Friday, March 31, 2006

menara tua (sebuah cerita pendek)


*****
Udara senja yang berwarna jingga membelai mesra lekuk-lekuk kampus. Mengikuti kebiasaannya, mengalir, melewati satu demi satu bangunan yang berdiri menghabisi lahan-lahan kosong, berputar-putar dilapangan kecil, menyusuri koridor, mengisi suara di pepohonan hingga mencapai pusar kampus.

Disana ada sebuah menara. Dibangun kokoh menjulang tinggi, tak tertandingi bangunan dan pepohonan. Bukan untuk menghampiri langit dan menyamai ketinggian Tuhan pastinya. Kalau demikian adanya, menara ini tak akan bisa selesai, karena pembangunannya dikutuk sedari awal.

Adapun menara ini dibangun oleh para leluhur. Leluhur di kampus, yang telah lebih dulu mencicipi bumi dan mengisinya dengan membesarkan kampus hingga melingkupi negara. Membuatnya tinggi, cukup tinggi hingga mencakup seluruh kehidupan kampus serta peradapan masyarakat. Pada ketinggian itu mereka menyadari, masyarakat terlalu menderita untuk terus mengalami penjajahan, negara ini harus merdeka dari segala bentuk penjajahan. Mereka dulu berjuang, membangun karakter yang teguh untuk mencapai kemerdekaan yang menjadi keyakinannya.

Cahaya senja yang tadi melekat, memberi bayangan pada kemegahan menara, perlahan-lahan sirna. Menara itu kembali memburam, disamping keadaannya yang memang semakin melapuk ditempa zaman. Tidak dirawat dengan baik, kalau dikatakan ada yang merawatnya. Tangga-tangga yang berundak-undak mengelilingi menara hingga menuju puncaknya pun tak pernah tersentuh. Rektor terlalu takut untuk menaikinya, selain karena tak ada kepentingan baginya. Rekan-rekan kampus tak banyak yang tertarik untuk memandang dari atas dan mengamati keadaan sekitar. Jadi, hampir tak ada yang berniat ke atas sana.

Sekelompok mahasiswa yang dipercaya rektor untuk merawat menara tersebut tak lagi mengerti arti keberadaannya, tapi mereka masih berlomba-lomba menghiasi menara itu, sebagai sebuah kebanggaan. Tidak dengan membangun keatas hingga mencapai filosofi dasar pendiriannya. Mereka malah membuat taman yang melingkar mengelilingi bagian bawah menara. “Biar lebih indah”, kata mereka. Di tamannya ditanam berbagai macam bunga, berjenis pohon, rumput dan beragam aksesoris lainnya. Lalu di pusat taman, menara tak disentuh, melainkan hanya ditambahkan pagar yang mengungkung, agar tak sembarang orang bisa menghampiri.

Warga kampus, kebanyakan daripadanya, menyukai taman tersebut. Setiap hari mereka memandang taman yang tumbuh subur, mengaguminya, hingga hampir tak menyadari ditengah-tengahnya ada menara. Menara yang telah dibangun dengan sekian banyak jejak perjuangan, dibanjiri keringat dan darah dari para pendahulunya.

Bahkan, sesekali taman itu dipakai muda-mudi untuk berduaan. Sebagai pewujudan taman di hati mereka yang sedang bersemi, dengan cinta selalu disiramkan padanya. Di kali lain, taman itu dipakai oleh kumbang untuk mencari madu dari bunga-bunga yang sedang bermekaran. Ada pula ulat yang menyempurnakan diri menjadi kupu-kupu manambah warna-warni taman. Hal ini semakin membuat keadaan taman begitu indah menawan dan keadaan menara begitu kusam untuk dipandang. Mereka lupa bahwa pembuatan taman ini diperuntukkan sebagai hiasan bagi keberadaan menara.

