Wednesday, July 28, 2010

kereta malam


Hari ini berjalan mengejar hari besok. Sore baru saja berangsur malam. Malam ini, aku kembali dalam perjalanan dari Bandung menuju Jogja. Dengan kereta malam ku pulang sendiri. Duduk dihadapanku bukan seorang ibu yang dengan wajah sendu kelabu dan penuh rasa haru akan menatapku, seakan ingin memeluk diriku. Yang lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada karena sakit dan tak terobati, yang wajahnya tidak mirip denganku, karena aku pria, sedangkan dia wanita.

Suara kereta yang mulai melaju terdengar sahdu. Gejes gejes gejes, kira-kira begitu bunyinya. Berangkatlah semua yang berada di kereta ini meninggalkan Bandung kota kenangan, atau yang lebih dikenal sebagai Bandung lautan asmara. Asmaranya siapa? Asmara kita semua.

Aku melamun sendirian, hal yang lazim dilakukan daripada melamun masal. Teringat pengalaman beberapa tahun lalu, hampir sepuluh tahun, kalau ingatanku ini masih bisa diandalkan. Ingatan antara kejadian masa lalu, kejadian dalam mimpi, serta kejadian masa depan sering terasa penuh distorsi di benakku.

Waktu itu masih kuliah menjelang tingkat dua, aku sedang berlibur, meninggalkan Bandung menuju Jogja juga. Sejak aku kuliah di Bandung, kudengar abangku juga kuliah di Jogja, sehingga aku perlu datang untuk mengecek derajat kebenaran pendengaran itu.

Aku sendirian, cukup senang berperjalanan sendirian karena sangat banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Termasuk di dalamnya hal-hal yang membangkitkan adrenalin dan merefleksikan ego. Termasuk di dalamnya, kemungkinan untuk bertemu calon mertua, yang ketika kutanyakan perihal "Jam berapa sekarang?" dia lantas mencoretku dari daftar calon menantu (1). Tapi, tentunya, pastinya, sudah barang tentu, lebih enak berperjalanan berdua bersama kekasih yang memahamiku, sehingga bisa berkomentar dan tertawa atas apa saja dengan serta merta tanpa dianggap gila.

Terlepas dari itu semua, disitulah aku, alih-alih berada di sebuah terminal aku malah berdiri di sebuah stasiun kereta. Alih-alih berada di Stasiun Hall Bandung, aku malah berdiri di Stasiun Kiara Condong. Alih-alih naik kereta eksekutif, aku malah membeli tiket kereta ekonomi eksklusif. Free seat, katanya di depan loket.

Disitulah aku, sedang berdiri bersama beberapa ratus orang yang memiliki tujuan sama, yaitu naik kereta. Yang sedang menghampar dengan bermacam gaya.

Ningnongnengnong nengnong ningnong

Pengumuman menunjukkan bahwa kereta sebentar lagi tiba. Tepat seperti yang Bang Iwan sampaikan, terlambat lebih sejam, dan itu tidaklah lama.

Saat itulah, langit terasa sangat pekat, sepekat aroma persaingan yang terbawa udara malam mengelilingi jiwa dan raga kami. Aku memutuskan mencari gerbong paling belakang, karena tingkat persaingan di gerbong tengah dari berbagai sisi sangat tidak manusiawi. Maklum, musim liburan. Ternyata banyak orang beraliran sama, yang berbondong-bondong menuju lokasi yang diprediksi persis tempat gerbong paling belakang akan berhenti.

Dari kejauhan kereta terlihat berjalan menuju kedekatan. Kecepatannya masih cukup cepat. Akhirnya satu dua tiga empat gerbong melewati titik kami berdiri. Hingga akhirnya kami sama menyadari bahwa kami berada di titik yang salah. Gerbong paling belakang akan berhenti jauh di depan kami. Maka kami berlari-lari menuju gerbong itu. Salah perhitungan yang fatal. Fatal sekali.

