Sunday, June 30, 2013

nenek sudah tua


Malam hari pukul 10 malam, saat berjalan di trotoar dekat gambir untuk pulang menuju kosan. Bertemulah aku dengan seorang nenek. Nenek itu badannya membungkuk hampir 90 derajat, di tangan kirinya dia memegang tampah (anyaman bambu berbentuk bundar yang biasa dipakai untuk menampi beras {menampi = membersihkan beras dari kotoran sebelum dimasak dengan cara seperti diayak}) di tangan kirinya dia memegang kursi plastik kecil berwarna hijau, di atas punggungnya dia menggendong bakul beserta isinya.

Pernah mendengar sebuah riwayat, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah terlambat menuju sholat subuh berjamaah di masjid karena di depannya ada kakek yang berjalan pelan, dan dengan alasan tertentu beliau tidak mau memotong jalan kakek itu. Sehinggalah aku juga memelankan jalan, enggan memotong jalan nenek ini.

Sambil menjejerkan langkah, kutawarkan bantuan untuk membawa bakulnya yang kelihatan berat. Nenek itu bertanya aku hendak kemana. Diberi tahu arahku yang berbeda dengan arahnya dia lalu menolak tawaran bantuanku, tempatnya masih jauh katanya, masih jalan terus menelusuri tepian kali. Kubujuk berkali-kali nenek itu tetap tidak mau.

Dia bilang, dia jualan lontong di dekat halte bus gambir, tetapi dagangan tidak terlalu laku hari ini. Katanya biasanya dia naek bemo, tapi tadi bemonya tidak mau mengantar beralasan bahwa ke tempat tinggalnya perlu memutar jalan yang cukup jauh. Karena ditawari berkali-kali dia tidak mau, aku coba membantunya dengan memberikan sedekah uang ala kadarnya, nenek mulanya menolak, akhirnya menerima dan membalas dengan untaian doa indah. Akhirnya sambil memohon maaf, aku berjalan duluan.
Sampai sejauh ratusan meter aku berjalan cepat di depan nenek itu, kulihat kebelakang, nenek itu masih tidak jauh dari tempat berjalannya waktu kutinggal, masih berjalan tertatih-tatih. Yang sangat kontras dengan cepatnya jalan orang-orang yang berpapasan dengannya, juga lebih kontras dengan seliweran kendaraan yang menderu di tengah jalan. Pelaaaan sekali jalan nenek itu.

Timbul lagi rasa iba di hatiku, muncul juga pikiran di benakku, bagaimana jika tiba-tiba dia sampai pada batas kekuatannya, karena beban yang dibawanya terlalu berat, jarak yang ditempuhnya terlalu jauh, kekuatannya terlalu terbatas.. bagaimana jika dia terjatuh di tengah jalan, dan tidak bangun lagi. Tentu aku akan merasa bersalah sekali.

Akhirnya aku berbalik arah, kembali menghampiri nenek itu. Nenek itu agak terkejut melihatku kembali. Kali ini aku menawarkan membawa barangnya dengan sedikit memaksa, mengatakan aku tidak bisa tidur malam ini jika dia belum sampai rumah. Akhirnya nenek itu mengiyakan.

Aku bawakan bakulnya yang berisi barang dagangan yang cukup berat, tanpa barang bawaan di punggungnya ternyata dia tetap membungkuk yang mungkin karena faktor usia. Saat kuminta membawakan juga tampah dan kursi plastiknya, dia menolak. Ternyata tampah di tangan kiri dan kursi plastik di tangan kanan itu adalah alat yang membantunya berjalan, untuk menapak tanah biar tidak jatuh. Tiap kali ada jeglongan, daerah berlubang atau tidak datar di trotoar, jalannya jadi berhenti dan sangat hati-hati karenanya matanya sudah tidak awas.

Terlintas juga caci maki untuk pemerintah daerah yang tidak menyediakan trotoar yang layak buat pejalan kaki, terutama untuk pengguna yang sudah berkurang kemampuan penglihatan dan berjalannya yang seperti nenek ini.

