Sunday, June 24, 2012

dari balik jendela

Sepotong bulan kepagian menarik sepasang mata untuk melihat dari balik jendela, untuk memandangi yang ada di dekat sini atau yang dikejauhan sana demi sekedar menerbitkan berbagai rasa. 
Bulan yang pucat itu menggantung tanggung di langit yang kelabu. Lampu-lampu malam mulai dihidupkan, ritme kehidupan mulai menurun. Wahai bulan, kemana cahaya indah yang selama ini kau pancarkan. Kenapa gelap harus datang sebelum cahayamu menjadi terang. Kenapa kau hanya ada diluar sana, menatap dari kejauhan. Dedaunan masih hijau dan riang diwaktu engkau datang, memberi suasana sama di sini, di balik jendela. Seperti biasa datang dan pergi gelap gulitanya malam, terang benderang dalam siang juga hadir berhias langit kelabu daripada biru.

Suatu ketika dedaunan pohon itu segera menguning dan mulai berjatuhan, sebagaimana yang sudah tercatat pada buku besar kehidupan. Hanya bisa kutatapi satu persatu daun menguning itu, yang bersusah payah memberi perannya yang terakhir untuk menyuburkan alam. Ikut luruh perasaanku terkadang, dari sepasang mata yang menatap dari balik jendela.  

Seiring berlalunya waktu, bulan kembali datang, semakin dekat, semakin bercahaya. Semakin pula ia membangkitkan rasa sekaligus menghadirkan tanya, bulan yang ini apakah sama dengan bulan yang ada luar jendelanya? Saat bulan mengingatkan sepasang mata dari balik jendela padanya, apakah bulan itu mengingatkannya pada pemilik sepasang mata dari balik jendela? meski bulan selalu mengingatkan pada senyuman dan keindahan disela-sela hiruk pikuk pencarian pengetahuan dan pengejaran mimpi, namun bulan tetaplah bulan, malam tetaplah malam, sekajap dia datang lalu menghilang. Perasaan bahagia, sedih, siang, malam, teman dan segala sesuatu datang dan pergi sudah biasa dalam kehidupan. 
Di ketika lain angin begitu kencang meniup segala rupa seraya memperdengarkan desau-desau menggetarkan kaca jendela. Kupandangi pohon yang tanpa daun itu, yang meronta mencoba bertahan, jika daun-daun itu masih ada disitu, tentu sudah jatuh berdebam sang pohon mencium muka tanah yang basah. Seketika dari langit menjelma  butiran-butiran putih halus bagai kapas yang menikmati belai angin. Menciptakan momen syahdu pada mata di balik jendela yang tak menyanggupi ajakan menarikan nada alam. Mata itu sudah lelah, dinginnya yang membekukan segala raga dan rasa hanya mampu ditahan dengan berlindung di balik selimut yang nyaman. 

 
Dari balik jendela pula, ketika mentari pagi mencoba menyeruak menyinar memberi hangat, permadani putih menghampar menutupi segala sesuatu dalam arah pandang. Rasa ingin menjejaki dan menari-nari diantara tumpukan salju itu seketika tak terhankan, membuat mata dibalik jendela terlupa pada bulan, terlupa pada badai semalam juga bahkan pada bisik-bisik mimpi barusan.  

Berwaktu-waktu yang berlalu membuat salju lalu mencair, malam yang panjang perlahan menyusut. Tunas-tunas kecil mulai tumbuh di pohon itu, bunga-bunga kecil mulai menyebar di atas rumput, merekah dengan warna-warni ceria. Semua seolah-olah ingin memberi tahu bahwa harapan-harapan baru selalu akan muncul dari ketiadaan. Keindahan bunga akan muncul dari halaman yang semula membosan. Oleh karenanya mata dibalik jendela tak perlu khawatir akan ketiadaan bulan, masih banyak warna lain yang memberi arti wilayah pandang. 


Lama-lama tunas kecil di antara ranting-ranting pohon menjelma juga menjadi dedaunan, berubah warnanya dari muda hingga menua. Bertambah sedikit demi sedikit seiring waktu yang berlalu hingga menyebar menutupi ranting yang mulanya telanjang. Dengannya seruan angin dijawab dengan tarian penuh harapan akan kehidupan, akan kesegaran.

Dari balik jendela sepasang mata memperhatikan semua, hanya dari balik jendela. Bahkan saat daun-daun itu beralih dari ada, menjelang tiada, menuju ada lagi, mata yang menatap dari balik jendela seringkali merasa kosong, berusaha menemukan hiburannya dari hal-hal kecil. Dari sepasang burung yang membangun sarang dan bercanda mesra setiap pagi, semata-mata karena ketiadaan cahaya bulan.

