Wednesday, October 24, 2012

Euro Trip: Introduction

Alkisah, lagi-lagi semua dimulai dari mimpi. Pada suatu malam itu aku bermimpi, lalu bangun pagi, lalu terus mandi, lalu tak lupa pula ku menggosok gigi, lalu membersihkan tempat tidurku. 

Selama beberapa waktu matahari sedang tidak ada di Leeds, meskipun sebenarnya musim sedang memasuki panas, the great british summer. Rasanya sudah lama mendekam di sebuah kamar kecil di flat kecil di kota kecil ini, mengerjakan tugas-tugas, thesis dan semacamnya, sehingga sebuah liburan tampak tak bisa terelakkan. Maka ku menghadap dosen pembimbing meminta izin. “I need a holiday, somewhere in the summer, sir.” Kataku dengan gaya seolah bukan berasal dari sebuah Negara berkembang yang berkecukupan panas. Dosen pembimbing maka memberikan izin. 

Dalam kurun waktu merencanakan perjalanan tersebut, timbul beberapa problema, dengan siapakah berangkat ke Eropa? Ada sebuah fakta tragis untuk orang seganteng diriku, bahwa pacar tidak punya. Sehingga tak ada teman wanita yang bisa diajak melakukan simulasi bulan madu di Eropa. Teman banyak, namun ketika ditanyakan kepada beberapa orang sesama Indonesia di Leeds, ternyata tak ada kesesuain jadwal. Sementara pilihan terakhir, berpergian ke Eropa dengan seorang Kiki the Explorer yang karena untuk alasan menghemat biaya transportasi merencanakan untuk membawa sepeda atau seminimal-minimalnya rollerskate terasa seperti bunuh diri. Maka sendirian saja sudah, kuputuskan berangkat sendirian, atau tidak sama sekali. 

Tujuan travelingku adalah Belanda, Perancis, Spanyol, dan Italia. Sementara aplikasi visa harus dilakukan di Negara yang terlama dikunjungi, sementara ada desas desus bahwa mengurus di kedutaan Belanda lebih mudah dan cepat selesai, maka berbekal dua premis itu kuputuskan memperlama waktu kunjungan di Belanda sebanyak empat malam sedang buat Negara lain sebanyak maksimal tiga malam. 

Maka ku menghadap ke kedutaan Belanda di Inggris Raya. Dengan waktu dua minggu sebelum keberangkatan dan padatnya aplikasi visa pada musim liburan ini, si Bapak orang Belanda berbadan gemuk dan besar itu meragukan visa akan bisa selesai. “Let us just crossed our finger.” Katanya, ga ada rasa-rasa bersalahnya bahwa bangsanya sudah menjajah Negara ku tercinta, untuk setidaknya memberikan kelonggaran buat warga Indonesia. Sekedar perbandingan, Negara-negara bekas jajahan Inggris tak membutuhkan visa untuk masuk dan tinggal di Inggris. 

Adapun syarat visa itu antara lain: Foto ganteng ukuran paspor yang membuktikan tidak akan fakir rupa selama di Eropa, bukti booking tiket yang membuktikan kemampuan mencari tiket termurah dari Jet 2, Easy jet atau Ryan Air dengan tanggal pulang dan pergi, bank statement yang membuktikan bahwa pemilik uang sudah berbulan-bulan mengirit belanja makan, booking hotel (itinerary) yang menunjukkan tidak punya hobi menggelandang serta surat keterangan pelajar dari universitas yang menunjukkan bahwa ybs hobi belajar. Adapun untuk syarat itu semua yang berhubungan dengan pembiayaan, harus disertai bukti pembelian/pemesan yang mencantumkan kartu kredit atau debit si calon traveler.

Setelah syarat-syarat itu semua terpenuhi dan menyilangkan jari selama beberapa hari. Akhirnya passport yang sudah ditempeli stiker visa Schengen tiba di alamat rumah, sebagai bonus diberikannya waktu kunjungan lebih lama, yaitu sebulan dari dua minggu yang diajukan. 

Ada sedikit permasalahan bahwa seorang mahasiswa yang studi oriented sepertiku tak punya waktu buat mempersiapkan perjalanan, apakah itu itinerary lokasi wisata mana saja yang akan dituju, tak punya waktu buat mencari hotel strategis, bahkan tak rela mengeluarkan uang untuk membeli buku Lonely Planet Europe. Bahkan sampai hari keberangkatan aku tak tau akan kemana, hanya berbekal lokasi hotel yang telah dibooking dengan bantuan pihak Sta travel dengan kriteria hotel termurah yang bisa dia dapatkan, serta sebuah Euro Rail tiket untuk perjalanan darat berbagai kota di Eropa. 