Begitu yang dilakukan mahasiswa, berbeda pula yang dilakukan oleh rektor universitas. Beliau turut membangun, tapi membangun gedung-gedung megah untuk kampusnya. Bahkan tingginya menyaingi menara yang diciptakan oleh para leluhur. Sedangkan niatnya bukan untuk melihat objektif keadaan masyarakat yang berada di dalam dan di luar kampus, melainkan agar menara itu tak lagi terlalu diagung-agungkan oleh mahasiswa. Agar mahasiswa lebih bangga dengan mempunyai gedung-gedung tinggi yang akan berguna bagi mereka sendiri. Mereka akan belajar didalam gedung, bukan untuk mengamati keadaan sekitar, lalu belajar darinya.

Suatu ketika, sekian mahasiswa yang pro menara berkumpul. Menyuarakan beban yang dipikulkan kehatinya. Mereka kehilangan kebanggaan akan kampus ini, karena semakin tidak memberi arti pada kehidupan disekitarnya. Mereka juga merasakan, tak ada persatuan lagi di kampus ini, setiap orang bertidak demi pribadinya sendiri dan tak pernah melihat keberadaan kampus secara utuh. Mereka berpikir, kuncinya ada pada menara.

Menara yang sejak dulu menjadi pemersatu dan kekuatan perjuangan. Menara yang kemudian malah hanya dikagumi, karena taman indah yang melingkupinya. Sementara keberadaannya terpagar dan terkunci di dalam taman, tak tersentuh hingga hakikat yang dimilikinya.

”Bagaimana kita bisa mencapai puncak menara jika kita dihalangi oleh taman itu?” pikir para mahasiswa pada akhirnya.

Lalu disusunlah sebuah rencana. Mereka akan mengkudeta. Kudeta terhadap taman itu, berarti kudeta terhadap rekan-rekan kampus yang membangunnya, kudeta pula terhadap rektor yang memberikan restu. Tapi mereka tak peduli, mereka memiliki keyakinan yang begitu besar akan apa yang hendak dilakukan. Sisa-sisa semangat perjuangan menuntut sebuah pergerakan lebih dari sekedar kata-kata.

Maka, bergeraklah mereka. Berjalan dengan langkah tegap yang tak ada keraguan padanya. Sampailah mereka pada tepian taman itu. Mereka mulai menghancurkannya, membabat habis setiap yang menghalangi jalan menuju menara, membongkar semua keindahan semu yang menutupi esensi.

Angin menerbangkan wangi bunga yang tercabut dari batangnya, tercabik-cabik dari keindahannya. Kumbang yang merasa kehilangan meradang. Berdua mereka membawa berita keseluruh kampus.

Sampailah berita itu kepada bagian lain mahasiswa, yang mendukung dan melaksanakan pembangunan taman. Dikumpulkan massanya. Dan beramai-ramailah mereka menuju ke jantung peristiwa.

Disana mereka mendapati sekelompok rekan kampus yang berbeda mata, berbeda telinga, juga berbeda hati. Tak pernah mereka menyadari adanya perbedaan hingga hari ini. Kedua kelompok akhirnya berhadapan.
”Taman ini kami bangun untuk menghiasi menara, mengapa kalian menghancurkannya?” tanya mereka. Emosi mendesak ke dada.
”Tak tahukah kalian, taman ini menutupi kemegahan menara, mengubur filosofis pendiriannya. Menara jadi terkunci didalamnya. Tak bisa kita masuki, tak bisa kita naiki. Jadi apa guna keberadaannya, kami harus menghancurkannya!” jawabnya
”Apa perlunya bagi kalian, untuk menaiki menara?” Emosi telah sampai pada tenggorokan, siap dimuntahkan.
”Wahai kalian pengurus taman, kalian harusnya memahami! Di atas sana kita bisa melihat keadaan kampus, belajar daripadanya. Diatas sana kita bisa mengamati keadaan masyarakat, mencari solusinya. Tidak seperti kalian yang hanya mengetahui bagaimana cara merawat taman, melihat hanya pada sejengkal tanah, sedangkan bunga akan tumbuh dengan sendirinya pada tanah yang sejahtera. Kalian pikir taman bunga bisa memberi solusi pada keadaan kita? Kalian terlalu memaksakan keadaan. Lihatlah, tanpa fungsi menara ini, kita tak pernah mengetahui secara pasti apa yang sedang terjadi di kampus ini, kita selalu bergerak sendiri kesana kemari tanpa menyadari telah tersesat arah!!” jawab pihak mereka, disertai semangat yang siap meledak pada apa saja yang menghalangi.

