasa saja. Yang tak biasa adalah sebuah kapal kecil hadir di pinggir pulau, mengajakku naik kesana. Aku tak bisa menahan diri, berjalanlah aku kesana setelah meminta sedikit restu dari penguasa pulau. Tiba dengan berjabat tangan, maka aku pun pergi dengan berjabat tangan, diiringi berbagai tatapan yang entah apa artinya. Suasana haru mungkin akan menyelimuti pulau biji setelah aku tinggalkan, bukan karena aku sangat berarti disana, tapi lebih banyak karena ketiadaanku berarti memberi warisan pekerjaan kepada warga pulau yang masih bekerja disana.
Selamat tinggal warga pulau biji, ketika aku sudah mencapai pulau harapan, akan kukirimkan kapal untuk mengajak kalian serta. Ucapku dalam hati…
Saturday, July 26, 2008
KELILING EROPA 6 BULAN HANYA 1.000 DOLAR!
Pengarang: Marina Silvia K
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tuesday, April 15, 2008
Seuprit Kebijaksanaan dalam Permainan Bola
Jangan pernah meremehkan serangan lawan, meski seberapa remeh pun itu kelihatannya…
Erwin rekan kerja ku menendang bola dari tengah lapangan futsal, pelan. Aku sebagai kiper memperhatikan bola yang menggelinding dengan sangat pelan ke arahku. Sangat pelan, hingga aku tertawa terkikik-kikik. Hihihi
Aku akan menghentikan bola dengan sebelah kaki, berlagak segera menginjaknya dengan
Perjalanan di negeri yang damai
Maka jadilah, meski masih shock karena baru saja tiba di bagian paling ujung indonesia barat, sekian manusia itu langsung disebar ke berbagai daerah lokasi pekerjaan: Pidie, Meulaboh dan Tapak Tuan. Tersebutlah tiga orang yang mendapat kesempatan emas di daerah Pidie, dengan ibukotanya Siglie.
Profil Tim Pidie:
Yows: Tampan, berperilaku santun, berbudi pekerti luhur, berjiwa ksatria, gemar menabung dan cinta keindahan.
Zikri: Hampir tidak tampan, berperilaku hampir ganjil.
Ardha: Tidak tampan, berperilaku ganjil.
Pak Asep: Sangat tidak tampan, dan berperilaku sangat ganjil.
Kota Siglie
Semua makhluk tersebut di basecamp kan (oleh Bos Besar tapi Kecil) di losmen Riza. Losmen yang mendominasi industri penginapan di kota kecil ini. Lokasi sangat strategis dan pelayanan sangat tidak strategis. Siglie adalah kota yang aneh, terlihat terlalu malu untuk dikatakan sebuah kota. Berjalan keliling di pusat kota hanya akan menghabiskan waktu sekitar 15menit.
”Ironis” kata yang sering terucap oleh Pak Asep saat melihat keadaan kota. NAD provinsi kaya. Dan kekayaannya tak tergambar pada keadaan kota yang mereka lihat. Tapi jika hal itu dikaitkan dengan kenyataan bagaimana keadaan NAD saat berada di bawah kekuasaan RI, pernyataan ironis itu telah menemukan jawaban. Pemerintah RI dibawah rezim orde baru telah... telah apa ya? mungkin cukup untuk dikatakan telah berlalu.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan sebuah kota kecil. Hidup di kota kecil seharusnya menyenangkan. Padang rumput yang luas menghampar, sapi-sapi hidup rukun, gunung-gunung hijau berjajar, sungai yang bening mengalir. Tapi, setelah di tinjau lebih jauh lagi, disini tak ada toko buku yang memadai. Itu yang sangat menyedihkan bagi sebuah kota kecil.