Setelah pagi-pagi packing seadanya, memasukkan berbagai pakaian seperlunya ke dalam ransel ala backpacker. Sekitar jam 12 siang aku masih baru saja menyebarkan lewat sosial media empat buah kuesioner online untuk thesis. Straginya adalah, selama diriku jalan-jalan, orang lain akan menyelesaikan pengumpulan data thesisku, jadi tak ada waktu yang terbuang bagi mahasiswa studi oriented ini. Tinggallah aku tersenyum-senyum sendiri memikirkan betapa cemerlangnya ideku. Lalu jam 1 siang membeli uang Euro sisa teman yang baru kembali dari Eropa. Lalu jam 2 siang berangkat ke Bandara International Leeds Bradford. Lalu jam 4 sore sudah berada di pesawat menuju Amsterdam. 

Oh hei thesis, selamat tinggal. Oh hei Amsterdam, aku datang..

Saturday, October 13, 2012

Ode to Jim Morrison

Suatu malam sekitar tahun 2004, aku pernah bermimpi. Dalam mimpiku, tergambar komplek pekuburan besar dengan bebatuan aneh, orang-orang berbondong-bondong memasuki dan berjalan diantaranya. Aku mengikuti, dan tiba pada sebuah makam dimana orang-orang berdiri menunjukkan kesedihan. 

Selang seminggu kemudian, saat pagi-pagi duduk di dipan depan himpunan HMS ITB sambil membaca koran Kompas jumat, pada bagian muda, terdapat artikel bahwa orang-orang dari seluruh dunia datang dan berziarah ke makam jim Morrison, terlihat foto sebuah makam dengan patung dan berbagai rangkaian bunga pada artikel itu yang terasa seperti yang dalam mimpiku. 

Mimpi itu mengendap di benakku dengan beragam pertanyaan. Kenapa pula sampai memimpikan pergi ke sana? Apa sebegitu sukanya aku dengan Jim Morrison ini, sehingga harus bermimpi datang ke kuburannya. Seberapa jauh seorang Jim telah masuk dan memperngaruhi alam bawah sadarku. Ku simpan gambaran itu hingga bertahun-tahun kemudian. 

Itulah sebabnya begitu menjejakkan kaki di Paris, maka hal pertama yang terpikirkan di benakku adalah mengunjungi Pere Lachaise tempat dimakamkannya Jim Morrison. Lokasinya ternyata tak jauh dari hotel, sehingga kutempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama kurang lebih setengah jam menuju ke sana. 

Setelah bertanya sana sini yang terkadang dijawab terkadang diacuhkan. Akhirnya sore itu jam tiga, seiring langit yang mendadak mendung, kulangkahkan kaki memasuki komplek pekuburan yang mencekam. Tak pernah kusangka, bahwa kompleks ini begitu luas. Berbagai peziarah lain terlihat berjalan ke tujuannya masing-masing. 

Dari papan petunjuk, tertera makam Morrison ada di no 30. Pada peta sebelah kiri, kudapati blok pekuburan no 30. Makam orang-orang terkenal mulai dari seniman, filosof, ilmuwan, dan tokoh politik lokal, aku tak peduli pada semua itu yang tidak relevan dengan tujuanku. Maka kulangkahkan kaki menelusuri. Telusuri semakin ke dalam, semakin banyak bentuk pekuburan yang aneh-aneh, sebagian besar, semakin berwana gelap, dengan berbagai coret-coretan atau patung-patung aneh.

Ada kuburan tua berlumut dengan salib besar, dengan patung bidadari bersayap, dengan tonggak iluminati, dengan patung tokoh yang bersangkutan, patung perempuan meratap, filsuf duduk dan sebagainya. Sambil jalan kutemukan ada orang gila yang berteriak-teriak bermonolog, ada dua orang berpakaian hitam-hitam seperti drakula atau sekte pemuja setan, beberapa anak muda dengan kaos Jim Morrison, seorang berseragam pastor. Pohon-pohon besar dan rindang dengan kepak sayap dan jeritan burung gagak membuat suasana semakin muram. Dari langit yang gelap berjatuhan rintik-rintik gerimis.