Tapi kedua pihak telah memandang benar apa yang dilakukannya, maka tak ada pertemuan dalam meja perundingan damai yang diakhiri dengan saling berjabat tangan. Terjadilah pertikaian diantara mereka, yang semula menggunakan dialektika, beralih ke pertukaran fisik semata.

Mereka saling menyerang. Tendangan berbalas tendangan. Pukulan berbalas pukulan. Darah berbalas darah, dan dendam berbalas dendam. Hati yang tak bisa menahan emosi akan melihat dendam pada mata orang lain, dan dendam pada penglihatan akan menjelma menjadi darah.

Lalu angin membawa anyir darah yang segera menggantikan semerbak wangi bunga. Membawanya berjalan berkeliling, tak terbatasi kecuali oleh gunung yang tinggi menghadang.

Sampailah baunya pada rektor yang merasa punya otoritas penuh pada kampus. Dia datang, seperti diundang. Sampai pada padang yang telah berhamburan. Emosinya tak terhadang. Diperintahkannya penjaga keamanan kampus untuk menghentikan pertikaian. Menangkap para pelaku kerusuhan.

”Orang-orang yang yang bersalah atas hal ini akan diadili”, katanya. Ya, diadili, yang artinya diberi keadilan. Semua tindakan diluar pengawasan dan aturannya tidak dapat dibenarkan. Dan itulah keadilan baginya. Meskipun itu berarti keadilan hanya menjadi milik penguasa. Pada kekuasaan, yang lalu menjadi candu yang mengikis sedikit demi sedikit nilai-nilai kebenaran. Tanpa nilai kebenaran, tak mungkin dicapai sebuah keadilan. Tapi, rektor tak peduli dengan itu semua, dia hanya ingin segala sesuatu berjalan terencana sesuai dengan aturan yang telah dia tetapkan.

Lalu dimulailah pengadilan. Sebenarnya tidak tepat untuk dikatakan pengadilan. Karena tak ada bagian untuk mendengarkan pembelaan, beliau hanya memanggil pihak-pihak yang bersengketa pada waktu yang berbeda untuk memberikan keterangan. Selanjutnya memutuskan sendiri penjatuhan hukuman.

Keputusan lalu dijatuhkan. Yang sesuai makna katanya, jatuh, sudah pasti arahnya kebawah. Seperti apel yang menimpa kepala Newton. Begitu juga yang dirasakan oleh kepala beberapa mahasiswa. Mereka diliburkan dari kehidupan kampus. Mereka merasakan sakitnya. Ada yang merasa menyesal, ada pula yang merasa bersukur. Seperti juga sebagian orang, ada yang merasa berduka atas apa yang menimpa mereka, sebagian lain justru merasakan bahagia.

Tapi rektor tak melihat baik duka atau gembira mahasiswa. Ini pencemaran bagi nama baiknya, itulah yang dilihanya, maka para pelaku harus menerima akibatnya. Selain itu, rektor merasakan bahwa keberadaan menara merupakan ancaman baginya. Setiap saat, hal ini bisa melemahkan kedudukannya. Mahasiswa tak boleh memandang dari atas menara, yang akan menyamai kedudukannya. Mahasiswa seharusnya menengadahkan kepala agar bisa melihat kearahnya, dan harus bersuara keras untuk bisa berbicara padanya.

Maka, dijalankanlah rencana untuk merubuhkan menara. Pada tiap penjurunya dipasangi patok-patok peraturan yang perlahan-lahan akan meniadakan keberadaan menara. Mahasiswa dilarang mendekati menara tersebut, bahkan dilarang untuk berpikir mendekatinya. Pada tiap-tiap kepala mahasiswa akan disumpalkan obat yang dapat membuat pikirannya berada dibawah kendali rektorat. Setelah mereka semua dalam kendali, maka akan dihancurkannya menara tersebut.