Satu hal yang tak lepas dari pengamatan, seperti yang terdapat di kota besar, di daerah ini banyak pengemis, di pinggir jalan, di pom bensin, bahkan yang berdinas dari rumah ke rumah. Salah satu yang paling populer adalah seorang wanita usia produktif yang punya ciri khas kental. Begitu datang ke kamar dia mengucapkan salam, kemudian dilanjutkan dengan kalimat yang sama rima dan iramanya dari hari ke hari, ”Bisa kakak minta tolong sama adek, Sudah dua hari kk belum makan, tidak punya uang buat beli beras, kalau adek mau membantu insya alloh amalnya diterima.” Kedatangan pertama, mereka memberi ala kadarnya. Tapi begitu besoknya dia datang lagi dengan perkataan yang sama ”Sudah dua hari tidak makan.” bingungnya hendak berbuat apa. Tapi mereka tak bisa menyalahkan diri mereka karena tidak memberi, tidak bisa menyalahkan beliau karena meminta-minta, juga tidak bisa menyalahkan bencana Tsunami yang melanda wilayah ini.
Inspector dan Konsultan Supervisi
Apakah bedanya antara inspector dan inspectur? Pertanyaan itu akan terjawab dalam percakapan berikut ini:
Duri dan Ardha memasuki lapangan (sebuah rumah makan nasi goreng kentucki yang sangat khas dari dari Aceh setelah mie kepiting dan kopi hitamnya). Mereka langsung disambut oleh seorang laki-laki bertubuh besar, ganteng, berkulit hitam dan berhidung mancung layaknya seorang bintang film india.
”Selamat datang, mau pesan apa inspector?” Kata si laki-laki.
”Pesan nasi goreng ayam kentucki inspectur Rajib!”
(Sebenarnya dialog ini hanya memberikan jawaban ambigu)
Ya, itulah bedanya inspector dan inspectur. Dan demikianlah, tiga orang mahasiswa yang hari-hari sebelumnya tak pernah bermimpi akan singgah di negeri daun surga akhirnya mejadi seorang inspector. Mungkin lebih tepat jika dikatakan: menjadi seorang sub-inspector.
Seperti juga kontraktor yang biasa men-subkan pekerjaan, ternyata supervisi juga mengakomodir perilaku yang sama, men-subkan pekerjaan. Hingga nama-nama yang ada di daftar bukanlah nama sebenarnya. Seorang dengan nama Ardha saat dilapangan harus siap memperkenalkan diri sebagai Sukirman, seorang Wahyu dengan nama Mustakin dan seorang Duri dengan nama Sekretaris Asep?
Empat orang tim Sigli di dalam kijang inova merah marun secara rutin berangkat ke proyek sambil bernyanyi-nyanyi lagu Iwan Falls dan Dloyd, sambil cekakan, tak lupa untuk mengklakson inong-inong cantik di pinggir jalan. Begitu rutinnya, sampai Pak Asep bisa membedakan apakah itu anak gadis yang sedang kerja di sawah atau ibu-ibu tua dari bunyi angin yang meniupnya antara Ssssssssst atau Wiir Wiiir... Begitu tiba di proyek, celingak celinguk sebentar, salaman sana sini, sapa sana sini, tunjuk sana sini, sambar air dan rokok jatah trus pulang. Tentu saja ini bukan budaya kerja yang baik, tapi begitulah hari-hari harus berlalu.
Sulit untuk dikatakan apakah masa-masa di Aceh ini merupakan masa bahagia atau masa yang lain. Tapi mereka selalu mewanai hari-hari disana dengan ceria, saat matahari sudah agak tinggi berangkat ke proyek, pulang sebelum matahari turun. Untuk tetap di proyek seharian tidak mungkin karena ada beberapa lokasi yang berjauhan, apalagi dengan kondisi pengawasan tidak lebih sebagai formalitas.
Begitu saja hari-hari berlalu, Tim Siglie sukses menjadi Tim yang jarang kena marah oboz besar, padahal oboz adalah seorang yang terkenal berdarah tinggi. Tentu saja ini terjadi berkat Yows yang berbudi pekerti luhur, Zikri yang berbudi pekerti agak ganjil, Ardha yang ganjil, serta Pak Asep yang sangat Ganjil.
