Detik demi detik terus
Lewat di setiap jerih
Semua keluh kesah dari gundah
Kami kunyah hingga ke rempah
Ingin muntah!
Lalu ku cerna sedikit demi sedikit
Dengan kebesaran hati
Pahit ternyata adalah manis
Tertawa adalah penyesalan
Kutaruh beban yang jadi hantu
Pada sekelumit kata jiwa
Untuk karib yang seirama
Bertahan adalah seminimal kita
saat bertanya:
Pintu penyelesaian tugas akhir, kenapa tak terbuka?
Saturday, November 26, 2005
Friday, November 18, 2005
jiwa yang gersang
Purnama bercahaya lagi. Diatas sana, pancarannya kembali mengaduk beragam rasa di jiwa ini, jiwa yang kembali terasa sepi. Bukan seperti periode yang berdentang-dentang di masa lalu, disaat jiwa mempertanyakan belahannya dan membutuhkan lebih dari sekedar sewujud hampa untuk mengisi bilik-bilik kosong yang pintunya terbuka sebagian. Ruangan itu masih ada, tetapi telah menciut seiring purnama yang terus berlalu dan datang menemukan wujudnya kembali. Kini, hampir tak kurasakan beradanya.
Tetapi tetap, jiwa ini memang masih terasa sepi, gersang dan haus. Terus saja miskin dari tetasan-tetesan yang bisa menumbuhkannya, atau membesarkannya hingga seluas alam semesta. Seperti hari kemarin, ketika aku berada dalam kebodohan lama, berbicara dengan menggunakan ego, dan mempertahankannya sampai sebatas mempertaruhkan kemutlakan pencipta. Disambut dengan secuil ego bertopeng argumen yang lagi-lagi hanyalah secuil debu jika dihadapkan pada realitas yang menguasai kita. Bisakah semua ini disebut ada?
Alangkah rendahnya, keberadaan manusia yang diberikan secuil jiwa untuk ditumbuhkan bersama penginderaan dan akal, yang masih saja memelihara dan membesarkan ego hingga melebihi kebesaran jiwanya.
Tetapi tetap, jiwa ini memang masih terasa sepi, gersang dan haus. Terus saja miskin dari tetasan-tetesan yang bisa menumbuhkannya, atau membesarkannya hingga seluas alam semesta. Seperti hari kemarin, ketika aku berada dalam kebodohan lama, berbicara dengan menggunakan ego, dan mempertahankannya sampai sebatas mempertaruhkan kemutlakan pencipta. Disambut dengan secuil ego bertopeng argumen yang lagi-lagi hanyalah secuil debu jika dihadapkan pada realitas yang menguasai kita. Bisakah semua ini disebut ada?
Alangkah rendahnya, keberadaan manusia yang diberikan secuil jiwa untuk ditumbuhkan bersama penginderaan dan akal, yang masih saja memelihara dan membesarkan ego hingga melebihi kebesaran jiwanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)