Sunday, September 29, 2013

Yogyakarta

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja

Lagu Yogyakarta itu, tidak bisa tidak, akan membuat ingatan tentangnya hadir kembali. Hadir dengan berbagai cerita yang pernah tertulis ketika kita sama-sama menikmati suasana kota. Meskipun cerita itu tak melulu bahagia, meskipun selanjutnya akan membawa luka. 

Jika kita tau itu akan luka, mungkin aku tidak akan mengajaknya pergi waktu itu, di waktu bioskop sedang memutar film-film mulai dari Looper, Life of Pi, Habibie, Les Miserables, 5 cm dan yang lainnya. Dan tak mungkin pula akan aku katakan “tanganmu aku pinjam” di dalam gedung pertunjukan itu.

Tentu akan kularang juga pengamen yang pada malam hari itu menyapa kita untuk menawarkan lagu-lagu cinta, di salah satu angkringan yang ramai oleh muda-mudi itu. Didendangkan oleh pengamen itu lagu “kau cantik hari ini, dan aku suka” dengan suara yang ternyata cukup bagus, lagu yang membuatnya tersenyum-senyum dengan pipi memerah, yang membuat pengamen itu memanggilnya aisyah.

Siapa yang tak akan suka menangkap momen itu, momen tawa dengan pipinya yang memerah, sehingga tak kutampik ajakannya berburu foto di jalanan sekitaran keraton itu. Kita suka untuk menemukan hal-hal unik yang biasanya terlewat oleh mata biasa, termasuk itu zebra cross, atau gembok yang menggantung, anak-anak bermain, atau penjahit jalanan yang sudah bergaya untuk difoto meskipun yang tertangkap kamera hanya celana yang sedang dijahitnya.

Bila itu tak terasa menyenangkan, tentu tak akan berlanjut perjalanan kita hingga ke jalan-jalan jauh melewati gunung kidul, menemui gua dan bukit itu. Berlibur di alam yang tak biasa, sambil berjalan mendaki bukit kecil Nglanggeran, dengan nafas yang tinggal satu dua, entah bagaimana justru menambah cerianya, membuatnya tertawa-tawa kekanakan yang mempesona sepanjang jalur pendakian. Sampai nafas kita yang cepat itu mereda saat melihat pemandangan menghijau yang membawa kesegaran bermula dari mata hingga ke rongga data. Dan baginya, lelah itu terbayar oleh produksi kicau twitter di atas gunung. Dalam perjalanan pulang itu, ketika sholat magrib di masjid tepi jalan, jika suara lantunan Alfatihah itu kita tau akan menyentuh pintu hatinya, tentu akan kita cari imam yang lain.

Di kali lain, kita tembus lagi itu pegunungan selatan, menjelajah pantai-pantainya yang terkenal. Berjajar pantai-pantai mulai dari Baron, Kukup, Krakal, Drini dan entah apalagi. Sulit untuk diingat karena kita sibuk saling bercerita, bercanda dan bertengkar. Disela-sela angin yang berhembus kencang menerpa gubuk-gubuk reot yang menjajakan es degan itu, diantara hempasan ombak yang menerpa karang, kita sepakatkan untuk menghilangkan sementara keraguan, untuk berjalan bersama ke tempat yang lebih jauh, ke masa yang lebih mendatang.

Karena titik akhir belum kita ketahui, itulah sebabnya pada suatu ketika kita pergi lagi menembus bebukitan menuju kampung bapak, dua jam saja dari jogja. Untuk membaca Quran di tempat beliau beristirahat.

Perjalanan itu sulit untuk dilupakan, karena motor kita yang sudah lama itu kita paksa melewati jalan yang berkelak kelok, jalanan naik turun dan berlubang, menembus hujan yang membadai, perjalanan dua jam harus kita panjangkan hingga empat jam, betapa dinginnya udara, betapa tak bersahabatnya angin, betapa gelapnya malam. Satu dua pengendara yang berpapasan atau yang memotong jalan kita adalah teman, karena kita pengendara dalam badai yang berusaha entah bagaimana untuk sampai di rumah. Untuk mengusir udara dingin dan perasaan cemas terpaksa kita nyanyikan berbagai lagu-lagu, jika habis lagu lama, kita putarlah lagu cinta, jika selesai lagu cinta maka lagu nasional tak kita tinggalkan. Itulah kenapa kita banyak-banyak bersyukur bisa sampai juga di rumah, meski malam hampir larut.

Waktu itu kita menyadari betapa spesial masing masing kita bagi satu sama lain. Sehingga kupersiapkan juga dengan spesial perayaan hari kelahirannya. Sedari pagi kusiapkan tempat makan malam yang istimewa di kafe di teras gedung mall dengan live musik itu. Selesai kita makan, sunyi sejenak, sebelum tiba-tiba band itu membawakan lagu happy birthday to you, dan pelayan membawakan kue dan kado yang sudah kupersiapkan untuknya, membuat tersipu wajahnya, membuat kita jadi bahan penglihatan pengunjung lain, beberapa bertepuk tangan. Ketika dia tiup dan potong kue tar itu, potongannya terlalu banyak untuk berdua sehingga harus kita berikan juga ke meja yang lain.

Di kota Jogja kita sementara menjalani hidup, kita menikmati hidup, termasuk itu musik jazz di waktu hujan, irama jazz yang sulit dimengerti, seperti juga galeri seni yang kita kunjungi dan tak kita pahami. Ramai orang memadati, dari satu panggung ke panggung lain, irama jazz dan hujan adalah keserasian yang perpaduan manusia dan alam berikan untuk menjadi sumber bahagia kita. Untuk melengkapi suasananya, tentulah kita teguk pula wedang jahe hangat. Apakah waktu bisa berhenti di sini, yang begitu ternikmati? Tetapi waktu terus berjalan tak peduli kita menikmati atau meratapi.

Kita terus bersama mengesampingkan segala perbedaan yang ada diantara kita. Apalah arti berbeda selera makan, berbeda kesukaan, berbeda pengetahuan, berbeda pengalaman dibandingkan perasaan kita yang sedang euforia. Bukankah perbedaan itu yang membuat kita belajar saling menerima? Bukankah kita tetap berbahagia?

Masa-masa itu kita berbahagia, tetapi kita tak tau bahwa itu akan membawa luka. Karena pada suatu waktu tak bisa kucegah untuk mengucapkan kata bahwa tak tau hubungan ini akan dibawa kemana, ada dinding itu yang belum bisa kita tembus, ada kekecewaan itu yang belum bisa kita terima. Jikalau kita tau itu akan sebegitu luka meski sebelumnya bahagia, jikalau kita diberikan pilihan untuk mengulanginya, entah apakah kita masih akan menempuhnya atau justru akan menghindarinya.

Suatu waktu kudengarkan lagi lagu yogyakarta, terlintas pula bayangannya..

Walau kini kau telah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk slalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…