Beberapa bulan berlalu, hingga bulan ramadhan tiba, hingga liburan hari raya tiba. Akhirnya mereka pulang dengan selamat ke kampung halaman masing-masing.
Tuesday, April 01, 2008
Pledoi Hati Laki-laki
"Pledoi hati laki-laki" Dia memulainya.
"Ada hati yang tak mudah mengerti, tapi itu bukanlah keinginannya. Ada hati yang tak ingin disakiti, tapi siapa yang menginginkan menyakiti. Apalagi kepada hati kita sendiri. Jika hati itu telah terbagi, bukankah lebih mudah dia disakiti?"
Si anak muda memejamkan matanya beberapa saat, mengangkat sebelah tangan ke dahi, menyangga kepalanya yang terasa berat.
"Biar, biarkan saja isi kepala jatuh, karena kini hati lebih ingin dihormati." Lanjut si pemuda, sembari menyalakan rokok untuk meringankan bebannya.
"Baik, baiklah, kita menghendaki kebaikan, menginginkan kebenaran. Hentikan bicara tentang sakit menyakiti. Benar, mari biarkan yang benar terlihat benar. Adakah yang tau bagaimana melihat yang benar? Apakah itu dengan perasaan? Apakah itu dengan pikiran? Apabila itu dengan perasaan, bagaimana bisa ada orang berbuat salah tapi merasa dirinya benar? Apabila itu dengan pikiran, betapa banyaknya manusia yang tak bisa berpikir, karena nabi-nabi harus turun menyampaikan kebenaran. Mungkinkah itu dengan hati, tapi bagaimana membedakannya dengan yang lain. Jelas, kita tak tau apa yang benar. Jelas kita masih mencari cara mencari benar. Jelas, terdakwa di persidangan berhak mengajukan pledoi. Karena hakim atau jaksa, atau siapapun belum tentu benar."
Si anak muda menghisap nafas dalam-dalam berbaur nikotin yang membuatnya berat, lalu menghembuskan kuat-kuat agar dadanya terasa lebih kosong. Jiwa dan raganya yang lelah semakin tak bertenaga. Bahkan dia tak tau apakah yang dia lakukan itu benar.
"Sudah, sudahlah, tak perlu kita bicarakan apa yang tak kita tau. Aku akan bercerita apa yang aku tau, meski cerita itu tidak untuk siapapun, walaupun aku tak mendengar apa yang kau tau. Mungkin aku tak boleh memakai kata kita lagi untuk kau dan aku, karena aku tak tau kau"
"Aku tau cinta, aku tau, hanya tau. Tak peduli apakah itu dari pikiran, perasaan atau dari pengindraan. Aku tau ada cinta. Aku tau aku cinta kau. Aku pun tau kau punya cinta, aku pernah menduga bahwa sebagiannya untukku. Tolong beri tau aku jika itu salah. Tapi beri tau aku jika cara mencinta ku tidak kau inginkan. Tapi beri tau jika aku tak kau inginkan! Apakah kau pernah melihat petir di siang bolong, akan ku katakan bahwa aku pernah merasakannya saat malam sunyi dan tak ada awan yang memberi pertanda. Haruskah hukum alam tak berlaku lagi, karena bukankah kejadian alam selalu diiringi pertanda?"
Si anak muda ingin berteriak, tapi tanpa bersuara pun mulutnya terasa kering, kering dalam hening yang membalut perih.
"Dalam diam mu aku terus mencari, haruskah aku pergi atau akan terulang begini. Waktu yang kejam ternyata hanya berputar-putar, kisah yang sama kembali lagi disini. Tentu saja lelah adalah buangannya. Tapi apa artinya usaha jika lelah tak ku hargai. Dalam lelah aku harusnya bertahan, bukan berhenti."
