Sunday, September 25, 2011

sesuatu

Jika sesuatu yang buruk terjadi, katakanlah itu sesuatu yang tak sesuai keinginan kita, biasanya kita akan bersedih. Itu naluri manusia, padahal seberapalah pengetahuan manusia ini, boleh jadi kita menyukai sesuatu padahal sesuatu itu buruk bagi kita, boleh jadi kita membenci sesuatu padahal itu baik bagi kita (1). Itulah kenapa kita dilarang untuk menyukai atau membenci sesuatu secara berlebihan. 

Dalam rangka mencegah diri dari bersedih, terhadap sesuatu yang tidak berdaya untuk diubah, beberapa teknik yang efektif untuk digunakan antara lain, beribadah dan berdoa, memikirkan hal-hal yang baik, melakukan hobi, mengingat kejadian menyenangkan, membayangkan sesuatu yang indah, berbicara dengan orang-orang terdekat, dsb. Ada banyak cara, saat ini mungkin aku perlu menerapkan salah satunya untuk mencegah diri dari bersedih. 

Salah satu yang sangat kuinginkan adalah bisa menceritakan sesuatu pada seseorang atau mendengarkan sesuatu cerita dari seseorang. Percakapan yang bermutu, adalah salah satu nutrisi penting bagi otak untuk menjaga agar kita tetap waras. Rumah sedang sepi, sehingga tak ada juga satu dua makhluk yang bisa diajak berdialog. 

Mungkin aku bisa melakukan cara lainnya, memikirkan hal-hal yang baik dan mensyukuri nikmat yang diberikan daripada menyesali apa-apa yang tidak ada. Sungguh, banyak sekali manfaatnya perasaan senantiasa bersyukur ini dan sudah seharusnya manusia selalu bersyukur. Jika kita ingin mencatat nikmat Allah yang diberikan kepada kita, maka tinta sebanyak air laut tidak akan cukup bagi kita, dan niscaya kita tidak akan sanggup menghitungnya. Itulah kenapa aku tidak suka pada orang-orang yang sering mengeluh dan menggerutu, apalagi untuk hal-hal yang kecil dan itulah kenapa aku ingin menghindari mengeluh. 

Sesungguhnya, apa yang terjadi pada manusia, bisa dipisahkan menjadi dua bagian. Ada realitas objektif dan ada realitas subjektif (2). Realitas objektif adalah sesuatu yang benar-benar terjadi, seusatu yang tidak bisa diubah, seperti musibah dan bencana, takdir, tidak ada yang bisa mengubahnya karena merupakan ketentuan dari Yang maha Kuasa. Sementara disisi lain, ada realitas subyektif, yaitu bagaimana manusia memandang sesuatu. Sehingga ada orang yang bisa tertawa saat sedang mendapat musibah, ada orang yang dilahirkan cacat yang bisa terus bekerja dan berkarya, dan ada juga orang lainnya yang ketika mendapat musibah terus meratapi nasib. 

Ada banyak kebaikan disekitar kita, dan kita seringkali hanya melihat sedikit yang buruk diantaranya, lalu terperosok terlalu dalam dengan meratapinya. Kejadian-kejadian buruk atau masa-masa sulit yang kita sedang jalani, ternyata hanya harus dilalui dengan berpikir positif. Kita sendiri yang bisa memilih untuk bersedih karena sesuatu atau memilih untuk selalu berbahagia. Jika kita tak bisa berpikir jernih tentang apa saja kebaikan yang kita dapatkan, ingatlah selalu kalimat: Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (3).

Referensi: 
(1)    QS: Al Baqarah

(2)    Rakhmat, Jalaludin. 2004. Meraih Kebahagiaan. Simbiosa Rekatama Media, Indonesia. 
(3)    QS: Ar Rahmaan

Friday, September 16, 2011

pesan moral

Seminggu ini musim sudah masuk ke autumn, dimana angin bertiup dengan sangat kencang. Sehingga adalah wajar jika menemukan perkiraan cuaca memberikan kata “windy”. Dengan angin yang kencang dan rambut yang cukup panjang, maka setiap kali keluar rumah, rambutku  selalu ditiup-tiup angin hingga berantakan. Sehingga pudarlah keinginan untuk memanjangkan rambut sampai sepunggung, rambut ini harus dipotong. 