Pada hati yang dimiliki oleh mata dibalik jendela, betapa musim telah berlalu dan berganti, belum ada daun-daun baru yang tumbuh, belum juga bunga-bunga baru yang mekar untuk mengundang getar akibat kupu yang menjejak langkah dalam tari dari satu putih ke putik lain. Musim harus berganti lagi, menyisakan satu dua tanya pada mata yang mengamati dari balik jendela.

Sunday, June 10, 2012

gelandangan dan pengemis di UK

Pada mulanya, kukira Negara maju seperti United Kingdom (UK) warga negaranya sejahtera, sehingga tak  ada yang menjadi tunawisma dan meminta-minta. Namun, rupanya di sepanjang jalan dari lingkungan kampus menuju ke city centre juga seringkali terdapat beberapa orang tunawisma yang duduk-duduk di pinggir jalan mengharap bantuan dari orang-orang yang lewat.

Secara statistik, jumlah gelandangan di seluruh UK sebanyak 380 ribu orang, atau sekitar 0.6 persen populasi.  Jumlah yang cukup sedikit jika dibandingkan dengan di Indonesia yagn diperkirakan mencapai 15 juta jiwa atau sekitar 6 persen populasi. Bagaimana cara pemerintah UK menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis ini? Sebagai Negara maju, dengan tingkat pendapatan perkapita yang tinggi, tentunya UK cukup memiliki anggaran untuk kegiatan penanggulangan kemiskinan, hal yang erat kaitannya dengan potensi menjadi gelandangan.

Jika dilihat berdasarkan pendapatan dari pajak, UK menerapkan system pajak bertingkat berkisar dari 10 sampai 50 persen. Pendapatan pajak di UK mencapai 37.5 persen dari GDP, sementara pajak penghasilan adalah sumber utama pendapatan pajak yang mencapai 155 billion per tahun. Sebagai kompensasi untuk persentase pajak penghasilan yang besar, tentunya berbagai fasilitas umum untuk kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, kemudahan, keamanan, sarana dan prasarana warga negaranya sebesar mungkin disediakan pemerintah. Salah satunya berupa program yang menjangkau kalangan mansyarakat miskinnya, yaitu berbagai tunjangan.

Untuk pengangguran, dengan devinisi usia di atas 18 tahun yang belum bekerja atau bekerja dengan waktu kurang dari 16 jam seminggu, tersedia tunjangan berupa unemployment benefit yang disebut dengan Job Seeker Allowance (JCA). Besarnya tunjangan adalah 71 GBP per minggu atau sekitar satu juta dalam kurs rupiah.

Tunjangan ini diberikan dengan berbagai perjanjian seperti berusaha mencari pekerjaan, menghubungi beberapa perusahaan setiap minggu dsb dengan evaluasi bulanan. Bagi yang sudah 12 minggu tidak mendapat pekerjaan akan masuk ke bagian “the work programme”, untuk pelatihan peningkatan keahlian dsb. Program ini ideal, selain membantu keuangan untuk mencukupi kebutuhan hidup minimal, juga mendorong para pengangguran untuk terus mengembangkan diri dan mencari pekerjaan.

Selain tunjangan ini, ada berbagai tunjangan lain seperti income support yaitu tunjangan yang diberikan untuk orang yang berkerja namun penghasilannya rendah. Ada juga housing benefit, tunjangan yang diberikan untuk membantu orang-orang yang kesulitan membayar sewa rumah, serta berbagai tunjangan lainnya.

Kedengarannya sudah ideal, mungkin lebih baik daripada program serupa di Indoensia, jika memang ada. Namun mengapa masih ada yang menganggur dan berkeliaran di jalanan? Ternyata, meskipun Negara maju, perkembangan ekonomi dan tingkat penyerapan lapangan kerja tetap tidak sebanding dengan angkatan kerjanya, sehingga tetap banyak yang tidak bisa mendapat pekerjaan, disamping anomali bahwa ada sebagian kecil orang yang justru enggan bekerja. Selain itu, ternyata ada juga pengangguran yang tidak bisa menjangkau program ini karena tidak bisa memenuhi peryaratannya. Orang yang tidak punya tempat tinggal memiliki potensi untuk kesulitan mengklaim benefit ini. Akibatnya sebagian pengangguran terpaksa menjadi gelandangan dan pengemis. Orang-orang pada wilayah tersebut, yang rawan untuk menjadi miskin, menganggur dan menjadi tuna wisma, akan semakin mengalami kesulitan untuk keluar darinya.

