Dia memulai hari dengan senyum. Seperti matahari yang memulai hari dengan kehangatan. Dia berjalan, terus berjalan, lalu berhenti sejenak untuk menatap ke belakang dan mendapati sekian banyak jejak yang dia tinggalkan telah mengatarkannya kesini. Ketempat dia berdiri. Mencermati bahwa tidak semua jejak itu dia yang buat, setidaknya ada yang lain yang telah membuatnya menapak disana.
Semua jejak, meski ada di belakang, membuatnya punya pertimbangan untuk langkah selanjutnya. Bahkan apakah itu harus dengan kaki kiri atau kaki kanan. Kaki kanannya yang telah terangkat dan menyisakan ujung-ujung jari menempel dibumi, membuatnya tak mungkin melanjutkan langkah dengan kaki kiri, kalau tidak hendak terjatuh. Pilihannya dibatasi. Bahkan keberadaannya sebagai seorang wanita telah memberi batasan awal yang tak bisa di hindari.
Dia tak pernah menyesal, setidaknya untuk jenis kelamin yang dia peroleh. Toh, buat apa pula itu disesali. Orang-orang yang tak sadar akan potensi kewanitaan yang melakukannya. Dia juga jarang mengeluh, silakan tatap matanya dan akan kau temukan ketegaran yang hidup berikan pada orang-orang yang bertahan. Meski begitu, semua getir dan pahit yang pernah dia kecap membuat lidahnya seringkali kelu untuk berbicara dengan bahagia, atau untuk menertawai dukanya. Tapi itu semua juga tak cukup untuk membuatnya menangis, meski air mata adalah anugerah yang tak disadari dimilikinya. Dia hanya tersenyum, dan itu cukup untuk menggambarkan betapa dia masih melihat dunia ini dengan sebuah kebaikan.
Dia tak punya banyak teman, karena teman inginkan tawa. Dia tak bisa. Dia hampir lupa akan tawa, dan itu mungkin membuatmu akan melupakannya. Tapi dia tetap dia, dan dia berbeda dengan mu seperti halnya kau berbeda dengannya. Dia menghargai itu.
Dia melanjutkan langkah. Hingga saat dia melihat sesuatu dari seseorang yang menatapnya. Dia menemukan dirinya dalam cinta. Bukan karena penampilan, bukan karena keberada an, bukan karena apa-apa selain dari pribadi yang dicintainya. Dia mencintai apa adanya, sebagaimana dia menjalani langkah sebagaimana adanya.
Lalu dia berjalan kembali, kali ini berdua. Tetap dengan langkahnya yang kecil-kecil dan pandangannya yang seringkali hanya menatap langkah berikutnya. Sesekali dia memperhatikan sekelilingnya. Dia lihat ada dunia yang gemerlap, banyak orang-orang yang bersenang-senang di dalamnya, bibir-bibir sampingnya turun sedikit. Dia juga melayangkan pandang pada kehidupan yang kelam. Terlihat seorang anak kecil yang hampir menangis, mengemis di tepi jalan. Anak yang manis, katanya, bagaimana bisa mengemis. Sungguh ironis. Dia mengembalikan senyum, senyum untuk dunia yang penuh ironi, senyum yang mengembalikannya pada pandangan yang realis. Senyum yang mengandung tangis.
Dia terus berjaan, berdua. Disampingnya aku berada, yang tak ingin menjadi aku. Tapi tak pernah bisa hanya melihat dia sebagai dia atau engkau sebagai kau. Yang ku lihat, bahkan, hanyalah dia menurutku dan engkau sebagaimana yang aku tangkap. Dan itu menjadikan dunia tetap penuh dengan ironi.