Maka berjalanlah aku ke sebuah barbershop, menanyakan harga potong rambut untuk pelajar, lalu keluar lagi dari barbershop itu karena harganya terasa kemahalan. Maka berjalanlah aku ke sebuah barbershop lainnya, menanyakan harga potong rambut untuk pelajar, lalu kuputuskan untuk menyelesaikan permasalahan ini di situ, seharga 7 pounds, setaraf dengan seratus ribu rupiah. Yaah, harga ini bukan apa-apa jika dibandingkan dengan potong rambut di pangkas rapi Jogja seharga lima ribu rupiah (kalimat yang terasa cukup tidak logis). 

Lalu Bapak barber menanyakan model yang kuinginkan. Satu saja model yang terlintas di kepala, model rambut Damon Albarn bekas vokalis Blur, akan tetapi agak ragu juga bahwa Bapak ini tau model rambut itu, maka kukatakan “ just make it short” dengan English yang pas-pasan, aku tak tau kosakata untuk memotong pendek dibagian tepi dan sisakan lebih panjang berikut sedikit jambul di bagian tengah, apa bahasa inggris untuk jambul?  

Lalu sambil dipotong (rambutnya), kuajak si Bapak barber bercerita basa-basi. Kami mulai membicarakan tentang sepakbola, bahwa aku ingin menonton pertandingan bola. Lalu Bapak barber bercerita tentang anaknya yang ikut klub bola dan berharap bisa jadi pemain professional, meskipun sulit. Lalu Bapak barber bercerita tentang klub bola idola di kotanya, Leeds United, yang musim ini tidak membeli pemain baru. Bapak barber mulai akan memotong rambut bagian atas, ketika beliau memasuki emosi tingkat tinggi saat mengatakan bahwa manajemen klub kesayangan hanya mementingkan uang dan bukan meningkatkan kualitas klubnya. Bicara Bapak barber menjadi sangat berapi-api, sehingga aku jadi tidak berani menyelanya untuk mendiskusikan model rambut, yang tidak relevan dengan topic pembicaraan. Sehingga hanya sekejap saja, habis sudah rambutku dibuatnya. Terlalu pendek, tidak ada sedikit jambul, tidak mirip Damon Albarn dan jauh sangat dari Jude Law. Habislah sudah..

Saat berjalan keluar barbershop, ku catat sebuah pesan moral dalam hati, “Saat sedang berlangsung sebuah peristiwa penting , jangan pernah membicarakan topik yang sangat sensitif yang tidak relevan.”

Saturday, September 10, 2011

edensor

Wahai, sudahkah kamu membaca buku Edensor dari Andrea Hirata? Andrea adalah salah satu yang terbaik dari panulis-penulis yang ada di Indonesia, kata-katanya selalu indah, penuh makna dan membangkitkan imaginasi, salah satu favoritku. Malam ini, kubuka lagi lembaran-lembaran dari buku ini, yang dulu sejak pertama terbit sudah ku baca. Buku ini menceritakan tentang perjalanan Ikal dan Arai ke Eropa, mungkin karena sekarang aku sedang ada di Eropa juga, sehingga ku buka kembali buku ini. 

Kalimat yang tertera di halaman mukanya sebagai berikut:
Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan”, (Hirata, 2007). Rangkaian kata yang cukup menawan untuk mendefiniskan sebuah kata saja: takdir.
Cerita di buku ini masih sama, tentang pencarian cinta Ikal terhadap A Ling, serta pemujaan Arai terhadap Zakiah Nurmala.
Nanti, akan kujelajah separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah asing yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu yagn menyiksa..” (ibid)