Demikianlah, sehingga gelandangan tetap berkeliaran, dianggap sebagai salah satu masalah sosial dan sering menimbulkan kecemasan terhadap orang-orang di dekatnya. Orang-orang cenderung merasa enggan untuk mengambil uang di ATM atau menunjukkan uang atau barang kepemilikannya jika berada dekat dengan gelandangan.

Sebagian besar gelandangan juga sangat terkait dengan penyalahgunaan obat-obatan dan ketergantungan alkohol, salah satu penelitian menyebut persentasenya 80 persen dari populasi. Mungkin minuman dan obat-obatan tersebut bisa membantu mereka keluar dari kehidupan yang kurang besahabat ini, sehingga semakin sulit untuk keluar darinya.

Meskipun bukan tindakan kriminal, oleh pemerintah pernah diambil tindakan untuk menangkap para pengemis dengan alasan mengurangi kecemasan publik dari kemungkinan tindakan agresif saat meminta atau yang mengarah pada kriminal. Kebijakan ini dikecam oleh berbagai lembaga amal yang mengatakan bahwa kebijakan ini tidak tepat, tidak efektif dan tidak menyelesaikan akar masalah.

Selain regulasi dari pemerintah, berbagai lembaga kemanusiaan juga berusaha untuk menyelesaikan masalah gelandangan dan pengemis. Salah satunya adalah Thames Reach, yang berpusat di London, yang visinya sangat mulia untuk menolong orang-orang yang lemah, tidak punya rumah dan menggelandang dengan cara memberikan bantuan tempat tinggal, menyalurkan kepada pelatihan dan lapangan kerja, membangun kembali hubungan sosialnya, membantu memperbaiki kondisi mentalnya, membantu menghilangkan kebiasaan buruk, kecanduan obat-obatan dan minuman keras. Dilaporkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir sudah 20 ribu orang ditolong untuk keluar dari kehidupan jalanan.

Betapapun idealnya, tak semua usaha bisa mencapai hasil yang sempurna. Masih banyak gelandangan dan pengemis berkeliaran di London, Leeds maupun kota-kota lain di UK. Setiap kali melihat satu dua gelandangan yang mengemis, terjadi dilemma untuk sedikit memberi atau untuk berlalu begitu saja.

Jika memberi uang, yang tentunya dilandasi oleh rasa kasihan, seringkali berarti membenarkan para pengemis untuk tetap menjadi pengemis. Terkadang memberi uang itu hanya akan dimanfaatkan untuk memanjakan mereka dengan ketergantungan pada obat-obatan dan minuman keras. Dalam hal ini, memberi uang kepada pengemis membuat kehidupan mereka lebih terancam karena mereka tidak akan berhenti mengemis dan tak berusaha memperbaiki kehidupannya.

Jika para pengemis tidak mendapatkan uang, mungkin timbul keinginan untuk merubah nasib dengan cara bergabung ke lembaga sosial yang bisa membantu mencari jalan keluar masalahnya dan membantunya mencari pekerjaan. Namun hadir juga kekhawatiran bahwa jika mereka tidak mendapat uang dari mengemis justru akan beralih menjadi pelaku kriminal, meski salah satu penelian menyebut bahwa angka kejahatan tidak bertambah ketika kegiatan mengemis dilarang.

Ada pengemis yang mengemis karena faktor sikap mental yang kurang baik, malas dsb, ada juga yang semata-mata karena keterpaksaan. Cukup sulit membedakan mana orang-orang yang benar-benar membutuhkan uang sekedar untuk makan dan bertahan hidup dan yang mana yang menjadikan mengemis sebagai profesi untuk mendapatkan uang karena memang malas bekerja.

Jika orang menjadi pengemis karena keterpaksaan, sekedar untuk bertahan hidup saat sudah mencoba berbagai cara untuk bekerja, tentunya ini menjadi salah satu dosa penyelenggara pemerintahan. Pemerintah yang belum sukses mengupayakan pendidikan atau membuka akses terhadap pekerjaan. Sehingga mau tak mau, pemerintahlah yang paling berkewajiban untuk menjawab permasalahan ini melalui berbagai upaya peningkatan ekonomi, penyediaan pendidikan dan pelatihan dsb. Tentunya bantuan dari organisasi-organisasi sosial yang didukung oleh bantuan keuangan dari orang-perorang tetap dibutuhkan agar jangkauan keberhasilanya lebih luas.