Salah satu kemampuan yang biasanya bisa kuandalkan adalah kemampuan orientasi dan membaca peta, namun kali ini aku tersesat. Terlalu sulit untuk menemukan arah diantara lorong-lorong kecil, bentuk pekuburan yang kelihatan sama dimana-mana, suasana mencekam. Akhirnya setelah sejam berjalan, kudapati blok no 30, namun setelah kutelusuri satu persatu makam di sana, membaca nama pada batunya, tak terlihat Jim Morrison. Jika bukan karena sudah begitu jauh perjalanan yang kutempuh dari Indonesia ke Inggris ke Perancis, ingin rasanya aku pulang saja.

Sambil menguatkan hati, akhirnya ku telusuri lagi, sambil bertanya kepada tiga orang berbeda, tidak ada yang mengetahui, aku mencari dan berputar-putar di sana sampai tiga kali, tetapi tak kudapati juga. Jangan-jangan memang bukan takdirku menemukannya. Ada sepasang orang berpacaran sambil berciuman di salah satu pojok sepi sambil duduk di atas batu makam, sungguh terlalu, tak mungkin bertanya pada mereka.

Selang beberapa lama akhirnya kutanyakan pada dua orang yang kebetulan berpapasan, ternyata mereka salah satu peziarah ke Jim yang baru saja mengalami masalah serupa, bahwa makam Morrison bukan di blok no 30, melainkan di makam no.30. Akhirnya ku cek dan menemukan kebodohanku bahwa ada dua angka 30, satu untuk blok dengan tulisan warna biru, satu untuk identifikasi makam tertentu dengan warna hitam. Ibu itu memberi petunjuk ke arah makam Morrison di blok 6, akhirnya kususuri dengan langkah penuh harapan baru. 

Menjelang semakin dekat dengan makam, perasaan agak tidak karuan. Sebentar lagi aku akan tiba di tempat tokoh idola bersemayam, musisi favorit, filosof, penyair dan seorang jenius yang mengisi perjalanan musikku, yang sekian lama menemani hari-hariku. Akhirnya aku tiba, ternyata ada banyak orang di sana yang bertujuan sama. Beberapa mengenakan attribute kaos Jim Morrison, bahkan ada yang meniru gaya rambutnya yang ala Alexander the Great. Kulihat seorang wanita muda yang menangis sesenggukan di pojokan. Tentu aku tak akan menangis.

Tadinya, kuniatkan untuk membacakan sebuah surat berisi ode kepada jim Morrison yang telah ku tulis. Namun terlalu banyak orang di sana, yang sibuk mengambil foto dan hadir dengan aura takjub dan hikmat. Sehingga, ku urungkan niat untuk membaca, ada perasaan sungkan, karena bacaan ku bukan berisi pujian, melainkan perpaduan pujian, cacian dan salam perpisahan. 

Akhirnya kukeluarkan kertas ku, kubaca saja dalam hati, suratku berikut ini.

an ode to Jim Morrison, an adieu to my youth idol.

Dear mr mojo rising,
Our interaction began when i was introduced to your music light my fire.  It strengthened when a teenager, with your face printed on his t shirt, was yelling striving for freedom on a music ceremony. What kind of freedom was it? Why it has something to do with you, i thought at the time. 

I listened to all your song, i read your biography, an American prayer books, film about you, many things intensified my adoration. Your music, poem, performance all were so unique, so unexplainable. At the stages you caused a riot, wanted to cure what so called sexual neuroses of people on the crowded. At an empty room you whispered the absurdity of poetry to open eyes and ears to inner self, to a freedom of the mind, body and soul. All made me wanted to care for you as much as i wanted to run away. 

During the time i asked myself many questions. Could it be untrue? Could you be a liar? For that invitation for celebration of the freedom, how could people got their freedom while they were following you? Why you told anyone something you did not surely know anything about. You did break on through to the other side leaving behind generation of followers, have you found what you were looking for? a flashing chance at bliss? Your risk all of the transcendental while you hardly tried to figure it out. Your risk the life and death of your entire follower. 

I'm more than 27 now, while your age stopped at this mystical number. Fortunately, i already have the most precious person to follow rather than following you, the greatest person of mankind, the prophet, peace be upon him. Then i started a trip to greet you here as i wanted to say goodbye. From now on, I don’t want to adore you no more. 

Regards