"Bukankah telah kukatakan mimpi yang mengukir masa depan. Bukankah telah kulukis kau pada setiap arah pandang ku, bahkan pada setiap bayangan yang mengikutiku. Bukankah telah kutanam mawar pada jejak yang kutinggalkan. Tentu harus ada duri padanya, atau kita tak akan mencium wanginya. Malangnya aku. Bahkan kata kita yang tak ingin kusebutkan tak mampu kuhindari."
Si anak muda termenung. Diresapinya udara dingin ke dalam tulang. Ditariknya nafas satu dua. Dikerjapkannya cahaya yang remang. Didengarnya detak jantungnya sendiri. Dirasakannya detak kekasihnya yang pergi entah kemana. Detak yang dia inginkan untuk rengkuh dalam pelukan. Detak yang membuat jam seharusnya berhenti berdetak hingga mereka tak terusik oleh waktu.
Si anak muda memejamkan matanya. Lama. Kenangan demi kenangan mengisi. Semua yang tertinggal dalam ingatan hadir kembali. Dia pernah tertawa, pernah hampir menitikkan air mata. Tangannya menggapai mecoba memeluk setiap penggal kenangan, tak bisa. Dia tau itu, tapi terus mencoba. Dalam pada itu dia melihat senyuman yang sangat akrab. Yang membuatnya ikut tersenyum. Tidak sinis seperti saat dia memulai.
Saat itulah dia mulai bisa bersuara, meski parau terdengarnya.
"Aku mengerti kini, aku dan kau punya kenangan. Itu abadi. Dan aku tau, kau masih akan singgah dalam tidurku meski apapun yang terjadi nanti. Sudahlah. Aku memaafkanmu. Aku membebaskanmu meraih bahagia dengan caramu sendiri. Bahagia mu adalah bahagia ku. Aku merelakanmu."
Si pemuda meraih tulisan tangannya, lalu membuangnya ke udara.
***
Sunday, March 30, 2008
The Solitaire Mysteri
Terbitan Phoenix, London 1996
Jalasutra 2001 "Misteri Soliter"
Sebuah karya memikat dari Jostein Gaarder. Seperti Dunia Sophie, novel ini sangat pekat dengan nuansa filsafat. Dikisahkan dalam novel ini seorang anak laki-laki yang melakukan perjalanan bersama ayahnya yang gemar berfilsafat ke Athena negeri sumber dimulainya filsafat barat untuk mencari ibunya yang telah lama meninggalkan rumah untuk menemukan dirinya.
Ceritanya mengalir dengan banyak ungkapan bijak khas filsafat. Terlontar pertanyaan-pertanyaan seperti siapakah kau? darimanakah kau berasal? yang terkait dalam sebuah cerita yang menceritakan cerita dimana seseorang bercerita tentang cerita yang diceritakan padanya yang berlangsung selama ratusan tahun. Itulah yang ada disini, cerita di dalam cerita di dalam cerita.
Salah satu tema sentral yang diangkat adalah masalah takdir. Apakah sesuatu yang terjadi adalah takdir atau sebuah kebetulan. Sepertinya Gaarder, atau setidaknya dalam cerita ini, tidak percaya pada sebuah kebetulan. Ada takdir yang harus dijalani, begitu seseorang mengetahui takdirnya, dia harus menjalaninya.
Lalu dimana letak soliternya?
Dalam buku ini diselipkan kisah sebuah permainan soliter yang dimainkan seorang yang terdampar disebuah pulau, permainan tersebut menjadi hidup, keluar dari kekangan imaginasinya. Dalam hal ini hidup manusia bisa diibaratkan seperti permainan soliter yang berasal dari ide sang penciptanya. dalam permainan soliter ada aturan, demikian juga dalam kehidupan. Untuk mengungkapkan asal muasal kartu soliter dibutuhkan seorang Joker, dalam kehidupan Joker adalah para filsuf, yang tidak bisa menerima hidup apa adanya tanpa tau apa dan darimana mereka berasal.