Untung aku telah terbiasa berlari seminggu beberapa kali saat di ospek di kampus, sehingga cukup punya stamina. Sampai kami di pintu masuk. Ternyata untuk naik, kami harus meloncat setinggi satu meter. Sebelum kereta benar-benar berhenti aku sudah menggunakan ilmu meringankan tubuh meloncat, naik ke kereta.

Perihal ilmu meringankan tubuh itu, bolehlah ditanya darimana datangnya. Ilmu ini kudapat saat kelas dua SMA, sewaktu aku menjadi suhu bagi sekitar lima orang murit pake t yang merupakan kependekan dari murat-marit, yang menamakan perguruan kami: Perguruan Bebek Terbang. Bolehlah ditambahkan musik Jreng Jreng sebelum nama itu disebutkan. Misinya menyelamatkan bebek-bebek di seluruh galaksi. Mulia memang. Bayangkan, bebek yang bisa terbang, yang bisa menolong bebek-bebek tak berdaya lainnya, yang mengenakan celana dalam di luar. Saat itulah, saat mengajar di sana, aku jadi menguasai ilmu meringankan tubuh. Memang, seringkali cara belajar yang terbaik adalah dengan mengajar.

Tapi, jangan berpikir bahwa kesulitan berhenti disitu kawan, karena ternyata pintu kereta tidak dibuka. Alhasil aku menggantung begitu rupa, menggedor-gedor minta dibukakan pintu. Orang di dalam sana menggeleng, tidak mau membuka. Celaka, ini di luar prediksi kami semua. Tanpa putus asa, kami terus menggedor, kali ini dengan mempersembahkan ekspresi wajah campuran atara marah dan frustasi. Makin banyak yang ikut menggedor, sehingga akhirnya luluhlah sang penguasa pintu. Pintu dibuka, kami menghambur masuk.

Aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu masuk. Berhasil. Aku berjalan mewati wajah-wajah lelah yang bersandar di kursi, akhirnya di ujung ada sebuah kursi kosong. Kursi kosong terakhir di gerbong ini. Aku mendapatkannya dengan riang gembira. Seraya mengungkapkan selebrasi dengan cengar-cengir tak karuan sambil salam kiri kanan.

Salah satu pesaing yag mengejar dibelakangku, cuma mendapati ruang kosong diantara deretan kursi kereta. Saat dia menatap iri padaku, aku mempersembahkan senyum simpati yang lebih-lebih kurasakan sebagai senyum mengejek. Seolah-olah berkata:

"Maaf kawan, dunia memang kejam."

Mas mas tersebut akhirnya terduduk di lantai. Yang lain mengikuti, sehingga penuhlah koridor itu.

Beberapa pemuda yang terlambat, terlihat kebingungan mencari sisa tempat. Mereka berjalan berjingkat-jingkat, akhirnya bergerak ke arah ruang yang boleh diasumsikan sebagai toilet.

"Naah, ini kosong." berkata salah satunya.

"Iya, duduk sini ajalah." berkata yang lainnya. Maka mereka yang sebayak empat orang itu, menguji nyalinya, duduk di dalam toilet.

Kereta akhirnya melaju, setelah semua persaingan yang mengharu biru itu. Udara dingin yang berdesir mengalir dari jendela yang kacanya sudah tidak ada, menerbitkan rasa ngantuk. Kulirik mas mas yang tadi, terbesit sedikit rasa antara bersalah atau iba, sehingga kuberikan kertas koran untuk dijadikannya alas duduk. Dia berterima kasih dan berbasa basi sejenak.

Dengan padatnya penumpang yag bergelimpangan, jangan pernah membayangkan akan sebuah adegan ala before sunrise dalam kereta dari Budapest menuju Vienna dimana Jesse bertemu Celline. Mereka terganggu oleh suara pertengkaran pasangan rumah tangga, sehingga pindah untuk duduk nyaman di ruang makan dan akhirnya menghabiskan malam bersama dengan berjalan-jalan, yang mengubah hidup mereka selamanya. Akupun tertidur dengan potongan adegan tersebut.