Adalah Arai yang menjadi sahabat sekaligus pemicu semangat Ikal, Arai yang pantang menyerah, yang katanya memperlihatkan jiwa yang besar, lebih dari siapapun yang dia kenal.
Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu", (ibid). Kata Arai suatu ketika. Adalah kebetulan, sama sepertiku, Arai ternyata adalah penggemar Jim Morrison, “Penyanyi kesayanganku Kal.. karena aku akan berjumpa dengannya, walau hanya pusaranya, di Perancis!” , (ibid).
Dan bahkan jauh sebelum membaca buku ini, sekitar tahun 2004 sudah besar keinginan ku untuk berkunjung juga ke Perancis sana, ke pemakaman Pere Lachaise, untuk mempersembahkan sebuah puisi kepada Jim Morrison, seperti yang Arai dan semua penggemar Jim Morrison dan The Doors lakukan setiap tahun di bulan Juli. Dengan anehnya, pernah suatu ketika aku bermimpi datang berkunjung kesana, ketika tak berapa lama kemudian kubaca di Koran Kompas bahwa minggu itu adalah hari untuk mengenang Jim. Seperti yang Arai lakukan ketika itu, membaca puisi.
Tak ada yang paham kalau puisi itu bukan untuk Jim. Namun, Jim Morrison dan Zakiah Nurmala adalah belahan hati Arai. Keduanya menempati kamar yang menyesakkan dadanya. Hari ini, Arai mengguncang-guncang kamar itu dengan cinta, rindu, harap dan putus asa yang lama bertumpuk di sana, terburai-burai, tumpah ruah di atas pusara Jim Morrison”, (ibid).

Selain tentang kuliahnya di Sorbonne, buku ini juga berisi tentang petualangannya menjelajahi Eropa. Darimanakah judul Edensor itu berasal? Ternyata itu adalah nama sebuah desa di Inggris. Dalam buku kenangan dari A Ling untuknya, If Only They Could Talk, karya James Herriot. Desa itu diceritakan dengan gambaran:
Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seakan berguling ditelan langit sebelah barat. Bentuknya laksana pita kuning dan merah tua. Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu lalu terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah nan luas. Di dasar lembah sungai berliku-liku diantara pepohonan. Rumah-rumah petani Edensor yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu bak pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit. Di pekarangan, taman bunga mawar dan asparagus tumbuh menjadi pohon yang tinggi. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergelantungan di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar…” , (Herriot, 1970 dikutip oleh Hirata, 2007).
Bus merayap, aku makin dekat dengan desa yang dipagari tumpukan batu bulat berwarna hitam. Aku bergetar menyaksikan nun di bawah sana, rumah-rumah penduduk berselang-seling di antara jejarak anggur yang terlantar dan jalan setapak yang berkelak-kelok. Aku terpana dilanda déjà vu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria di pagar peternakan itu. Aku seakan menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama hidup dalam kalbuku.
Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, “Ibu, dapatkah memberitahuku nama tempat ini?
“Sure lof, it’s Edensor”, (ibid).

Begitu katanya, ketika mengakhiri novel ini. Edensor, tentu saja, sudah dekat sekali tempat itu dengan tempatku berada ini. Hanya sekitar dua jam perjalanan saja jauhnya. Dan tentunya, suatu saat nanti, akan ada usahaku untuk ke sana. Mungkin akan kudapati tak akan seindah seperti yang digambarkan dalam kedua buku ini, Herriot dan Hirata, namun tetap layak untukku mengalami sendiri menemukan pedesaan itu dalam arah pandang, menghirup udaranya, menikmati suasananya, mengabadikannya dalam bentuk foto untuk dikirimkan kepadamu atau merangkumnya dalam seuntai kisah untuk diceritakan padamu. 

Ref:
Hirata, Andrea. 2007. Edensor. Bentang, Indonesia.

Sunday, September 04, 2011

tentang rasa

Sekali ini agak berat juga hal yang ingin kuceritakan. Membicarakan tentang rasa, tentang cinta, betapa rumitnya topik ini. Rasanya lebih baik membicarakan tentang filosofi, teologi, atau sustainable transportasi daripada yang satu ini. Kenapa menjadi berat? Karena membicarakannya membuat kita harus melihat jauh ke dalam-dalam hati, ke salah satu ruangnya yang penuh dengan kenangan, atau ke ruang lainnya yang penuh dengan harapan, serta ornamen-ornamen kepedihan dan kebahagiaan yang mengisinya. Seringkali hati berbicara dengan cara yang berbeda dengan pikiran, sehingga telah habis pun kemampuan otak yang kecil dan terbatas ini untuk memikirkannya, tak keluar juga solusi yang memungkinkan.