Kebanyakan mahasiswa yang merasa peran utamanya belajar, menerima obat yang diberikan pihak rektorat. Mereka menelannya untuk meningkatkan kemampuan intelektual. Sekian lama waktu berjalan baru terasa efek sampingnya, mereka semakin tak mampu mengeluarkan suara yang keras. Kian tak ada suaranya. Sementara lidahnya semakin tak merasakan keindahan beragam rasa, selain hambar belaka.

Mahasiswa yang waktu itu diliburkan datang. Dari kedua pihak yang dulu bersengketa. Saat ini tak terasa lagi ada perbedaan diantara mereka. Mereka masih bisa bersuara lantang. Merekapun menyadari, teman-temannya mulai akan dikendalikan. Dan saat semuanya sudah dibawah kendali, mereka tak punya kekuatan untuk menentang segala peraturan. Pada akhirnya mereka akan merelakan penghancuran menara yang dulu menjadi bahan pertentangan. Menara yang dapat meluaskan sudut pandang.

”Tidak bisa tidak, ini semua harus dihentikan” Pikir mereka pada akhirnya.
Maka mereka mulai menyuarakan pemberontakan. Rencana disusun, hanya oleh beberapa orang. Tapi beberapa orang yang bisa bersuara keras akan didengarkan oleh yang lain.

Akhirnya mereka bergerak. Menyebarkan selebaran-selebaran yang menuntut penguasaan kembali atas menara. Mempropagandakan perlawanan pada peraturan yang tak mendukung pembangunan karakter mereka. Selama beberapa hari mereka memulai pergerakan, akhirnya berhasil mendapatkan banyak dukungan.

Ribuan orang mahasiswa berkumpul di sekeliling menara. Beberapa orang yang memimpin berteriak-teriak mengobarkan semangat juang. Mereka mencabut patok peraturan, mereka menghancurkan jeruji yang menghadang. Tak terbendung pergerakannya.

Rektor yang murka akibat keberadaannya tak dianggap ada, datang dengan menghadirkan penjaga keamanan. Terjadilah baku hantam akibat tak ada yang besedia mengalah. Rektor tak bersedia menurunkan kedudukan, mahasiswa tak bersedia mengurungkan kekecewaaan.

Tapi, sekelompok keamanan tak sanggup melawan persatuan massa yang marah. Mereka dikalahkan oleh kekuatan pemberontakan yang mencari kebenaran. Candu kekuasaan pun tak sanggup menahan terpaan gelombang.

Rektor ditangkap, diarak-arak dalam irama yang naik turun. Dibawa dirinya berkeliling kampus agar mengetahui keadaan. Rektor meringis, lalu menangis. Telinganya mulai mendengar, matanya mulai melihat. Ternyata, kampus ini, tak bisa dimiliki seorang diri.
*****

Bandung, Maret 2006

geliat, gelisah, gerah...

*****
Aku kecewa, kecewa pada kehidupanku. Bukan berarti hidupku tak layak, tetapi tempat hidupku yang tak layak sebagai tempat hidup. Itu juga kalau aku masih dikatakan hidup.

Selama ini aku hidup di bumi, ya di bumi. Berdasarkan penelitian para ahli, cuma bumi di alam semesta yang layak bagi kehidupan. Bumi yang keberadaannya di tata surya, atmosfer dan perpaduan gas didalamnya, panas alaminya, semuanya memungkinkan manusia untuk hidup, tapi berangsur-angsur telah berubah, kondisinya semakin memburuk. Mereka bohong mengatakan bahwa bumi tempat yang pantas didiami.

Aku hidup di Indonesia, ya, di Indonesia. Yang berdasarkan posisinya, sangat strategis karena terletak diantara dua benua dan dua samudra, terletak di lintasan garis katulistiwa, yang terdiri dari ribuan pulau dikelilingi laut yang punya sekian banyak potensi bahari, berbagai mineral penting terletak diwilayahnya, itu yang dikatakan buku geografi di sekolah-sekolah. Tidakkah Indonesia menjadi tempat yang layak ditinggali, ternyata tidak. Para pengarang buku-buku sekolah banyak berbohong dengan apa yang mereka tulis.

