*****
Udara senja yang berwarna jingga membelai mesra lekuk-lekuk kampus. Mengikuti kebiasaannya, mengalir, melewati satu demi satu bangunan yang berdiri menghabisi lahan-lahan kosong, berputar-putar dilapangan kecil, menyusuri koridor, mengisi suara di pepohonan hingga mencapai pusar kampus.
Disana ada sebuah menara. Dibangun kokoh menjulang tinggi, tak tertandingi bangunan dan pepohonan. Bukan untuk menghampiri langit dan menyamai ketinggian Tuhan pastinya. Kalau demikian adanya, menara ini tak akan bisa selesai, karena pembangunannya dikutuk sedari awal.
Adapun menara ini dibangun oleh para leluhur. Leluhur di kampus, yang telah lebih dulu mencicipi bumi dan mengisinya dengan membesarkan kampus hingga melingkupi negara. Membuatnya tinggi, cukup tinggi hingga mencakup seluruh kehidupan kampus serta peradapan masyarakat. Pada ketinggian itu mereka menyadari, masyarakat terlalu menderita untuk terus mengalami penjajahan, negara ini harus merdeka dari segala bentuk penjajahan. Mereka dulu berjuang, membangun karakter yang teguh untuk mencapai kemerdekaan yang menjadi keyakinannya.
Cahaya senja yang tadi melekat, memberi bayangan pada kemegahan menara, perlahan-lahan sirna. Menara itu kembali memburam, disamping keadaannya yang memang semakin melapuk ditempa zaman. Tidak dirawat dengan baik, kalau dikatakan ada yang merawatnya. Tangga-tangga yang berundak-undak mengelilingi menara hingga menuju puncaknya pun tak pernah tersentuh. Rektor terlalu takut untuk menaikinya, selain karena tak ada kepentingan baginya. Rekan-rekan kampus tak banyak yang tertarik untuk memandang dari atas dan mengamati keadaan sekitar. Jadi, hampir tak ada yang berniat ke atas sana.
Sekelompok mahasiswa yang dipercaya rektor untuk merawat menara tersebut tak lagi mengerti arti keberadaannya, tapi mereka masih berlomba-lomba menghiasi menara itu, sebagai sebuah kebanggaan. Tidak dengan membangun keatas hingga mencapai filosofi dasar pendiriannya. Mereka malah membuat taman yang melingkar mengelilingi bagian bawah menara. “Biar lebih indah”, kata mereka. Di tamannya ditanam berbagai macam bunga, berjenis pohon, rumput dan beragam aksesoris lainnya. Lalu di pusat taman, menara tak disentuh, melainkan hanya ditambahkan pagar yang mengungkung, agar tak sembarang orang bisa menghampiri.
Warga kampus, kebanyakan daripadanya, menyukai taman tersebut. Setiap hari mereka memandang taman yang tumbuh subur, mengaguminya, hingga hampir tak menyadari ditengah-tengahnya ada menara. Menara yang telah dibangun dengan sekian banyak jejak perjuangan, dibanjiri keringat dan darah dari para pendahulunya.
Bahkan, sesekali taman itu dipakai muda-mudi untuk berduaan. Sebagai pewujudan taman di hati mereka yang sedang bersemi, dengan cinta selalu disiramkan padanya. Di kali lain, taman itu dipakai oleh kumbang untuk mencari madu dari bunga-bunga yang sedang bermekaran. Ada pula ulat yang menyempurnakan diri menjadi kupu-kupu manambah warna-warni taman. Hal ini semakin membuat keadaan taman begitu indah menawan dan keadaan menara begitu kusam untuk dipandang. Mereka lupa bahwa pembuatan taman ini diperuntukkan sebagai hiasan bagi keberadaan menara.
Begitu yang dilakukan mahasiswa, berbeda pula yang dilakukan oleh rektor universitas. Beliau turut membangun, tapi membangun gedung-gedung megah untuk kampusnya. Bahkan tingginya menyaingi menara yang diciptakan oleh para leluhur. Sedangkan niatnya bukan untuk melihat objektif keadaan masyarakat yang berada di dalam dan di luar kampus, melainkan agar menara itu tak lagi terlalu diagung-agungkan oleh mahasiswa. Agar mahasiswa lebih bangga dengan mempunyai gedung-gedung tinggi yang akan berguna bagi mereka sendiri. Mereka akan belajar didalam gedung, bukan untuk mengamati keadaan sekitar, lalu belajar darinya.
Suatu ketika, sekian mahasiswa yang pro menara berkumpul. Menyuarakan beban yang dipikulkan kehatinya. Mereka kehilangan kebanggaan akan kampus ini, karena semakin tidak memberi arti pada kehidupan disekitarnya. Mereka juga merasakan, tak ada persatuan lagi di kampus ini, setiap orang bertidak demi pribadinya sendiri dan tak pernah melihat keberadaan kampus secara utuh. Mereka berpikir, kuncinya ada pada menara.