Sebagai catatan, karena kereta ini eksklusif, maka setiap stasiun yang dilewatinya akan memintanya berhenti untuk sekedar bertegur sapa. Berhentilah kereta di sebuah stasiun, aku segera terbangun oleh suara orang-orang menjajakan dagangan. Bermacam rupanya, bermacam dagangannya, bermacam warnanya, bermacam juga harganya. Aku terkesima mengamati satu persatu yang lewat. Karena melihat langsung akan ditafsir sebagai menaksir, tak jarang aku hanya melirik dengan sudut mata. Curi-curi pandang.

Mereka lewat dengan caranya masing-masing dan logat masing-masing pula.

nasi rames makan makan: logat bandung

aqua aqua ye: logat bandung

nasi ayam telor: logat batak

tahu tahunya sumedang tahu: logat sumedang

kacang rebus kacang: logat dian sastro aadc

koran mas seribu: logat tegal

selai pisang goring: logat jawa

kopi susu pop mie kopi susu: logat indramayu

yang garut oleh-oleh garut: logat garut pastinya

rokok tisu basah: logat jakarte

sol patuk: logat cimahi

salak pondoh salak pondoh: logat jawa


Suasana ini, aku menyebutnya dengan istilah kerakyatan. Beragam suku bangsanya, beragam warna kulitnya, beragam suaranya, beragam idenya, semua bergabung menjadi satu. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Karena rasanya hanya rakyat yang berada di sini, tidak ada pejabat.

Sistem perdagangan ini, aku menyebutnya dengan sistem politik dagang salak dalam karung. Adalah, penjual salak membawa sekarung penuh salak. Lalu mulai menjual dengan harga 10 ribu sekilo di awal gerbong. Beberapa orang membelinya. Lalu ditengah2 mendadak harganya turun menjadi 5 ribu sekilo, beberapa orang lain membelinya. Lalu di ujung gerbong sampailah harganya pada kisaran 5 ribu sekarung. Sungguh, sistem dagang yang amat sangat spektakuler, sensional, brilliant, two thumbs up. Salak dalam karung. Terbayang olehku, pembeli awal salak tersebut sedang meratapi takdirnya karena duduk di ujung depan. Terbesit juga pikiran bahwa sang penjual hanya berjualan sebagai wujud aktualisasi diri.

Selang beberapa waktu yang berlalu, akhirnya ada petugas yang bertugas memeriksa karcis. Menanyai satu persatu karcis penumpang. Kuberikan karcisku untuk diperiksa, selesai sekejap kemudian. Lalu pak petugas beranjak ke orang sebelahku, orang tersebut merogoh kantongnya untuk mengambil sesuatu, lalu berjabat tangan dengan petugas karcis seperti bertemu teman lama yang akrab. Setelah itu, petugas karcis langsung ikut merogoh kantong untuk menaruh sesuatu. Apakah gerangan sesuatu itu, masih menjadi pertanyaan besar bagiku. Yang jelas, semua terjadi dalam gerakan yang sangat harmonis, sinergis. Praktis aku terpana seolah menatap keteraturan alam semesta.

Waktu berlalu, kereta melaju dalam deru dan debu. Mendadak kurasakan sebentuk perasaan ingin buang air kecil. Kuberanikan diri untuk bangkit dan bergerak menuju toilet. Ada empat pemuda sedang duduk disana, bermacam gaya dan posisinya, salah satu menatapku dengan pandangan tidak wajar yang menghipnotis. Hasrat ku pun terlupakan sudah, segera duduk lagi.

Untuk apa yang disebut toilet itu, janganlah sekali-kali membayangkan sebuah tempat yang nyaman dimana orang bisa duduk membaca koran, sambil menghirup aneka wangi bunga. Cukup bayangkan sebuah kotak persegi saja, yang ada sebentuk closet yang dari lubangnya lintasan rel bisa terlihat. Untuk sebuah privasi, benda ini tidak direkomendasikan.

Tak berapa lama, seorang ibu tertular hasrat buang air. Berjalan menuju toilet, persis saat ibu itu berdiri di depan pintu, terdengar pertanyaan.

"Mo ngapain bu?"