Jika di UK yang notabene adalah Negara maju dengan sumberdaya manusia dan finansialnya yang baik permasalahan ini belum bisa diselesaikan, ada indikasi menyelesaikannya di Indonesia dengan persentase dan jumlah yang lebih besar dan area yang sangat luas, bisa lebih sulit lagi. Dalam kasus pemerintah Indonesia, sebuah legenda bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara sepertinya hampir terlupakan.

Entahlah, dan kenapa pula aku sampai menulis tentang masalah ini? Mungkin karena setiap melewati satu dua pengemis yang dipinggir jalan, selalu muncul dualisme antara tega tidak tega, memberi tidak memberi, membantu tidak membantu. Setidaknya menulis tentangnya bisa setidaknya sedikit mengurangi beban pikiran..

Saturday, June 02, 2012

HMS ITB, Kaderisasi dan Sekitarnya

Pada 30 Mei lalu, HMS ITB merayakan ulang tahunnya yang ke 58, melihat berbagai ucapan di berbagai media sosial, terasa pula nostalgia dengan berbagai pengalaman selama berinteraksi dengan HMS ITB.

Ada yang bilang HMS ITB itu identik dengan OS nya keras.. emang iya. Ada yang bilang HMS ITB itu identik dengan orangnya seram-seram.. emang iya juga.

Secara pribadi, wajah HMS ITB dalam bayanganku mulai terukir sejak SMA. Sewaktu ada kakak kelas yang kuliah di jurusan Tambang ITB datang dalam penyuluhan mengenai ITB, sebagai adik kelas yang cupu, kutanyakan padanya.
“Kakak, bagaimana dengan jurusan sipil ITB, bagus kah?”
“Oh, sipil bagus kok, cewenya banyak, trus OSPEK himpunannya diajarin computer..”
“Horeee.”

Demikianlah, sehingga dalam bayanganku jurusan sipil ini begitu ideal, jurusan yang di impikan oleh pemuda dari berbagai belahan bumi Indonesia. Maka, masuklah aku ke Teknik Sipil dengan sumringah, penuh perasaan suka, impianku akan diajarkan komputer dan dikelilingi cewek-cewek trendi dari seantero Indonesia akan segera terwujud.

Demikian rasanya, sebelum mengetahui keadaan sebenarnya..

OSKM untuk seluruh mahasiswa yang disambut dengan spanduk “selamat datang putra-putri terbaik dari seluruh Indonesia” berlangsung aman. Meski dimulai dari jam tujuh pagi sampai jam 12 malam setiap hari selama seminggu, tak masalah. Ada kegiatan lari-lari keci, berbalas salam, berbagai interaksi dan diskusi. Tak masalah, cocok banget nih kampus. Namun disitu mulai beredar desas-desus tak menyenangkan soal Ospek di himpunan mahasiswa sipil, yang katanya keras.

Atithesis pertama atas wajah jurusan yang kuharapkan datang saat mengetahui ternyata proporsi cewek cowok di jurusan jauh dari berimbang yaitu 1 : 5. Itupun kucing cewek yang berkeliaran di jurusan sudah dihitung. Okelah, masih ada harapan buat wajah berikutnya: diajarkan komputer.

INTERAKSI
Himpunan adalah tempat beraktivitas yang utama di kampus ditambah dengan legenda yang beredar bahwa non anggota himpunan akan dikucilkan, praktikum akan dipersulit, maka angkatan baru tertarik untuk menjadi anggota himpunan di jurusan, yaitu Himpunan Mahasiswa Sipil (HMS ITB).

Hingga tibalah saat bertemu dengan para anggota himpunan, mereka menyebutnya OSPEKnya sebagai kaderisasi, mereka menyebut acaranya dengan nama interaksi. Kaderisasi adalah kegiatan untuk mengader, untuk mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader, yang diharapkan akan memegang pekerjaan penting dalam organisasi, dengan cara interaksi atau aksi timbal-balik.

Beberapa tahapan untuk menjadi anggota HMS biasa mengikuti pola:  
Peserta kaderisasi > calon kuya > kuya > Anggota biasa.
Masing-masing tahap itu dilalui dengan perjuangan dan pengorbanan yang (seringnya) tidak tak seberapa.

Interaksi biasanya berlangsung dua atau tiga kali seminggu, selama setahun. Diulangi, selama setahun. Ada interaksi ruangan sekali seminggu dimana isinya perkenalan dan pengetahuan, diajarkan mengenai kepemimpinan, teori organisasi, dsb. Interaksi ruangan ini boleh dikatakan: mendidik.