Menara yang sejak dulu menjadi pemersatu dan kekuatan perjuangan. Menara yang kemudian malah hanya dikagumi, karena taman indah yang melingkupinya. Sementara keberadaannya terpagar dan terkunci di dalam taman, tak tersentuh hingga hakikat yang dimilikinya.
”Bagaimana kita bisa mencapai puncak menara jika kita dihalangi oleh taman itu?” pikir para mahasiswa pada akhirnya.
Lalu disusunlah sebuah rencana. Mereka akan mengkudeta. Kudeta terhadap taman itu, berarti kudeta terhadap rekan-rekan kampus yang membangunnya, kudeta pula terhadap rektor yang memberikan restu. Tapi mereka tak peduli, mereka memiliki keyakinan yang begitu besar akan apa yang hendak dilakukan. Sisa-sisa semangat perjuangan menuntut sebuah pergerakan lebih dari sekedar kata-kata.
Maka, bergeraklah mereka. Berjalan dengan langkah tegap yang tak ada keraguan padanya. Sampailah mereka pada tepian taman itu. Mereka mulai menghancurkannya, membabat habis setiap yang menghalangi jalan menuju menara, membongkar semua keindahan semu yang menutupi esensi.
Angin menerbangkan wangi bunga yang tercabut dari batangnya, tercabik-cabik dari keindahannya. Kumbang yang merasa kehilangan meradang. Berdua mereka membawa berita keseluruh kampus.
Sampailah berita itu kepada bagian lain mahasiswa, yang mendukung dan melaksanakan pembangunan taman. Dikumpulkan massanya. Dan beramai-ramailah mereka menuju ke jantung peristiwa.
Disana mereka mendapati sekelompok rekan kampus yang berbeda mata, berbeda telinga, juga berbeda hati. Tak pernah mereka menyadari adanya perbedaan hingga hari ini. Kedua kelompok akhirnya berhadapan.
”Taman ini kami bangun untuk menghiasi menara, mengapa kalian menghancurkannya?” tanya mereka. Emosi mendesak ke dada.
”Tak tahukah kalian, taman ini menutupi kemegahan menara, mengubur filosofis pendiriannya. Menara jadi terkunci didalamnya. Tak bisa kita masuki, tak bisa kita naiki. Jadi apa guna keberadaannya, kami harus menghancurkannya!” jawabnya
”Apa perlunya bagi kalian, untuk menaiki menara?” Emosi telah sampai pada tenggorokan, siap dimuntahkan.
”Wahai kalian pengurus taman, kalian harusnya memahami! Di atas sana kita bisa melihat keadaan kampus, belajar daripadanya. Diatas sana kita bisa mengamati keadaan masyarakat, mencari solusinya. Tidak seperti kalian yang hanya mengetahui bagaimana cara merawat taman, melihat hanya pada sejengkal tanah, sedangkan bunga akan tumbuh dengan sendirinya pada tanah yang sejahtera. Kalian pikir taman bunga bisa memberi solusi pada keadaan kita? Kalian terlalu memaksakan keadaan. Lihatlah, tanpa fungsi menara ini, kita tak pernah mengetahui secara pasti apa yang sedang terjadi di kampus ini, kita selalu bergerak sendiri kesana kemari tanpa menyadari telah tersesat arah!!” jawab pihak mereka, disertai semangat yang siap meledak pada apa saja yang menghalangi.
Tapi kedua pihak telah memandang benar apa yang dilakukannya, maka tak ada pertemuan dalam meja perundingan damai yang diakhiri dengan saling berjabat tangan. Terjadilah pertikaian diantara mereka, yang semula menggunakan dialektika, beralih ke pertukaran fisik semata.
Mereka saling menyerang. Tendangan berbalas tendangan. Pukulan berbalas pukulan. Darah berbalas darah, dan dendam berbalas dendam. Hati yang tak bisa menahan emosi akan melihat dendam pada mata orang lain, dan dendam pada penglihatan akan menjelma menjadi darah.
Lalu angin membawa anyir darah yang segera menggantikan semerbak wangi bunga. Membawanya berjalan berkeliling, tak terbatasi kecuali oleh gunung yang tinggi menghadang.
Sampailah baunya pada rektor yang merasa punya otoritas penuh pada kampus. Dia datang, seperti diundang. Sampai pada padang yang telah berhamburan. Emosinya tak terhadang. Diperintahkannya penjaga keamanan kampus untuk menghentikan pertikaian. Menangkap para pelaku kerusuhan.
”Orang-orang yang yang bersalah atas hal ini akan diadili”, katanya. Ya, diadili, yang artinya diberi keadilan. Semua tindakan diluar pengawasan dan aturannya tidak dapat dibenarkan. Dan itulah keadilan baginya. Meskipun itu berarti keadilan hanya menjadi milik penguasa. Pada kekuasaan, yang lalu menjadi candu yang mengikis sedikit demi sedikit nilai-nilai kebenaran. Tanpa nilai kebenaran, tak mungkin dicapai sebuah keadilan. Tapi, rektor tak peduli dengan itu semua, dia hanya ingin segala sesuatu berjalan terencana sesuai dengan aturan yang telah dia tetapkan.