Aku menjejeri langkahnya, sambil mengajaknya bercerita. Nenek yang baru pulang sehabis berjualan lontong, buah, rokok dsb. Nenek yang berasal dari Jogja seperti nenek ku. Nenek yang bahasa Indonesianya masih terpatah-patah, lebih mudah berbahasa jawa yang halus. Tiap kali nenek bicara dengan bahasa jawa halus, tiap kali pula aku menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Belum tentu yang kami bicarakan itu saling sambung menyambung. Nenek ini terlihat menyesal karena sudah membuatku kerepotan atau keberatan.

Lambat sekali jalan kami. Melewati trotoar yang tidak rata yang bolong-bolongnya berbahaya, melewati parkir aneka mobil, melewati berbagai penjual makanan, melewati gang yang gelap menelusuri pinggiran kali.
Sampai kami di depan tempat tinggal nenek itu. Ketika aku mau pamit, malah si nenek membekaliku dengan aneka buah-buahan salak dan jeruk yang diambil dari dagangannya. Dengan terpaksa aku menerima, untuk menyenangkan nenek yang harga dirinya tinggi ini. Nenek yang mau hidup mandiri dan tidak mau merepotkan orang lain.

Ketika kutanya, anaknya masih ada, kenapa nenek masih berjualan. Jawabnya adalah untuk mencari hiburan, daripada di rumah membosan. Sudah cukup sering ketika pulang dari suatu perjalanan aku bertemu nenek-nenek jawa yang membawa bakul  berat di punggungnya yang sedang menempuh perjalanan yang sepertinya jauh.

Terlintas tanya di kepala, benarkah bahwa orang-orang tua yang masih bekerja hingga tua itu masih bekerja dengan alasan mencari hiburan, memaksimalkan kemampuan dirinya, bukan semata-mata motif ekonomi? Tentunya tak bisa berkomentar banyak jika kelak survey membuktikan demikian, bahwa ekonomi bukanlah alasan mereka untuk masih bekerja di luar rumah dan melakukan perjalanan jauh.

Namun jika alasan sebenarnya adalah faktor ekonomi, tentu harus ada solusi yang dilembagakan. Seandainya memungkinkan, suatu saat Negara ini harus memberikan tunjangan kepada kakek atau nenek dalam keadaan tertentu, yang keluarganya tidak mampu atau yang tinggal sebatang kara, agar setidaknya mereka terlepas dari beban kehidupan sehari-hari, terlepas dari kekhawatiran harus mencari nafkah jika tidak tinggal bersama cucunya, agar seorang anak atau cucu lebih tergerak untuk merawat orang tua mereka yang masih tersisa yang usianya sudah tua. Mungkin setidaknya itu bisa membuat usia harapan hidup manusia di negeri ini meningkat, yang saat ini jauh lebih kecil daripada di negara-negara maju sana (Rata-rata life expectancy di Indonesia 69.5 Tahun, sementara UK 80.5 Tahun).

Tunjangan itu mungkin seperti tunjangan hari tua pensiunan pegawai ditambah dengan berbagai bentuk perlindungan sosial lain seperti kesehatan dan sebagainya. 

Ketika melihat seorang nenek atau kakek yang sudah tua di rumah sering aku bertanya-tanya, apa kira-kira yang ada di benaknya. Apa hidupnya sudah sesuai dengan cara hidup yang selama ini dia inginkan. Apa mimpi-mimpi hidupnya sudah tercapai..

Namun tak berani kutanyakan itu, khawatir jawabannya akan menimbulkan perasaan tidak enak. Hanya satu yang aku tau, bahwa dalam usia tua itu, jangan sampai ada kekhawatiran pada diri seorang nenek atau kakek untuk memenuhi kehidupan dasarnya. Jika mengacu pada piramida maslow, maka setidaknya nenek atau kakek sudah harus mengaktualisasikan diri atau memenuhi kebutuhan spiritual.

Bahkan dalam Quran sudah ditekankan untuk memperlakukan orang yang berumur lanjut dengan baik sejak dari perkataan, dilarang membentak, dan harus mengucapkan perkataan mulia dan mendoakannya dengan doa “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telak mendidik aku waktu kecil.” (Quran 17: 23, 24).

Sambil berpamitan kepada nenek itu, aku hanya berjalan pulang sambil kepala tertunduk dengan pikiran berkecamuk. Teringat kepada nenek di rumah sana, ingin datang, dan memeluknya..

Jakarta, 30 Juni 2013