Ada juga interaksi lapangan, dimana peserta diajak beraktivitas fisik, dimulai dengan senam-senam kecil, diteruskan dengan lari-lari kecil keliling kampus atau keluar kampus, dilanjutkan dengan push up push up kecil, diselingi dengan teriakan-teriakan kecil. Biasanya dua kali seminggu, rabu malam dan minggu pagi.

Mahasiswa tahun pertama pada hari rabu biasanya mendapat tantangan degnan adanya kegiatan Ujian Tengah Semester (UTS), maka acara berikutnya: interaksi malam, tak kalah menantang, berlangsung dari jam tujuh malam sampai satu pagi. Seringnya dengan cuaca yang didominasi hujan, acara tetap dilanjutkan. Jadilah peserta dan panitia berlari-lari menembus hujan sambil menyanyikan lagu dan mars angkatan dengan bersemangat. Acara dilanjutkan dengan berbagai posisi push up, sit up, skot jump dsb.

Jika dilakukan dalam kondisi biasa, mungkin tak ada masalah, namun yang dilakukan di lapangan becek sehabis hujan ini agak menggiriskan juga. Alkisah, karena kehabisan baju putih akibat acara yang dua kali seminggu, pernah aku meminjam kaos putih dari seorang teman di kos. Lalu ikutlah acara minggu pagi itu, lalu ketika pulang, dengan sedihnya kudapati baju putih itu telah cokelat penuh lumpur. Dengan berbagai deterjen apapun, tak akan pernah menjadi putih kembali.   

Tingkat kesulitan acara didesain bertahap, layaknya sebuah film, game atau apapun yang memiliki flow, dengan irama yang sesuai. Makin tinggi tingkatan, makin berat acaranya. Jika pada mulanya kegiatan push up dan sit up biasa saja, maka berikutnya diperkenalkan kegiatan push up berantai. Seperti rantai, sambung menyambung menjadi satu, dari belakang barisan sampai ke depan, bobot teman yang berat ditanggung bersama.

Lalu diperkenalkan juga push up setengah, yaitu menahan posisi badan tetap di tengah-tengah pada saat push up, lalu ada juga seperempat, tiga perempat, seperdelapan dsb. Yang demikian disinyalir bisa mengakibatkan trauma dengan pelajaran berhitung dengan pecahan.  

Tidak hanya tiga posisi utama itu, para senior yang dipanggil dengan sebutan bos dan bis ternyata juga kreatif dengan memperkenalkan berbagai penindasan fisik lainnya. Maka, jadilah peserta melakukan jalan jongkok, jalan bebek, jalan anjing, jalan kepiting. Sebut saja nama salah satu binatang, maka taulah kami bagaimana bentuk jalannya. Semikian acara yang berlangsung setiap minggu. Sehabis berbagai aktivitas fisik, pernah pula disuruh berjalan jongkok di selokan, di tenggelamkan, lalu ketika naik ke atas diberi satu dua tamparan manis.

Salah satu kegiatan lainnya yang membekas adalah acara oleh para swasta. Swasta adalah kategori untuk yang angkatannya 3 tahun diatas atau lebih. Swasta lebih berkuasa, telah banyak manis pahit kehidupan kampus, disebut super bos, dewa dsb. Pada malam itu diadakan acara ruangan, yang dilakukan didalam ruangan, namun tak kalah kejam.

Di sebuah ruangan yang bernama LFM, dimana bangku memanjang berderet dengan ruang kecil untuk disela-sela meja dan tempat duduk. Para peserta harus masuk ke dalam celah diantara bangku itu setiap kali disuruh, dan keluar lagi setiap kali disuruh, sesuai hitungan komandan lapangan (danlap) untuk mencapai kesigapan yang ditargetkan. Tak cukup dengan itu, datang pula seorang senior bertubuh tinggi berambut gondrong yang berjalan diatas meja sambil menampari satu persatu peserta, dari kiri ke kanan depan ke belakang sambil tertawa terbahak-bahak. Seiring tamparan manis itu, tertampar pula wajah jurusan yang tercinta ini di dalam benakku, yang kata kakak kelasku dulu Ospeknya akan diajarkan komputer.

Bisa disimpulkan bahwa interaksi yang dimaksud itu, aksi timbal balik itu, adalah senior menyuruh junior melakukan aktivitas fisik/mental yang akan disambut baik oleh junior tersebut dengan melakukan aktivitas fisik/mental dan akan berakibat pada tindakan fisik/mental lainnya.