Novel ini tidak terlalu berat, setidaknya tidak seberat dunia sophie, tapi sangat bagus, penuh ide segar dan inspiratif.
Jadi, berperan sebagai apakah anda dalam permainan soliter agung ini?
The Ringmasters Daughter
Pengarang: Jostein Gaarder
Terbitan Oslo 2001
Mizan 2006 "Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng
Sebuah novel khas Jostein Gaarder. Yang paling saya suka dari semua novel karyanya.
Novel ini menceritakan banyak cerita, yang diceritakan dari sudut pandang Peter si manusia laba-laba. Peter adalah seorang yang sangat kaya dengan imajinasi. Saat seorang penulis bermasalah karena mengalami kebuntuan ide, Peter malah bermasalah dengan begitu banyak ide-ide kreatif dari imajinasinya.
Ide-ide itu mengalir begitu saja di benaknya sejak dia kecil, lalu dengan teratur dia membuang isi kepalanya dengan menuliskannya. Permasalahannya adalah ide-ide tulisannya cemerlang, namun dia tak mau menjadi penulis terkenal.
Maka Peter menjalankan bisnis dengan menjual tulisannya kepada orang-orang yang berniat menjadi penulis serta penulis yang sedang mengalami kebuntuan ide. Bisnisnya yang dinamakan writers aid berkembang dan dia memiliki banyak klien dari berbagai negara. Dari imaginasinya keluar cerita seperi Putri sirkus yang terpisah dari ayahnya sejak kecil, Pembunuhan oleh orang yang sudah mati, Si kembar dalam perang vietnam, Manusia catur, dan sebagainya.
Cerita berlanjut dengan plot yang sangat baik, sampai pada akhirnya Peter mendapat masalah dari bisnis yang dijalankannya. Peter terjebak oleh jaring-jaring yang dijalinnya sendiri yang semakin memuncak dari halaman ke halaman hingga halaman terakhir.
Seperti biasanya, buku ini masih bernuansa filsafat, tapi tidak dalam bahasa yang berat. Sangat bagus. Memotivasi orang-orang yang ingin menjadi penulis untuk mengembangkan imajinasinya.Seperti komentar Kompas, Gaarder adalah garansi bagi bacaan bermutu, buku ini adalah salah satu yang menguatkan pendapat itu. Buku ini juga salah satu mengukuhkan saya sebagai seorang penggemar karya-karya Jostein Gaarder.
Ingin terjebak dalam jaring-jaring karya Jostein Gaarder? Dapatkan di toko-toko buku terdekat.
Saturday, March 29, 2008
istana sendiri
Berusia hampir empat puluh tahun dan menjalani hidup sebagai sebuah perjuangan panjang. Perjuangan untuk hidup, bersaing dan meraih kemapanan ekonomi. Di sebuah rumah mewah itulah akhirnya Bejo berada.
Dirumahnya yang seperti istana, lengkap dengan kolam renang di halaman belakang dan taman bunga di halaman depan, Bejo mempekerjakan seorang tukang kebun, seorang supir, dan dua orang pembantu rumah tangga, mereka saling berpasangan sebagai suami istri. Namun Bejo belum memiliki istri.
Marni, teman wanita yang disukainya sejak kecil waktu di kampung telah lama menikah, Bejo tak pernah menyatakan perasaannya. Bahkan sampai saat ini dia belum pernah menyatakan perasaan cinta kepada seorang wanita pun. Karena hampir di setiap waktunya, Bejo selalu berjuang untuk hidup, bersaing, dan meraih kemampuan ekonomi. Sendirian di ruangan keluarga yang besar itulah Bejo kini melamun.