Aku hidup sebagai bagian dari kampus. Ya, di kampus. Sebuah perguruan tinggi di Indonesia, yang untuk masuk kesini diperlukan tidak sedikit intelegensi. Harusnya ini adalah surga bagi intelektual, itu yang aku bayangkan sebelum berada di kampus ini. Tapi, Akupun dibohongi oleh bayanganku sendiri.

Jadi, segala sesuatu disini tidaklah layak untuk ditinggali. Kataku, berdasarkan pembuktian induktif. Aku adalah kategori orang yang gelisah. Menggeliat-geliat gelisah merasakan kegerahan terhadap semua. Dunia, Indonesia dan kampusku.

Aku dibeberkan berbagai fakta tentang tempat hidupku. Aku melihat berita, selalu hal-hal menyakitkan yang ditayangkan. Pertikaian, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan kemelaratan. Ya, semua yang berujung pada kemelaratan. Tayangan-tayangan yang semakin menurunkan nilai-nilai manusia menjadi seperti binatang, menurunkan kelayakan negara untuk mengatur kehidupan warganya. Kuhindarkan diriku dari semua berita yang memuakkan itu, lalu apa yang bisa dilihat dari media? Kehidupan para artis yang dianggap sebagai publik figur, bintang sinetron, dan sinetron-sinetron picisannya. Aih, apa sudah tak ada lagi orang-orang dengan otak, yang bekerja di media.

Tayangan-tayangan itulah yang paling sering mengisi media, terutama televisi, yang secara perlahan-lahan namun pasti merusak penduduk negeri. Seperti katak dengan air, yang ditaruh dalam kuali, direbus dengan perubahan panas perlahan-lahan. Sang katak tak akan menyadari dirinya direbus, dan saat mulai menyadari, dia telah akan mati.

Akupun semakin skeptis terhadap media. Kujauhkan mereka dariku. Lalu kuamati keadaan sekitarku, kampusku, lingkunganku. Dan betapa aku kemudian tetap dikecewakan.

Lihatlah kesenjangan yang semakin mengkhawatirkan ini. Berapa persen orang tak mampu yang bisa mendapat tempat disini. Untuk mendaftar saja harus membayar sekian juta rupiah. Bila salah satu tridarma perguruan tinggi adalah pengabdian masyarakat, kampus ini sudah tidak mengabdi pada masyarakat. Lebih cenderung mengabdi pada borjuis dan menyembah pada kapitalis.

Mari lihat juga penyelenggara perguruan tinggi ini, yang menganggap mahasiswanya tak punya kedewasaan. "Kalian anak kecil, ikuti saja sistem yang telah kami tetapkan, belajar dengan baik, raih nilai tinggi dan jadilah kuli yang baik di perusahaan asing." demikian yang aku tangkap dengan berbagai kebijakannya yang represif.

Penyelenggara pendidikan ini tak pernah belajar filosofis pendirian perguruan tinggi, pastinya. Perguruan tinggi yang seharusnya membentuk manusia yang memiliki tanggung jawab atas kesejahteraan manusia serta dapat memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan. Pelembagaan pendidikan, apalagi sebuah perguruan tinggi seperti kampusku, seharusnya adalah untuk membuat perbaikan di masyakat. Jadi, tujuan tertinggi dari pendidikan bagi orang terbaik masyarakat adalah untuk mengabdikan keilmuannya pada peningkatan mutu peradapan manusia dan kemanusiaan, serta menyelesaikan sebanyak mungkin problem-problem yang ada pada masyarakat.

Semakin kuperhatikan, semakin kampus ini hanya menambah masalah pada masyarakat. Benar begitu, karena yang banyak dilahirkan darinya adalah orang-orang yang membusungkan dada dan mendongakkan kepala saat berjalan diantara masyarakat yang tak berpendidikan. Menundukkan kepala, dan menyembah begitu berhadapan dengan pemimpin-pemimpin perusahaan besar. Lantas, bagaimana bisa menjadi juru selamat bagi kemasyarakatan? Karakter seperti itukah yang selayaknya dibentuk dari sebuah perguruan tinggi. Karakter yang semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran serta kemanusiaan.

Itulah sedikit tentang kampusku. Mungkin sedikit saja, karena semakin banyak tahu.. ah, mungkin sebaiknya kita tidak pernah tahu.