KUNJUNGAN MALAM
Ada kegiatan yang dinamakan kunjungan malam, biasanya di malam minggu. Asumsinya adalah para bos di HMS banyak yang jomblo, sehingga membutuhkan mahasiswa baru untuk datang dan bercengkrama. Bagi seorang peserta, jika memiliki pacar pada masa-masa ini, maka ada dua kemungkinan: adalah pacarnya begitu penyabar sehingga rela dijadikan prioritas yang kesekian, atau hubungannya berakhir. Jika memiliki gebetan anak unpad jatinangor sepertiku saat itu, tak perlu berharap akan hasil gilang gemilang. Karena segala sesuatu sumberdaya yang dimiliki, termasuk waktu, dipersembahkan kepada acara kaderisasi ini. 

Ada indikasi bahwa interaksi personal melalui kunjungan malam kepada para bos dan bis ini bisa membuat kader-kader menjadi lebih memahami kondisi himpunan dan menambah motivasi dan aspek positif lainnya. Bagi seorang ketua angkatan dan koordinator kelas, keadaan dilematis adalah saat disuruh menghadirkan lima belas orang untuk kunjungan malam.

Sulit rasanya memilih orang untuk mengemban tugas mulia ini, biasanya dipergilirkan. Saat itulah, dering telepon di kosan terasa sangat angker. Lebih baik berpura-pura tidak ada, pura-pura pingsan, daripada menjawab telepon yang biasanya tau-tau memberitahukan perintah kunjungan malam.

Pertemuan dengan bos saat kunjungan malam biasanya menggambarkan nasib baik dan buruk, ada yang bertemu bos ramah yang menyampaikan segala pesan dengan welas asih, adapula yang bertemu bos "unik" yang mengajak untuk terus berpikir dalam rangka mencerna berbagai doktrinnya.

Misalnya, suatu ketika ada setumpuk piring kotor di meja beranda himpunan. Adalah seorang kuya yang sedang sial disuruh mencuci piring, saat akan segera bergerak mencuci sang bos berkata.
“Eits, tunggu dulu, kenapa kau mau mencuci piring ini?”
“Karena disuruh sama bos.” Maka disentil telinga kiri.
“Kenapa?”
“Karena piringnya kotor bos.” Maka disentil telinga kanan.

Demikian berulang kali sampai telinga kiri kanan merah semua. Rasanya lebih baik mencuci seribu piring daripada ditanya kenapa harus menucuci piring, yang jawabannya sangat relatif itu. Ada juga yang diperintahkan ke jawa untuk membeli pecel lele, es teh dan sebungkus rokok, dengan dibekali uang lima ribu. Yang diperintah akan menatap uang itu dengan bingung, karena tidak akan cukup buat membeli semua itu, lalu sang bos akan membentak.

“Kow pikirlah gimana caranya, pergi sana, lima menit!” Maka yang diperintah akan segera lari ke warung, melakukan sesuai perintah, entah bagaimana pula caranya, hanya pelaku dan Tuhan yang tau.

Ketua kaderisasi pada waktu itu, bermuka sangat angker dan sangat konsisten dengan keangkerannya, tak pernah barang sekali kami melihatnya tersenyum. Demikian juga panitia lainnya, jarang menampakkan wajah bersahabat bila bertemu muka. Dan jika melewati teras depan himpunan, dijamin hari akan berakhir buruk.

Biasanya hal ini menimbulkan trauma untuk mendekati sekre himpunan HMS dan sekitarnya atau bertemu orang-orang berjaket hijau. Jika orang biasa melakukan trade off antara jarak perjalanan dengan biaya, maka kita akan mentrade off antara biaya, jarak perjalan atau apa saja dengan tidak bertemu orang berjaket hijau HMS. Lebih baik jalan berkilo-kilo atau membayar sejumlah tertentu daripada bertemu mereka.

BOIKOT
Tentunya sulit bertahan dengan kegiatan kaderisasi yang semacam itu, sehingga akhirnya satu angkatan memutuskan untuk memboikot. Kami tidak akan mengikuti acara kaderisasi lagi. Peduli amat dengan menjadi anggota himpunan atau tidak, kami ingin diperlakukan dengan lebih manusiawi. Berbagai pro dan kontra merangkai diskusi yang panas pada waktu pengambilan keputusan itu. Terjadilah boikot selama beberapa waktu.

