Sebuah perjalanan dari seorang yang berinisial aku, sebenarnya tidak bisa lepas dari tiga aspek perjalanan,
1. Perjalanan Fisik
2. Perjalanan Rasa
3. Perjalanan Spiritual
Ketika tidak lagi menjalani satu atau seluruh perjalanan itu, artinya MATI.
Perjalanan fisik, fisik selalu berperjalanan, bisa berupa perjalanan sederhana melalui aktifitas lima indera yang selalu mengecap dan memaknai lingkungan sekitar. Ketika makna yang selalu dihantarkannya menjadi sama dalam setiap langkah, artinya sudah sampai pada sebuah lingkaran, dan tak menghantarkan diri ini kemanapun kecuali kepada posisi yang telah dilalui dan akan dilalui kembali. Aku berjalan, tapi akan merasa mati pada saat yang sama. Itulah kenapa aku selalu butuh melakukan aktifitas diluar sebuah rutinitas.
Tapi bukan sepenuhnya mati ketika masih bisa mengecap rasa yang berbeda dari setiap perjalanan fisik. Rasa lalu memainkan peranannya dalam memaknai setiap perjalanan. Berpikir, berlogika, menggunakan intuisi, memakai hati, saat itulah aku menciptakan perjalanan rasa. Rasa bisa bersumber dari sepotong kecil bernama hati, yang lalu memberi nilai berupa kesan pada setiap hal pada lingkungan. Bisa kepada manusia, binatang, tumbuhan, bahkan angin yang berhembus pun tetap bisa memberi warna pada rasa. Oleh karena itulah perjalanan ini tak pernah bisa berakhir. Kecuali jika suatu saat harus berhadapan denga suatu tahap yang disebut mati rasa.
Tiba-tiba aku dihadapkan pada sebuah keadaan dimana indera sudah tak lagi mengecap hal-hal baru dan rasa memainkan peranan yang melebihi kewenangannya. Aku perlu mengembara, tetapi tak bisa kemana-mana atas kekangan fisik yang tak bisa pindah ini. Aku ingin melepaskan semua rasa berlebihan yang lalu malah menjadi beban ketika tak lagi bisa menilai secara objektif, tak lagi bisa bersahabat dengan logika. Ketika itu terjadi, di dalam sini banyak terjadi peperangan, tak ada lagi rasa tenang, tentram dan bahagia yang selayaknya masih dirasakan oleh kehidupan. Apa lagi yang bisa dilakukan selain melakukan perjalanan spiritual.
Perjalanan spiritual memang selalu memanggilku setiap saat aku memerlukan pemaknaan yang lebih objektif terhadap kehidupan. Kenapa aku harus ada? Kenapa dunia harus ada? Dan apa yang akan aku lakukan terhadap dunia dimana aku berada di dalamnya? Dan masa ini adalah masa yang tepat untuk mengambil porsi lebih terhadap perjalan ini dibanding perjalanan lainnya. Mungkin dengan jawaban pertanyaan atas perjalanan ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan lain, atau minimal membawanya pada arah yang lebih memajukan.
Perjalanan spiritual mulai memegang peranan. Aku mulai sering berpikir dengan upaya menghayati kehidupan dan mencari ketenangan di dalamnya. Mungkin telah banyak orang yang berusaha menjawab ini dimasa yang lampau, akupun mencoba melihat kepada pemikiran mereka yang telah lebih dahulu menemukan atau mencari pemaknaan atas kehidupan. Toh ketika ilmu pengetahuan begitu berkembang di Eropa, tidak lain terjadi karena renaissance, dimana mereka mempelajari kembali pemikiran-pemikiran dan filsafat ahli-ahli yunani beberapa abad sebelumnya.
1. Perjalanan Fisik
2. Perjalanan Rasa
3. Perjalanan Spiritual
Ketika tidak lagi menjalani satu atau seluruh perjalanan itu, artinya MATI.