Dari nadanya yang tak ramah, tentu saja boleh dibayangkan juga tatapan mengintervensi yang diberikan pemilik pertanyaan.

"Ini gimana sih, ko wc diduduki?"

Ibu itu pergi sambil ngomel. Dihampirinya petugas yang kebetulan lewat, dan mengadukan kekecewaannya. Petugas menjawab dengan sama kecewanya.

"Salah sendiri naek ekonomi."

Katanya seraya berlalu. Aku membeku di tempat duduk ku.

Kereta terus melaju, meski aku membeku. Lalu ditengah jalan terasa kecepatannya menurun dan sesaat kemudian berhenti. Tidak ada stasiun, berarti bisa diasumsikan bahwa kereta berhenti untuk menunggu kereta lain yang akan lewat, karena jalurnya berselisihan. Seperti junior yang akan dilewati senior, kereta menunggu dengan bersabar. Saat senior lewat, yang dalam hal ini dikategorikan sebagai kelas bisnis atau eksekutif, maka junior akan menghormat. Terdengar aba-aba.

"Hormat gerak!" Saat senior sudah lewat seluruhnya, terdengar lagi aba-aba.

"Tegak gerak!"

Yang biasanya berlaku seperti dalam sekolah kedinasan, prosesi ini dikenal sebagai PPM (peraturan penghormatan militer).

Aku masih membeku. “Salah sendiri naik kereta ekonomi” katanya, penghormatan terhadap kereta yang tiketnya lebih mahal. Mau tidak mau terasa juga perbedaan kelas sosial dalam negara yang berkeadilan sosial. Kelas sosial, rangkaian huruf dalam Madilog dan Das Capital memenuhi pikiranku, dalam untaian yang sulit dipahami seperti biasanya.

Memang, perbandingan harga tiket dengan jarak yang ditempuh untuk kereta ini patut mendapat jempol. Kita mengeluarkan uang senilai seribu rupiah untuk menempuh jarak sekitar 25 km, murah meriah. Sangat menolong bagi orang-orang yang keperluannya untuk mobilitas sangat tinggi dan penghasilan sangat rendah, sehingga tidak menguras bagian penghasilannya yang seharusnya digunakan untuk konsumsi, sehingga patut juga aku berterimakasih pada pemerintah atas layanannya ini. Sehingga mahasiwa yang sisa uang kirimannya perbulan yang jika dilewatkan ke kasir Mc D hanya akan mendapat dua potong es cream cone juga bisa ikut melancong. Tak apalah, setidaknya ada ikatan emosional yang bisa kurasakan dengan sesama penumpang. Mas mas tidak dikenal, telah tertidur di lantai beralaskan koran. Dari posisiku, posisinya malah terlihat lebih nyaman. Akupun tertidur lagi.

Akirnya kereta tiba di Jogja, aku menggeliat bangun. Tak sabar melihat abang yang sejak aku lahir telah setia menjadi seorang abang. Akupun bergegas menuju pintu keluar. Aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu keluar. Berhasil. Aku berjalan melewati beberapa lajur rel. Celingak-celinguk mengamati sekitar, mampir ke warung yang ada di pojokan untuk membeli pengganjal perut. Kurogoh saku belakang dan demi daun yang jatuh dari pohon ke muka bumi yang sudah tercatat di lauhl mahfudz, dompetku telah sukses mempelajari ilmu menghilangkan diri. KTP, SIM, KTM, ATM serta uang yang tak seberapa banyaknya juga turut serta.

Rentetan kejadian mulai dari naik kereta sampai turun barusan dengan cepat menghambur, tak kutemukan adegan di mana ia menghilang. Kuputar ulang lagi dengan fast forward pada beberapa adegan, tetap misterius. Lalu kutemukan slow motion pada adegan aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu.

Kuhampiri aparat yang sedang bertugas. Akan kulaporkan perihal jurus menghilang dompetku. Aku tau, peluangnya untuk ditemukan satu banding sejuta, peluang untuk aparat membantu mencari sebelas dua belas saja dengan yang tersebut sebelumnya. Tapi, aparat itu akan membantuku melewati hari, karena kuceritakan bebanku padanya. Karena mungkin dia akan mendengarkan, bahkan lebih dari itu, dia mungkin akan mencatat dengan penuh perhatian.