Tak jarang, segala sesuatu membuatku merasa jengah. Tak ada yang benar, tak ada yang ideal. Sering pula kurindukan masa kecil, dimana dunia terasa begitu manis dan ideal. Saat hujan dengan petir menggema diangkasa pun, kita berlari-lari kegirangan berusaha menangkap setiap curahan air dari langit dalam kebahagiaan. Anak kecil belum mengetahui ada berjuta-juta orang yang merasakan kelaparan dan meratapi hari-hari. Ada orang-orang yang saling bunuh untuk mempertahankan egoisme. Bahkan, ternyata ada orang-orang yang merasa tak akan hidup tanpa harus korupsi, tak bisa hidup tanpa memakan orang lain.

Masa-masa kecil dan kebahagiaannya telah berlalu dan tak akan terulang kembali. Hanya tertingal dalam ingatan, itupun tidak semua, karena yang bisa diingat hanyalah sekelumit dari semua kisah. Masa-masa merasa bahagia menjelang tidur dan berharap segera bangun agar besok bisa kembali bermain. Bisa kembali berenang dikali, tanpa takut harus tenggelam. Semua segera mengabur seiring jejak-jejak usia yang semakin dalam menguburnya. Semakin mendekati masa kini, semakin semua kenangan bahagia itu mengabur.

Sekarang aku semakin banyak tahu, titik-titik pengetahuan yang apabila kita sampai pada satu titik, akan dihantarkan pada titik-titik yang lain. Pengetahuan tak terbatas. Semakin banyak tahu, semakin merasa bodoh. Tetapi tidak bagiku, semakin banyak tahu, semakin merasa gerah. Semakin kehidupan terasa bertambah aneh. Semua jawaban atas pengetahuan hanya menambah rentetan pertanyaan. Why..why..?

Why: fucking question! Demikian sebuah band underground menulis dalam lirik lagunya. Manusia kerap kali mempertanyakan kenapa begini, kenapa begitu, dan menyesali nasib yang membawanya. Tak bisa dikatakan aku menyesali nasib yang membawaku, tapi jelas, aku terjebak pada pertanyaan yang dikutuk, bahkan oleh seorang musisi bawah tanah.

Disela-sela kegelisahanku, pernah kudengar, beberapa mahasiswa rekan kampus, berteriak-teriak lantangnya. "Kami menolak kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat kecil. Harusnya aparat-aparat penyelenggara negara bisa memberikan solusi yang tidak memarginalkan kaum miskin. Berantas korupsi, Tolak kenaikan BBM, tolak semuanya." Aku kagum. Meski ’kami’ yang diwakilinya adalah massa tak lebih dari tiga puluh orang. Tapi mereka peduli, sudah lebih dari lumayan.

Tapi aku lalu terbawa pada penggalan seperti mimpi, dejavu. Rekaman aktivis beberapa dekade sebelumnya yang kini memegang kekuasaan, dan bertindak hanya demi kepentingan kelompok atau bahkan dirinya sendiri. Padahal bukankah mereka meneriakkan suara rakyat selama berada di dalam kampus? Lantas bagaimana dengan mahasiswa yang sekarang berteriak disana beberapa tahun kedepan? Tak ada yang bisa memastikan.

Sekarang kita berkata-kata. Sedangkan kata-kata, hanyalah bayangan dari realitas. Tak pernah tahu, kapan sinar yang membentuknya berada tepat diatas kepala dan bayangan menyatu dengan wujudnya. Atau bahkan, tak pernah menyatu karena awan gelap segera datang menutupi wujudnya dari cahaya yang tadinya membentuk bayangan.

Hingga saat ini, dalam benakku. Segala sesuatu menyeruak seketika. Berkecamuk, berlomba-lomba memberikan simpul matinya untuk menambah keruwetan pikiran. Aku tak sanggup lagi.
”Aaargh!!. Gila! Gila! Gila! Kalian semua gila. Aku gila. Dunia ini sudah gila.” Teriakku ditengah lapangan tempat orang-orang sedang berolahraga. Aku meracau, berteriak-teriak tidak jelas. Bahkan semakin tak tahu apa yang aku teriakkan. Semua tumpah.