Namun entah bagaimana, HMS ITB selalu pintar, selalu punya posisi tawar, pandai berdialektika, sehingga tak berapa lama akhirnya kami mengikuti lagi acara itu, dengan sukarela. Malah mengakibatkan pencopotan ketua angkatan dan penggantian berbagai koordinator kelas. Saat itu aku terpilih menjadi koordinator kelas untuk menggantikan koodinator sebelumnya. Dan jika menjadi peserta saja terasa berat, maka menjadi koordinator atau ketua angkatan berkali lipat bebannya.

Acara kembali dilanjutkan. Pada berbagai acara, setelah jiwa dan raga dalam kondisi begitu lelah setelah berbagai aktivitas fisik, harus pula meneriakkan pernyataan mengandung doktrin dahsyat.  
“Ilmu logika, jika dan hanya jika aku anggota HMS, maka ketua himpunan adalah pemimpinku. Jika dan hanya jika aku menjadi anggota HMS, maka anggota himpunan adalah saudaraku. Jika dan hanya jika aku anggota HMS, maka yang nonhim, busuk! Cuih!”

Melalui itu semua, dengan semangat kebersamaan, kita tetap bertahan hingga memasuki acara akhir. Meski seiring berjalannya acara, ada yang berpikir, kenapa bisa begini salah memilih jurusan. Ada satu dua yang pergi untuk pindah kampus, mungkin karena alasan ini, mungkin juga dengan alasan lainnya.

ACARA AKHIR
Jika acara pengantarnya sedemikian rupa, tentu acara akhirnya tak akan kalah spektakuler. Acara akhir dilaksanakan di suatu desa, berupa bakti sosial memperbaiki jaringan irigasi. Tujuannya memang mulia, membantu penduduk desa memperbaiki jaringan irigasinya, tetapi dalam prosesnya berbagai bentakan, tamparan mengiringi ketertindasan, ketakutan, kelaparan dan kehausan.

Acara dimulai setiap pagi dan berakhir malam hari selama seminggu. Tak cukup dengan itu, dilanjutkan pula dengan long march dari bilangan Soreang, Bandung Selatan ke kampus di Bandung Utara di tengah malam, sekitar lima jam perjalanan dengan memanggul ransel besar.

Sampailah di ujung acara dimana kami dalam keadaan lelah dan hampir kehabisan tenaga, mendapatkan tenaga baru saat menyanyi sambil mengubah lagu mars, dari “kalian HMS ITB” menjadi “kami HMS ITB”. Semua lelah, derita, airmata, duka, tawa, semua emosi terangkum menjadi satu. Saat para bos memberikan jaket berwarna hijau, dengan lambang Himpunan Mahasiswa Sipil ITB di dada kiri. Pengorbanan segala emosi dan sumber daya seolah terbayar lunas dengan memakai jaket kusam, bau, berwarna hijau itu.

Terkadang, secara pribadi, aku masih heran bagaimana dulu bisa bertahan. Bagaimana bersama teman-teman seangkatan bisa sama-sama melalui berbagai proses kaderisasi yang berat secara fisik dan mental ini. Terutama untuk teman wanita, yang biasanya aspek perasaannya lebih menonjol, bagimana mereka bisa bertahan?  

Yang kusadari, bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang unggul, yang memiliki mekanisma pertahanan diri, dengan berbagai caranya. Bahwa saat sedang menderita, melihat wajah teman yang senasib sependeritaan menimbulkan perasaan terhibur tertentu, yang unik. Saat berjalan longmarch itu, bisa dilalui dengan motivasi akan menikmati es degan di ujung jalan. Kadang-kadang bisa pula dengan menganggap semua itu sebagai permainan peran dan sandiwara. Terkadang semangat dan emosi bisa naik hingga puncaknya, kadangkala juga menurun hingga jurangnya, namun satu dua kawan akan selalu ada untuk saling bantu. Mungkin itu yang menyebabkan satu angkatan bisa bertahan. Tentunya, realitas hidup bisa lebih kejam daripada simulasi-simulasi ini, kenyataan bahwa kami bisa dan selalu bertahan bisa menjadi motivasi dan memberi kekuatan baru untuk melalui semuanya.


Ada masanya ketika berbagai kegiatan, acara dan ketertindasan itu menjadi suatu cerita menarik, yang indah untuk diceritakan dan ditertawakan, meski tetap tidak ada yang bersedia untuk mengulang kembali.   

HIMPUNAN
Saat menjadi anggota himpunan, ternyata perasaan euforia oleh pelantikan hanya berlangsung sementara. Masih ada ketertindasan dari senior-senior, masih dipertanyakan kemampuannya, masih dipertanyakan kebersamaan dan militansinya, masih harus menunjukkan diri.