Aku terjaga dari lamunan. Masih di kereta. Tak ada orang-orang yang berserakan di koridor kereta ini. Suasana kerakyatan yang tadi kukenang cukup kurindukan. Tapi, kali ini, aku membeli tiket eksekutif.. 

Ket:
(1) Sebuah cerita komedi yang beredar luas, sehingga tak diketahui siapa penulisnya..
Seorang pemuda sedang dalam perjalanan dengan kereta api ke Jakarta. Persis di depannya duduk seorang bapak setengah baya. Setelah lama berdiam diri, sang pemuda bertanya, “Jam berapa sekarang, Pak?” 

Namun si bapak itu ternyata diam saja. Mengira sang bapak agak tuli, ia mengulangnya sampai 3 kali, namun tetap saja si bapak itu diam. Merasa kesal, pemuda mencolek bapak itu dan berkata “Saya heran kenapa bapak tidak menjawab pertanyaan saya? Apa sih susahnya?”

Si bapak membalas, “Bukannya saya gak mau jawab, tapi nanti kalau saya jawab, kita pasti ngomong-ngomong lagi soal ini soal itu, soal apa saja, ngalor-ngidul, terus nanti kita jadi akrab.”

“Lalu apa salahnya kalau kita akrab?”

“Nanti anak gadis dan istri saya akan menjemput di stasiun Gambir. Kalau kita sudah akrab, nanti kita akan turun sama-sama, terus saya pasti akan memperkenalkan mereka sama kamu.”

“Lalu?”

“Istri saya tuh orangnya baik sama semua orang. Nanti dia pasti nawarin kamu mampir ke rumah. Nanti kamu mandi di rumah saya, terus makan di rumah saya, trus nanti kamu lama-lama bisa akrab dengan anak gadis saya, dan kamu bisa jadi pacarnya, dan lama-lama kamu bisa jadi menantu saya.”

Sang pemuda yang dari tadi sudah bingung sekarang makin bingung. Lantas dia tanya, “Terus hubungannya apa sama pertanyaan saya soal jam tadi?” 

Sambil berdiri dan lantang bapak tersebut menjawab, “Masalahnya.. SAYA TIDAK MAU PUNYA MENANTU SEPERTI KAMU, JAM TANGAN AJA NGGAK PUNYA, GIMANA MAU MEMBAHAGIAKAN ANAK SAYA!!”

Saturday, July 24, 2010

maaf

Jika sebuah kata saja yang bisa kuucapkan kepadamu, maka kata itu adalah maaf. Sebuah kata saja, karena sedikit kata tak kuharap akan menyakiti. Tetapi jika engkau membutuhkan yang lebih dari itu, akan kucoba menjelaskan dengan hati-hati. Agar tetap tidak menyakiti.

Aku lelaki dan engkau wanita, jelas itu berbeda. Dengan perbedaan itu, orang-orang menyatu menjadi keluarga dengan berbagai proses yang dilaluinya.

Bagiku, proses itu berarti, aku menyadari ada yang berbeda dengan perasaanku terhadapmu sejak pertama kali bertemu, lalu aku akan memutuskan untuk mulai mengenalmu dan itu tidak berlaku  untuk sebaliknya, masih bagiku.

Bagiku, waktu pertemuan kita tidaklah ideal. Itu untuk mengartikan bahwa pada saat bertemu denganmu, aku sedang sangat mencintai wanita lain, yang kuharapkan menjadi ibu dari anak-anakku. Sehingga tidaklah mungkin menaruh sedikit perasaan terhadapmu diatas perasaan lain yang memenuhi hatiku.

Bagiku, mengejar cintaku adalah sebuah keniscayaan. Yang berarti dikejar-kejar perasaan cinta adalah kemustahilan. Tak perlulah mengirimkan kata-kata apapun atau melakukan tindakan apapun karena tak ada ruang untuk itu dalam diriku. Tindakanmu hanya mengingatkanku akan cintaku yang telah pergi dan masih ingin kukejar. Tak enak rasanya mengingat itu semua. Terlebih aku khawatir hanya akan menyalahkanmu atas kehilanganku.