Perjalanan fisik, fisik selalu berperjalanan, bisa berupa perjalanan sederhana melalui aktifitas lima indera yang selalu mengecap dan memaknai lingkungan sekitar. Ketika makna yang selalu dihantarkannya menjadi sama dalam setiap langkah, artinya sudah sampai pada sebuah lingkaran, dan tak menghantarkan diri ini kemanapun kecuali kepada posisi yang telah dilalui dan akan dilalui kembali. Aku berjalan, tapi akan merasa mati pada saat yang sama. Itulah kenapa aku selalu butuh melakukan aktifitas diluar sebuah rutinitas.
Tapi bukan sepenuhnya mati ketika masih bisa mengecap rasa yang berbeda dari setiap perjalanan fisik. Rasa lalu memainkan peranannya dalam memaknai setiap perjalanan. Berpikir, berlogika, menggunakan intuisi, memakai hati, saat itulah aku menciptakan perjalanan rasa. Rasa bisa bersumber dari sepotong kecil bernama hati, yang lalu memberi nilai berupa kesan pada setiap hal pada lingkungan. Bisa kepada manusia, binatang, tumbuhan, bahkan angin yang berhembus pun tetap bisa memberi warna pada rasa. Oleh karena itulah perjalanan ini tak pernah bisa berakhir. Kecuali jika suatu saat harus berhadapan denga suatu tahap yang disebut mati rasa.
Tiba-tiba aku dihadapkan pada sebuah keadaan dimana indera sudah tak lagi mengecap hal-hal baru dan rasa memainkan peranan yang melebihi kewenangannya. Aku perlu mengembara, tetapi tak bisa kemana-mana atas kekangan fisik yang tak bisa pindah ini. Aku ingin melepaskan semua rasa berlebihan yang lalu malah menjadi beban ketika tak lagi bisa menilai secara objektif, tak lagi bisa bersahabat dengan logika. Ketika itu terjadi, di dalam sini banyak terjadi peperangan, tak ada lagi rasa tenang, tentram dan bahagia yang selayaknya masih dirasakan oleh kehidupan. Apa lagi yang bisa dilakukan selain melakukan perjalanan spiritual.
Perjalanan spiritual memang selalu memanggilku setiap saat aku memerlukan pemaknaan yang lebih objektif terhadap kehidupan. Kenapa aku harus ada? Kenapa dunia harus ada? Dan apa yang akan aku lakukan terhadap dunia dimana aku berada di dalamnya? Dan masa ini adalah masa yang tepat untuk mengambil porsi lebih terhadap perjalan ini dibanding perjalanan lainnya. Mungkin dengan jawaban pertanyaan atas perjalanan ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan lain, atau minimal membawanya pada arah yang lebih memajukan.
Perjalanan spiritual mulai memegang peranan. Aku mulai sering berpikir dengan upaya menghayati kehidupan dan mencari ketenangan di dalamnya. Mungkin telah banyak orang yang berusaha menjawab ini dimasa yang lampau, akupun mencoba melihat kepada pemikiran mereka yang telah lebih dahulu menemukan atau mencari pemaknaan atas kehidupan. Toh ketika ilmu pengetahuan begitu berkembang di Eropa, tidak lain terjadi karena renaissance, dimana mereka mempelajari kembali pemikiran-pemikiran dan filsafat ahli-ahli yunani beberapa abad sebelumnya.
Disinilah aku, mencoba menemukan kembali sebuah gambar yang saat ini hanya mempersembahkan kegelapan pada segenap penelusurannya. Kegelapan di dalam dada, kepala dan apalagi yang bisa bercahaya bila bagian dari keduanya telah tergelapkan. Penelusuran jauh kedalam lubuk keinsanan atau bahkan pengembaraan jauh demi keluar dari batas-batas keduniaan, mungkin akan ada jawaban diujung sana. Semoga.