Izinkan aku memperkenalkan sesosok Bejot...
Si Bejot adalah temanku yang begitu setia.
Kala sang surya memanggilku dengan hangatnya, dan kujawab dengan selimut yang semakin rapat membungkus tubuh, Si Bejot telah siaga untuk mengantarkanku kuliah setelah semalaman bergulat dalam gelap malam dan dinginnya udara yang menusuk kulit, dengan tetap terjaga.
Terlambat menjawab panggilan mentari dan merelakan selimut kabut pergi, aku panik, dan memaksa Si Bejot mengantarkanku pergi ke kampus, menyiksanya dengan kecepatan diatas standar pria mapan. Dengan kesetiaannya yang tak berperi, Si Bejot tidak menunjukkan sedikitpun pemberontakan.
Kesibukan perkuliahan yang semakin menuju kulminasinya membuatku tak punya pilihan lain selain meninggalkan Si Bejot di parkiran. Si Bejotpun menunggu, tanpa pernah pergi meninggalkanku dalam kesendirian. Meski panas dan hujan menguji kulitnya yang berwarna kehijauan, dia tak bergeming. Tetap setia menunggu bersama sosok-sosok lain yang bahkan belum dikenalnya.
Saat senja hari tiba, aku menemui Si Bejot dalam keadaan menunggu, dia tetap tak menunjukkan ekspresi kemarahan. Bahkan dengan kerelaan, mengantarkanku melalui jalanan Dago yang indah, dengan suasana senjanya yang tak akan tergantikan. Suasana indahnya senja yang menempati ruang-ruang pikiran dan segera mengusir segala penat kehidupan yang sebelumnya menuntut ruang baginya. Saat tempo kehidupan mulai menurun dan manusia-manusia memilih rumah sebagai tempat yang terbaik untuk berlindung dari gelap malam. Saat lampu-lampu mulai menyala sebagian, mencoba memperkenalkan gemerlapnya kota besar. Saat wanita-wanita malam mulai berdandan dan siap menjalankan perannya. Saat-saat yang paling indah di setiap hari yang bergulir, saat-saat yang kunikmati bersama Si Bejot.
Tak pernah bisa untukku melupakan Si Bejot temanku. Sebagai ucapan terima kasihku, selalu kusisihkan jatah makanku untuknya, setiap minggu menemaninya mencari nutrisi yang bisa tetap menghidupkannya. Kadang aku harus berpuasa demi keberlangsungan hidupnya. Tak ada yang lebih berharga dari teman sejati seperti Si Bejot.
Meski berteman baik, tapi Si Bejot juga sering mengecewakanku dengan tindakannya yang diluar dugaan. Kadang aku harus mengalami kepanikan luar biasa saat di persimpangan lampu merah si Bejot memilih untuk berhenti mengkonsumsi bensin. Mogok. Sementara dari belakang, klakson dan teriakan penuh sumpah serapah selalu terdengar dan semakin mengarah pada anarki. Dalam kasus ini aku tak pernah bisa memaafkan Si Bejot. Mungkin itulah masa-masa dimana sebuah pertemanan di uji dan tak ada solusi yang lebih berguna selain berusaha saling mengerti.
Meski bagaimanapun, Si Bejot hingga saat ini masih setia menemaniku. Dalam suka maupun duka. Si Bejot yang retro, Si Bejot yang berkarakter, Si Bejot yang suka ngabisin jatah makan, Si Bejot yang suka ngeceng, Si Bejot yang baik hati, meski terkadang suka bandel. Perjalanan Sesosok Bejot tak kan pernah berakhir dalam ingatanku.
Si Bejot adalah temanku yang begitu setia.
Kala sang surya memanggilku dengan hangatnya, dan kujawab dengan selimut yang semakin rapat membungkus tubuh, Si Bejot telah siaga untuk mengantarkanku kuliah setelah semalaman bergulat dalam gelap malam dan dinginnya udara yang menusuk kulit, dengan tetap terjaga.
Terlambat menjawab panggilan mentari dan merelakan selimut kabut pergi, aku panik, dan memaksa Si Bejot mengantarkanku pergi ke kampus, menyiksanya dengan kecepatan diatas standar pria mapan. Dengan kesetiaannya yang tak berperi, Si Bejot tidak menunjukkan sedikitpun pemberontakan.
Kesibukan perkuliahan yang semakin menuju kulminasinya membuatku tak punya pilihan lain selain meninggalkan Si Bejot di parkiran. Si Bejotpun menunggu, tanpa pernah pergi meninggalkanku dalam kesendirian. Meski panas dan hujan menguji kulitnya yang berwarna kehijauan, dia tak bergeming. Tetap setia menunggu bersama sosok-sosok lain yang bahkan belum dikenalnya.
Saat senja hari tiba, aku menemui Si Bejot dalam keadaan menunggu, dia tetap tak menunjukkan ekspresi kemarahan. Bahkan dengan kerelaan, mengantarkanku melalui jalanan Dago yang indah, dengan suasana senjanya yang tak akan tergantikan. Suasana indahnya senja yang menempati ruang-ruang pikiran dan segera mengusir segala penat kehidupan yang sebelumnya menuntut ruang baginya. Saat tempo kehidupan mulai menurun dan manusia-manusia memilih rumah sebagai tempat yang terbaik untuk berlindung dari gelap malam. Saat lampu-lampu mulai menyala sebagian, mencoba memperkenalkan gemerlapnya kota besar. Saat wanita-wanita malam mulai berdandan dan siap menjalankan perannya. Saat-saat yang paling indah di setiap hari yang bergulir, saat-saat yang kunikmati bersama Si Bejot.
Tak pernah bisa untukku melupakan Si Bejot temanku. Sebagai ucapan terima kasihku, selalu kusisihkan jatah makanku untuknya, setiap minggu menemaninya mencari nutrisi yang bisa tetap menghidupkannya. Kadang aku harus berpuasa demi keberlangsungan hidupnya. Tak ada yang lebih berharga dari teman sejati seperti Si Bejot.
Meski berteman baik, tapi Si Bejot juga sering mengecewakanku dengan tindakannya yang diluar dugaan. Kadang aku harus mengalami kepanikan luar biasa saat di persimpangan lampu merah si Bejot memilih untuk berhenti mengkonsumsi bensin. Mogok. Sementara dari belakang, klakson dan teriakan penuh sumpah serapah selalu terdengar dan semakin mengarah pada anarki. Dalam kasus ini aku tak pernah bisa memaafkan Si Bejot. Mungkin itulah masa-masa dimana sebuah pertemanan di uji dan tak ada solusi yang lebih berguna selain berusaha saling mengerti.
Meski bagaimanapun, Si Bejot hingga saat ini masih setia menemaniku. Dalam suka maupun duka. Si Bejot yang retro, Si Bejot yang berkarakter, Si Bejot yang suka ngabisin jatah makan, Si Bejot yang suka ngeceng, Si Bejot yang baik hati, meski terkadang suka bandel. Perjalanan Sesosok Bejot tak kan pernah berakhir dalam ingatanku.