Bagiku, meski masih sendirian melewati malam, dalam umur yang menua, dalam julukan yang membujang lapuk, tak akan bisa diartikan bahwa aku mengambil kesempatan yang mudah dibandingkan dengan berjuang dengan hal-hal yang sulit dan kemungkinan yang lebih melimpah. Yang berujung pada diriku menikmati malam, masih sendirian, dalam waktu yang lebih lama, yang melentur menjadi tak hingga.

Bagiku, engkau harus menemukan orang lain, yang akan mencintaimu dengan sepenuh hati. Karena penting bagi wanita untuk dicintai, dan penting bagi laki-laki untuk mencintai. Tak perlulah menyia-nyiakan waktumu yang berharga itu. Sebagaimana aku tak ingin menyiakan waktuku.

Bagimu, apalah artinya diriku ini. Diriku yang tak rupawan dalam wajah, yang seringkali terseok dalam langkah, yang seringkali gundah dalam arah, yang sering terlanggar dalam sumpah, yang akan sering kau dapati matanya memerah saat mengingat ayah.

Pada akhirnya, apa maumu, apa mauku, tidak memungkinkan untuk bertemu. Sehingga yang kuucapkan seharusnya adalah sebuah saja kata maaf, agar tidak akan menyakiti. Maaf.

Monday, July 05, 2010

Padang Bulan (Resensi)

Judul : Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, Juni 2010 

Ini adalah buku kelima dari Andrea Hirata sang penulis novel best seller tetralogi laskar pelangi. Padang bulan menjadi sebuah dwilogi bersama dengan Cinta di Dalam Gelas. Dua buku bisa didapatkan dalam satu paket, sebuah buku bersampul orange di depan dan marun di belakang.

Padang bulan dan Cinta di Dalam Gelas masih menceritakan kehidupan di sekeliling ikal, kehidupan orang melayu yang tinggal di pulau Belitong. Selain menceritakan kisah si Ikal, andrea juga menceritakan kisah seorang anak perempuan bernama Maryamah, yang biasa dipanggil Enong, yang menjadi pembuka buku ini dengan kehidupan yang dihinggapi tragedi tapi selalu bangkit dan berdiri.

Pengaruh besar perasaan cinta dalam kehidupan manusia menjadi bagian penting dari buku ini. seperti dalam kutipan berikut.
"Tak dapat dipungkiri, hal paling sinting yang mungkin dilakukan umat manusia di muka bumi ini sebagian besar berasal-muasal dari cinta." Atau dalam bagian lain dikatakan “Cinta, yang jika seluruh gunung di dunia ini digabungkan, masih akan lebih kecil darinya.”

Ikal harus berhadapan dengan kenyataan, ketika perasaan cinta pertamanya menuai pertentangan antara mencintai ayahnya dan mencintai A Ling yang tak direstui ayahnya. Ikal berniat membawa A Ling pergi ke Jakarta. Suka dan duka sebagai paradoks yang diakibatkan oleh perasaan cinta digambarkan dengan kutipan ini.
"Bagi yang tengah jatuh cinta. Waktu mengisi relung dada mereka dengan kegembiraan, sekaligus kecemasan. Karena teristimewa untuk cinta, waktu menjadi jerat. Semakin cinta melekat, semakin kuat waktu menjerat. Jika cinta yang lama itu menukik, jerat itu mencekik."

Cerita berlanjut hingga sampai pada kenyataan dimana Ikal mendapat saingan yang akan merebut cintanya dari dirinya. Perasaan cemburu itu tergambar dengan begitu mempesona.
"Akupun sesungguhnya ingin bertemu dengan Zinar. Sesungguhnya aku ingin tahu, bagaimana muka orang yang telah membuat A Ling mabuk kepayang, yang telah pula membuatku sengsara. Sore itu aku naik sepeda ke manggar. Kukayuh sepedaku dengan marah dan tergesa-gesa. Nafas meburu, hati membiru, tangan menggenggam tinju, kepala penuh pikiran jahat. Trifolia cemburu pada bunga desember, capung cemburu pada kumbang, danau ingin ditinggalkan sendiri, awan bercerai-berai, langit curiga pada angin dan angin membenci gunung. Alam penuh angkara murka."