Berbagai kegiatan menjadi ajang pembuktian di himpunan, untuk membuktikan bahwa pelantikan dan pemberian jaket hijau itu terbukti layak. Itulah masa-masa kerja keras, menjadi panitia berbagai kegiatan. Suatu waktu masih sering tertindas. Sebut saja menjadi panitia wisuda, dimana biaya wisuda yang dibebankan kepada wisudawan telah dihitung secara seksama sebesar seratus ribu rupiah per orang. Melalui mekanisme presentasi dari panitia terhadap wisudawan, maka biaya itu bisa berkurang menjadi 50 ribu per wisudawan berkat keahlian mereka bersilat lidah. Maka panitia yang bekerja keras mengumpulkan dana serta mengurangi pengeluaran, dan seringnya berhasil.

Terkadang ada pula kesepakatan untuk menciptakan musuh bersama dari luar, sehingga sering terjadi perkelahian dengan himpunan lain seperti dari himpunan tambang dan geologi. Berbagai aksi saling berbalas pukulan karena masalah sepele sering tak terelakkan. Itulah salah satu penjabaran militansi, pada masa itu.

Secara historis, ada indikasi bahwa militansi himpunan ini akibat dari normalisasi kehidupan kampus (NKK) oleh rezim berkuasa dengan militernya pada tahun 1978. Sehingga basis kekuatan politik kampus dikembalikan ke kantong jurusan, untuk menjawab tantangan ini diperlukan kader yang tangguh yang harus melewati metode pengaderan yang tak biasa. Seiring waktu, ada anggapan bahwa metode kaderisasi ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.

Namun, tentunya kaderisasi yang terlihat sangar ini bukannya tanpa konsep. Setidaknya, latar belakang, tujuan, metode pelaksanaan, metode pengukuran telah dipertimbangkan melalui berbagai proses dialektika dalam forum-forum diskusi kaderisasi oleh panitia kaderisasi, pengurus himpunan serta swasta. Semua terangkum dengan jelas dalam materi kaderisasi, salah satu yang sering dijadikan referensi adalah metode pedagogi of the oppressed, pendidikan kaum tertindas, entah bagaimana proses penurunannya.

Yang jelas, metode dan teknis lapangannya telah disepakati secara komunal. Pernah terjadi diskusi luar biasa dengan tema sentral “Apakah akan dilakukan pengkoranan (pemukulan dengan gulungan Koran kepada peserta pada saat jalan jongkok, push up, sit up dsb) pada masa intensif menjelang pelantikan?” Untuk menjawabnya, terjadi diskusi semalam suntuk, ibarat pertunjukan wayang, di himpunan. Bahkan diskusi tidak selesai pada malam itu, sehingga harus dilanjutkan pada malam berikutnya. Metode pengambilan keputusan dengan cara voting untuk menutup diskusi dengan cepat adalah cara yang haram dilakukan.

Dengan menjadi anggota himpunan, muncul kesadaran bahwa lelah yang dialami peserta sebelas dua belas saja dengan lelah yang dialami panitia, bahwa panitia memulai lelahnya bahkan sebelum peserta diterima di teknik sipil.

Itulah HMS ITB dan sekitaran kaderisasinya pada masa itu. Entah bagaimana HMS pada masa kini, entah bagaiman kaderisasi saat ini. Belum ada kesimpulan bahwa pelaksanaan kaderisasi yang intensif, lama dan mengandung kekerasan menjadi faktor yang menentukan (atau tidak menentukan) militansi dan partisipasi anggotanya dalam berorganisasi maupun dalam menjawab berbagai tantangan untuk masa depan bangsa.




Yang jelas, hingga bertahun-tahun setelah itu, setiap kali memakai jaket hijau itu, tetap menimbulkan perasaan bangga, supremasi atas diri, bahwa perjuangan berat telah dilalui untuk mendapatkannya. Selalu hadir semangat dan emosi setiap menyanyikan mars nya, kepalan tangan diangkat, sambil melompat-lompat, sambil berteriak-teriak tak peduli nada, irama atau segala norma lainnya.  


Kami HMS ITB bersatu padu
Dibawah almamater ITB tercinta
Melangkah dengan gagah dan perkasa meraih cita-cita
Berbakti dan berkarya tuk negara Indonesia
Tak gentar akan rintangan dan cobaan
Dengan semangat ayo maju terus..
HIDUP HMS ITB!!!