Mungkin, itu sebabnya aku belum menikah, belum punya tunangan, dan lebih parahnya tak punya pacar sekarang ini. Karena belum ada sinkronisasi pikiran dengan hati. Mungkin juga aku sendiri yang memperumit masalah yang seharusnya sederhana ini. Seiring waktu, semakin banyak undangan pernikahan datang, satu persatu teman-teman meninggalkan.

Sehingga suatu waktu, terjadi percakapan imaginer di pikiranku antara Pinky yang polos dengan Brain yang jenius, tokoh kartun favorit sewaktu kecil.

Pinky: Sebenarnya, ada masalah apa sih Brain, sehingga kita belum bisa pasang foto bayi di facebook? 
Brain: Kita terlalu sibuk ingin menguasai dunia Pinky.
Pinky: Sebenarnya, buat apa sih Brain, kita menguasai dunia?
Brain: Buat dipersembahkan kepada pujaan hati kita Pinky. 
Pinky: Sebenarnya, yang mana sih Brain, pujaan hati kita?
Brain: Yang perlu kita kasih dunia, baru bisa kita kuasai Pinky.
Pinky: Sebenarnya, ada ga sih Brain, yang bisa kita kuasai tanpa perlu kita kasih dunia?
Brain: Pertanyaanmu itu keluar dari konteks Pinky.
Pinky: Jadi, apa rencana kita malam ini Brain?
Brain: Sama seperti malam-malam sebelumnya Pinky, mencoba menguasai dunia!
Si Pinky Si Pinky dan si Brain Brain Brain Brain..

Yah, ga semua orang bisa menangkap isi dialog ini. Mungkin aku juga yang terlalu berbelit-belit. Sebenarnya ini adalah sebuah sindiran yang diungkapkan dengan sedikit citra rasa humor satire yang menunjukkan perasaanku, betapa aku sudah ingin membangun keluarga, lalu betapa sulitnya menemukan pasangan yang tepat, lalu kebiasaan atau keinginan yang menekankan pada aktualisasi diri sebelum berani menikah, pada sebentuk pencapaian, serta tujuan hidup yang seperti tujuan akhir tapi sebenarnya hanyalah tujuan awal dan kadang tak relevan.

Sebenarnya aku mungkin sudah akan telah berkeluarga sekarang ini, jika saja waktu itu tidak putus dengan seorang yang ku cinta. Seorang pembaca garis tangan yagn tak terpecaya pernah mengingatkanku, untuk tidak menikah sebelum berumur dua delapan, karena dia melihat ada perpisahan atau perceraian, aku waktu itu tidak mempercayainya. Lalu ternyata dua tahun lalu aku kehilangan kekasihku untuk orang lain, dan beberapa bulan kemudian kehilangan ayahku untuk selamanya. Kehilangan dua cinta yang besar, yang membuat ruang-ruang hatiku terluka, yang mengubah arah hidupku, sehingga aku tertatih-tatih untuk merangkai mimpi yang baru. Kupikir saat itu, akan sulit bagikku untuk menemukan cinta yang baru, ya ternyata memang begitu.

Mungkin permasalahan pernikahan ini akan menjadi lebih sederhana jika sekarang adalah zaman siti nurbaya. Dimana yang kita lakukan adalah belajar mencintai setiap hari. Belajar menemukan kebaikan-kebaikan kecil dari pasangan kita untuk bisa dicintai, belajar menerima kenyataan. Tidak kita serahkan kehidupan keluarga pada cinta eksotis yang rapuh, yang seringkali gagal seberapapun kita ingin mempertahankannya. Namun sayangnya sekarang bukan zaman siti nurbaya, sehingga harus kita temukan sendiri pasangan sejati kita.

"Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya. Kurasa itulah postulat pertama hukum keseimbangan alam. Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik ke puncak bukit, lalu meniup sangkakala, dunia kiamat." (Andrea Hirata, 2009)

Betapa tidak romantisnya kata-kata di atas, mengungkapkan betapa sulit untuk menemukan pasangan yang tepat, setidaknya buat sebagian orang, salah satunya adalah tokoh dalam cerita Andrea Hirata, salah satunya adalah aku. Mari definisikan tepat itu sebagai saling mencintai dengan sepenuh hati hingga berani memutuskan untuk hidup bersama selamanya. Kenapa itu menjadi sulit buatku? Agak sulit juga buatku untuk jatuh cinta, sehingga aneh juga jika suatu waktu justu harus jatuh cinta pada orang yang sudah punya kekasih. Selain itu, tentunya agak susah juga menemukan yang bisa mencintaiku. Oke oke, mari anggap wajahku yang tidak dalam standar ganteng bukan sebagai variable yang berpengaruh. Tapi agak sulit juga menemukan orang yang siap menerimaku seperti ini, sifat yang keras kepala, perilaku yang sering tidak sesuai standar kebanyakan, pemikiran yang non linear, ditambah lagi salah satu variable yang mungkin berpengaruh adalah belum mapan. Jika ternyata ada kamu di luar sana yang jatuh suka padaku, mari kita sederhanakan permasalahan dengan kembali pada teorema empiris andrea hirata di atas.

Keberanian. Itulah kenapa salah satu yang kebanyakan orang kejar adalah karir, pencapaian, aktualisasi diri. Itulah kenapa orang ingin menguasai dunia, mengumpulkan uang sedikit-demi sedikit, demi memiliki keberanian untuk bisa datang ke rumah seseorang, dan meminta anak gadisnya. Itulah yang kulakukan, dulu, tapi itu salah.

Sekali waktu ditengah-tengah kegiatan sehari-hari, timbul juga pertanyaan, yang mempertanyakan makna? Apa yang dicari dalam kehidupan? Standar apa yang membuat orang berbahagia dan tidak bahagia dalam hidup? Apa harus seperti Epicurus yang menyamakan kebahagiaan dengan kepuasan, atau seperti Betham yang menemukan menghitungnya dengan menjumlahkan kesenangan dan kesedihan, atau seperti Budha yang meraih dengan melepas keinginan, apa sepeti Al Ghazali yang menyerahkannya tidak untuk kehidupan dunia? (1). Ataukah itu hanyalah seperti burung. Lihatlah keluarga burung yang sedari pagi sudah terbang jauh mencari makan, tidakkah dia akan pulang sore hari menuju sarang, untuk memberi makan anak-anaknya, untuk memberlanjutkan kehidupan generasi penerusnya. Dan untuk tujuan yang sederhana itu, yang dilakukannya setiap hari sambil bernyanyi, burung menjadi salah satu yang mempercantik kehidupan.

Pulang. Sekali waktu kutanyakan juga pertanyaan itu, seperti burung yang memiliki sarang, kemana aku pulang? Kepada hati siapa hatiku merasa tenteram? Kepada siapa akan kuceritakan hari-hari? Kepada siapa akan kuceritakan mimpi-mimpi? Apakah kepadamu? 

Tentunya hanya sekali waktu kutanyakan pertanyaan itu, yaitu saat aku melihat ke dalam hati, ke dalam ruang-ruangnya yang telah ditinggalkan. Selebihnya biarlah hari-hari seperti hari-hari yang biasa. Yang akan kita lalui dengan berseri seiring ketukan sinar matahari pada jendela, yang akan kita tutup dengan selimut malam dan penjagaan bulan. 

Suatu saat nanti, ketika waktunya sudah tiba, kita akan damaikan pikiran dengan hati. Ketika waktu itu tiba, kita akan membicarakan tentang rasa, dengan nada yang bahagia. 

Ref:
(1) Schoch, Richard. 2008. The Secret of Happiness. Hikmah. Indonesia.