Dimana si perebut kebahagiaannya dibayangkannya dalam sebentuk deskripsi yang amat sangat super kejam sekali.
"Bayangan manusia lain menyerbu. Giginya tonggos, wajahnya bulat, hidungnya meleleh karena suntikan silikon yang gagal dan ia dulu adalah seorang perempuan."

Rasa kehilangan terhadap orang yang dicintai yang diungkapkannya juga terasa mengiris hati, terutama bagi yang pernah mengalami.
"Namun, ternyata, jika seseorang hanya memikirkan seseorang, bertahun-tahum dan dari waktu kewaktu mengisi hatinya sendiri dengan cinta hanya untuk orang itu saja, maka saat orang itu pergi, kehilangan menjelma menjadi sakit yang tak tertanggungkan, menggeletar sepanjang waktu."

Dilanjutkan dengan teori empirisnya terhadap kebenaran-kebenaran di alam semesta.
"Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya. Kurasa itulah postulat pertama hukum keseimbangan alam. Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik ke puncak bukit, lalu meniup sangkakala, dunia kiamat."

Andrea juga sangat piawai dalam menggambarkan kehidupan disekitar Ikal yang berisi tragedi dengan cara komedi, yang banyak ditemui disepanjang cerita. Salah satunya adalah tentang teman semasa kecilnya yan disebut sebagai Detektif M Nur.
"Nasibku dan Detektif M Nur mirip. Kami adalah pengangguran, lebih dari itu kami adalah bagian dari golongan pria-pria yang paling menyedihkan di dunia ini, yaitu pria yang tak jelas masa depannya, mulai memasuki satu tahap yang disebut sebagai bujang lapuk, dan masih tinggal dengan ibu."

Namun dalam pada itu, penulis tetap mengisi narasinya dengan semangat untuk berjuang, dengan mimpi dan harapan bahwa potensi kemanusiaan bisa terus berkembang.
"Orang-orang telah melupakan bahwa belajar tidak melulu untuk mengejar dan membuktikan sesuatu, namun belajar itu sendiri adalah perayaan dan penghargaan terhadap diri sendiri." atau “Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar.”

Demikian buku Padang Bulan berkisah. Lalu dilanjutkan dengan buku keduanya: Cinta di Dalam Gelas, tetap dengan gaya bahasa satire yang sama indahnya. Mengisahkan keadaan sosial dan kultural di daerahnya, yang menaruh harga diri dalam pertandingan catur, yang mengadukan kegetiran hidup di dalam sebuah warung kopi, yang kesemuanya terangkum dalam segelas kopi, yang adalah penjelmaan dari sebuah cinta di dalam gelas.

Seperti biasanya, cerita ini dilengkapi dengan pelajaran moral nomer sekian serta penyakit gila nomer sekian sekian yang tak pernah ditempatkan dengan urutan, seolah-olah dia hanya menyebutkan angka apa saja yang sedang terlintas di kepala.
“Pelajaran moral no dua puluh dua: kemiskinan susah diberantas karena pelakunya senang menjadi miskin.”

Hingga akhirnya penyakit gila itu hinggap di kepala narator, ketika dia bercerita tentang Yamuna blender kesayangannya.
“Jika warung kopi sedang sepi, aku bercakap-cakap dengan blender itu. Aku berkisah tentang kawan-kawan masa kecilku. Blender itu bercerita tentang musim yang tak menentu dan keluhannya tentang dapur tempat tinggalnya yang berantakan.”

Sangat indah sekali bagaimana andrea menceritakan tragedi, harapan dan perasaan cinta berdasarkan pengamatan dan perasaan yang mendalam, dengan gaya bahasa yang masih sama seperti buku-buku sebelumnya.