Minggu depan usianya genap empat puluh tahun, dia telah mencapai apa yang kebanyakan orang anggap sebagai kesuksesan tentu saja. Dia yang dilahirkan dari keluarga miskin di daerah jawa tengah, ditinggalkan kedua orang tuanya semenjak kecil, telah berjuang, mencari nafkah di ibukota sebagai seorang pekerja bangunan. Karirnya berkembang hingga dia kini memiliki perusahaan sendiri, sebagai kontraktor pelaksana. Dia telah berjuang untuk hidup, bersaing, dan meraih kemampuan ekonomi. Sekarang dia bertekad untuk mendapatkan calon istri sebelum usianya mencapai empat puluh tahun, atau lebih tua lagi.
Didepannya diatas meja, tergeletak sebuah harian ibu kota. Bejo telah menaruh profil dirinya di bagian kontak jodoh. “BEJO SUJOTOKO, pria matang , lima puluh tahun, sukses, punya perusahaan sendiri, mapan, merindukan seorang gadis yang baik untuk menjadi isteri, langsung menikah.” Sudah satu bulan sejak dia menaruh iklan, tapi hingga hari ini belum ada yang menghubungi dirinya.
Bejo mulai berpikir apakah tidak ada orang yang percaya dia seorang pria sukses, karena pria sukses mana yang berumur segitu tapi belum memiliki seorang isteri. Pikirannya jadi lelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk mengenai betapa susahnya mendapatkan seorang isteri. Bejo bangkit dan memutuskan untuk menghibur diri dengan melihat-lihat taman bunga di halaman depan.
Bejo duduk di beranda, Kusno si tukang kebun sedang merapikan daun bonsai. Bejo menatap bunga mawar ditengah halaman yang hampir layu. Dibayangkannya bukan si Kusno yang merawat kebun, tetapi isterinya. Dibayangkannya anaknya berlarian diatas rumput mengejar kupu-kupu seperti yang biasa dia lakukan waktu masih kecil. Dibayangkannya dirinya bercanda tawa bersama mereka. Tak terasa air matanya menetes perlahan. “Bagaimana aku bisa bahagia kalau tidak ada seorang yang menemaniku berbagi rasa bahagia.” Gumamnya tak sadar.
Kusno si tukang kebun heran melihat majikannya tiba-tiba menangis.
“Ada yang bisa saya bantu pak?”
Bejo tergagap.
“Tidak ada, tidak mungkin kamu bisa bantu. Sudah, kamu ke dalam saja!”
“Baik pak.”
Bejo menghapus air matanya dengan lengan baju. Lalu mengambil ponsel, mencari seseorang yang bisa menyelesaikan masalahnya dari phone book. Dari A hingga Y diteliti. Tak ada nama wanita di phone booknya, selain sekretarisnya yang telah menikah. Itulah Bejo, yang tak pernah berbicara dengan wanita, kecuali pekerja-pekerjanya. Dia bahkan tak pernah berkenalan dengan wanita-wanita lain diluar lingkup pekerjaannya, dia juga tak mau mengajak bicara para pelacur karena dia tau akan membawa dosa.
Sebenarnya dia sangat menghargai wanita, terlalu menghargai bahkan, hingga dia tak pernah berani untuk mengenal satu dua pribadi lebih mendalam. Sekarang dia mulai mengumpulkan keberaniannya. Karena dia harus, dia harus menikah sesegera mungkin, atau dia tak tahan lagi dengan semua kesendirian dalam malam-malamnya. Kesendirian dalam kebahagiaannya, kesendirian dalam kesedihannya.
Bejo sering memikirkan, sebenarnya dia bisa saja menelepon beberapa rekan kerjanya, dan minta untuk dicarikan seorang istri. Tapi dia merasa malu. Dia akan menjadi bahan tertawaan teman-temannya, karena sudah berusia lanjut, bisa meraih kesejahteraan, menghidupi orang-orang, tapi tidak bisa mencari istri sendiri. Dia tak pernah membicarakan kehidupan pribadi dengan teman-temannya. Bejo merasa harus mencari calon dari orang yang belum dia kenal.