Orang-orang segera pergi menjauh. Mereka punya persepsi, segala sesuatu yang diluar keteraturan dalam kampus ini adalah masalah, dan sebaiknya menjauhkan diri dari masalah.

Kesadaranku mulai pulih, tapi masih belum bisa mengendalikan diri. Kembali berteriak-teriak sambil berlari-lari mengejar mahasisawa yang menjauh.
”Kalian, kalian semua. Apa kalian manusia? Apa kalian hidup? Apa kalian punya jiwa? Tidak! Kalian hanyalah robot-robot yang diprogram. Dikendalikan!”
”Hei! Tak sadarkah kalian, dunia sudah kacau. Dan kalian semakin mengacaukan dunia!”
Lalu, orang gila dalam rekayasa Nietzsche merasuk dalam pikiranku.
”Ya, dunia telah semakin kacau. Siapa yang mengatur dunia? Tuhan? Kemana Tuhan pergi? Tidakkah Tuhan telah mati?? Kita semua membunuhnya!”
Kembali aku terlarut dalam teriakan-teriakan tak terkendali, tak terkendali oleh otak yang orang anggap waras.
”Ayolah kawan. Mari, mari kita kembali menjadi manusia! Manusia yang bisa membawa kemajuan bagi dunia. Tunjukkan kita manusia, masih hidup! Biar kutujukkan pada kalian!” Aku membuka baju. Beberapa orang satpam mengejarku. Berhasil menangkapku sebelum mulai membuka celana.

Setelah itu semua, aku akan berdiri. Membelakangi kampus. Aku tidak lulus dalam standar yang mereka tetapkan, merekapun tak lulus dalam standar yang aku tetapkan. Seperti juga aku yang tak sesuai dengan standar yang orang-orang pahami. Maka, aku seharusnya pergi.

Aku berjalan, meninggalkan kampusku dan hendak meninggalkan negeri ini. Kampus adalah miniatur negeri, maka akan sama keadaannya dengan negeri ini.

Aku akan mencoba berlari. Berlari dari semua frustasi. Jika semua frustasi ada di dunia, maka aku harus berlari dari dunia. Selama masih berjiwa, tak mungkin aku meninggalkan dunia. Ya jiwa. Itu kunci segalanya. Tak ada yang bisa kulakukan selain membiarkan jiwa ini tetap ada dan mempersiapkan segala sesuatu untuk kepergiannya.

Aku terjaga dari lamunan saat seorang teman menepuk bahuku, memberitahu kuliah akan segera dimulai. Aku bangkit dan kembali, lagi-lagi membuang semua niat untuk menumpahkan semua kegelisahan yang tadi menyeruak. Kupakai topeng yang selalu menabur senyum bertema kebahagiaan. Yang hanya diluar, karena tak bisa kudapat kebahagiaan lagi di dalam sini.

Kembali, ku kunci semua kegelisahan itu didalam lemari hati besi. Ya, hati besi. Lebih baik selamanya berada disitu. Aku, seperti juga kebanyakan mahasiswa lain, mengambil buku dan kembali mencerna apa yang disuguhkan oleh dosen. Hanya makanan bagi otak yang diberikannya, tanpa minuman untuk disuguhkan pada jiwaku yang semakin merasa kehausan. Kembali aku terpenjara dalam sistem pendidikan yang tak pernah layak bagiku. Disini sudah ada sistem, dan semua orang berkata, bahwa sistem itulah yang akan membawa kita pada masa depan. Masa depan, masa depan kita sendiri.

Mungkin aku pun sudah terlalu jauh terperangkap pada perkataan mereka, sehingga semakin jarang berkata-kata, apalagi bertanya. Tak usah bertanya, karena bertanya pun tak akan mendapatkan jawaban. Pertanyaan hanya akan membawa kepada pertanyaan lain yang selanjutnya tak akan berkesudahan.