Lalu dimulailah pengadilan. Sebenarnya tidak tepat untuk dikatakan pengadilan. Karena tak ada bagian untuk mendengarkan pembelaan, beliau hanya memanggil pihak-pihak yang bersengketa pada waktu yang berbeda untuk memberikan keterangan. Selanjutnya memutuskan sendiri penjatuhan hukuman.
Keputusan lalu dijatuhkan. Yang sesuai makna katanya, jatuh, sudah pasti arahnya kebawah. Seperti apel yang menimpa kepala Newton. Begitu juga yang dirasakan oleh kepala beberapa mahasiswa. Mereka diliburkan dari kehidupan kampus. Mereka merasakan sakitnya. Ada yang merasa menyesal, ada pula yang merasa bersukur. Seperti juga sebagian orang, ada yang merasa berduka atas apa yang menimpa mereka, sebagian lain justru merasakan bahagia.
Tapi rektor tak melihat baik duka atau gembira mahasiswa. Ini pencemaran bagi nama baiknya, itulah yang dilihanya, maka para pelaku harus menerima akibatnya. Selain itu, rektor merasakan bahwa keberadaan menara merupakan ancaman baginya. Setiap saat, hal ini bisa melemahkan kedudukannya. Mahasiswa tak boleh memandang dari atas menara, yang akan menyamai kedudukannya. Mahasiswa seharusnya menengadahkan kepala agar bisa melihat kearahnya, dan harus bersuara keras untuk bisa berbicara padanya.
Maka, dijalankanlah rencana untuk merubuhkan menara. Pada tiap penjurunya dipasangi patok-patok peraturan yang perlahan-lahan akan meniadakan keberadaan menara. Mahasiswa dilarang mendekati menara tersebut, bahkan dilarang untuk berpikir mendekatinya. Pada tiap-tiap kepala mahasiswa akan disumpalkan obat yang dapat membuat pikirannya berada dibawah kendali rektorat. Setelah mereka semua dalam kendali, maka akan dihancurkannya menara tersebut.
Kebanyakan mahasiswa yang merasa peran utamanya belajar, menerima obat yang diberikan pihak rektorat. Mereka menelannya untuk meningkatkan kemampuan intelektual. Sekian lama waktu berjalan baru terasa efek sampingnya, mereka semakin tak mampu mengeluarkan suara yang keras. Kian tak ada suaranya. Sementara lidahnya semakin tak merasakan keindahan beragam rasa, selain hambar belaka.
Mahasiswa yang waktu itu diliburkan datang. Dari kedua pihak yang dulu bersengketa. Saat ini tak terasa lagi ada perbedaan diantara mereka. Mereka masih bisa bersuara lantang. Merekapun menyadari, teman-temannya mulai akan dikendalikan. Dan saat semuanya sudah dibawah kendali, mereka tak punya kekuatan untuk menentang segala peraturan. Pada akhirnya mereka akan merelakan penghancuran menara yang dulu menjadi bahan pertentangan. Menara yang dapat meluaskan sudut pandang.
”Tidak bisa tidak, ini semua harus dihentikan” Pikir mereka pada akhirnya.
Maka mereka mulai menyuarakan pemberontakan. Rencana disusun, hanya oleh beberapa orang. Tapi beberapa orang yang bisa bersuara keras akan didengarkan oleh yang lain.
Akhirnya mereka bergerak. Menyebarkan selebaran-selebaran yang menuntut penguasaan kembali atas menara. Mempropagandakan perlawanan pada peraturan yang tak mendukung pembangunan karakter mereka. Selama beberapa hari mereka memulai pergerakan, akhirnya berhasil mendapatkan banyak dukungan.
Ribuan orang mahasiswa berkumpul di sekeliling menara. Beberapa orang yang memimpin berteriak-teriak mengobarkan semangat juang. Mereka mencabut patok peraturan, mereka menghancurkan jeruji yang menghadang. Tak terbendung pergerakannya.
Rektor yang murka akibat keberadaannya tak dianggap ada, datang dengan menghadirkan penjaga keamanan. Terjadilah baku hantam akibat tak ada yang besedia mengalah. Rektor tak bersedia menurunkan kedudukan, mahasiswa tak bersedia mengurungkan kekecewaaan.
Tapi, sekelompok keamanan tak sanggup melawan persatuan massa yang marah. Mereka dikalahkan oleh kekuatan pemberontakan yang mencari kebenaran. Candu kekuasaan pun tak sanggup menahan terpaan gelombang.
Rektor ditangkap, diarak-arak dalam irama yang naik turun. Dibawa dirinya berkeliling kampus agar mengetahui keadaan. Rektor meringis, lalu menangis. Telinganya mulai mendengar, matanya mulai melihat. Ternyata, kampus ini, tak bisa dimiliki seorang diri.
*****
Bandung, Maret 2006