Hari-hari berlalu mengiringi usaha Bejo dan gejolak batinnya yang semakin tak tertahankan. Diberanda yang sama, melihat taman bunga yang sama, pikirannya melayang ke hal yang sama. Seorang wanita untuk menjadi isterinya, bersamanya meneruskan keturunan, membentuk keluarga yang ramai yang memupus rasa sepinya. Besok hari ulang tahunnya, dia sudah tak tahan dengan hari-hari yang dilaluinya tanpa hasil.
Lelah terlalu lama berpikir dan tanpa hasil, Bejo pun membuat keputusan, siapa saja wanita yang lewat di depan pagar rumahnya dan sendirian akan diajukannya pertanyaan. “maukah jadi isteriku” Ya, harus begitu, harus berani. Ujarnya menguatkan diri.
Jalanan di depan komplek rumahnya tergolong sepi, jarang yang lewat, apalagi seorang wanita yang berjalan sendirian. Bejo menunggu hampir selama satu jam di dekat pagar. Akhirnya dilihatnya seorang wanita sendirian, mengenakan baju santai warna merah. Bertubuh gemuk, berparas biasa saja, sedang berjalan santai. Bukan tipe wanita yang dia suka, tapi dia menguatkan hatinya, mungkin saja tidak ada pilihan lain.
Bejo menghampiri.
“Mbak, maaf mbak saya mau nanya, boleh?”
“Oh, boleh.” Jawab wanita itu heran.
“Mbak, sudah menikah?”
“Oh, belum. Kenapa emangnya?” tanya si wanita menatap curiga.
Bejo mulai gugup. “Begini mbak, itu rumah saya, saya punya perusahaan, punya banyak karyawan, tapi belum punya isteri, mbak mau jadi isteri saya? Kalau mau kita bisa menikah minggu ini”
Si wanita kaget diajukan pertanyaan seperti itu. Sembari melotot dia meradang.
“Pak, gini ya, saya ini meski gemuk dan tidak cantik, tapi wanita baik-baik. Bapak anggap apa saya ini? Kalau mau mencari pasangan, itu perlu proses. Bapak belum tau nama saya aja udah nanya yang aneh-aneh. Harus kenalan dulu baik-baik. Apalagi untuk menjadi sebuah keluarga, perlu waktu buat pria dan wanita menyatukan visi. Bapak udah gila ya?” Si wanita mengakhiri ucapannya, dan berjalan tergesa-gesa membawa amarah.
Bejo merasa lemas, terduduk diatas tanah, bahkan wanita yang seperti itu pun tak bisa menjadi isterinya. Bejo menahan sedu.
Kembalinya Super Yow
Akhirnya aku memiliki sebuah laptop, belum diberi nama, masih mencari nama yang cocok, atau berjenis kelamin apa kira-kira dianya. Dalam hal ini sangat terima kasih untuk janurtech.com atas Toshiba a215 s4747nya. Sedikit informasi mengenai Janurtech, yang kali ini penting untuk diketahui, adalah situs penjualan notebook online. Sangat bermanfaat. Kita bisa melihat spek laptop dari internet, lalu telepon, negosiasi dan transaksi lalu barangnya bisa tau-tau nongol di depan rumah. Harga bersaing, katanya sih harga buat toko dan buat user sama aja. Jadi kita bisa mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah daripada membeli langsung di toko. Sekali lagi terima kasih kepada Janurtech.
Sebagai dampak kehadirannya, sekarang saya punya media untuk menyalurkan apa-apa yang perlu disalurkan. Bisa browsing, bisa menulis, bisa update blog. Walaupun tulisan-tulisan saya masih sangat self oriented, mohon dimaklumi. Setidaknya saya masih belajar menulis dan mencoba menemukan bentuk penulisan yang tepat.
Saya pun akan mulai mencoba membuat blog ini lebih bisa dinikmati tidak hanya bagi saya sendiri. Tapi itulah, mencoba, saya tak bisa menjamin hasilnya...
Salam.