Lalu, disela-sela materi kuliah yang diberikan dosen, kuproyeksikan masa depanku, lulus dengan IP tinggi, segera bekerja diperusahaan Internasional yang menjamin penghasilan jauh lebih besar dari sekedar pegawai negeri. Akan kujual tenagaku, harga diriku, harga diri bangsaku. Dari hasilnya akan kubeli sebuah kehidupan dengan kesenangan dunia, kekayaan materi pribadi. Kutumpuk satu demi satu, menjadi tangga yang menjulang ke langit, berharap dengan ketinggian itu, permohonan ampunan kepada Tuhan karena telah menyembah materi, lebih mudah didengar. Tak pernah mencapai langit, karena di awang-awang, kematian menjemputku. Lalu malaikat maut pun heran dan bertanya.
”Hei, bukankah engkau manusia yang diciptakan dengan membawa harga diri, Kemana harga dirimu sekarang?” Lalu kujawab.
”Aku telah menjual harga diriku. Jadi, segerakan pekerjaanmu!”

Tidak, tidak! Bukan kematian seperti itu yang aku harapkan. Bukan kematian dengan kehilangan harga diri. Bukan kematian dengan tanpa memperjuangkan gambaran kehidupan yang seharusnya hidup rasakan. Bukan saat idealisme mencair dan hanyut terbawa oleh sungai yang berarus deras.

Udara kembali menjadi panas, aku kembali merasa gelisah, kepalaku terasa berputar-putar. Tak ada penjelasan dosen yang sampai ke otakku. Teriakan-teriakan marah. Itulah yang semakin menyesak ke rongga telinga. Kugunakan kedua tangan untuk menutup telinga, tapi tetap saja terdengar teriakan, disusul suara berdentang-dentang yang semakin lama semakin mengeras.

Semakin kusadari, ternyata suara itu berasal dari sebuah lemari besi di relung hati. Hatiku sendiri. Dari kegelisahan yang tadi kukunci. Yang sekarang memukul-mukul dindingnya dan menerjang pintu yang menahannya. Detik demi detik semakin menguat. Semakin memekakkan. Bagaimana mungkin, untuk menutup telinga dari hatinya sendiri?

Tidak ada yang dapat kulakukan untuk membendungnya. Tak bisa dicegah, hati nurani ini tak merasakan kecocokan dengan dunia. Dunia harus berubah, dan dunia tak akan berubah untukku, apalagi jika aku berdiri membelakangi.

Maka aku berdiri, menghentikan kuliah yang dosen berikan. Berdiri diatas meja. Hatiku telah menjebol semua pertahanan, memenangkan semua pergulatan. Kurayakan kemenangannya. Aku menari-nari, berputar-putar, menghentak-hentakkan kaki diatas meja mengikuti nada yang tercipta dari dalam hati. Aku bernyanyi, tak kupedulikan dosen yang berteriak marah. Tak kuacuhkan teman-teman yang menjauh. Aku tetap bernyanyi, mengikuti suara hati. Merayakan kemenanganku, untuk menjadikan kehidupan yang mematuhi hati nurani...

*****

Thursday, March 02, 2006

love letter

Terutuk erlian, cahaya hatiku.
Malam, dingin. Semilir angin yang berhembus menembus pori-pori pada tubuh yang sepi. Sepi, karena hanya dihuni hati yang berkata-kata terbata di dalam selimut cinta. Selimut cinta kita yang berjuang memberi kehangatan, menularkan kehangatan pada setiap sendi dan nadi, menjalari seluruh tubuh, mengusir udara dingin dari merasuki pori lebih dalam lagi.

Malam, memudarkan dinginnya. Membawa anganku pergi untuk menemuimu. Membawa pada kenangan masa dimana kita bertemu, mungkin lebih tepat, masa dimana aku menemukanmu. Aku terpesona pada saat itu. Terpesona pada kecantikanmu. Jika kecantikan fisik ysng bisa membuai mata seorang pria tak akan bertahan lama. Maka kecantikan hatimulah yang telah sampai padaku saat pandangan itu, sehingga sekian waktu yang berlalu tak mampu mengusirmu dari penglihatan hatiku. Aku jatuh cinta saat itu, pada dirimu dengan keanggunan itu.

Malam, hangat. Saat itu, kuikuti jejakmu. Membawaku untuk mengenal dirimu. Akhirnya, aku melangkah untuk menjumpaimu. Meski merasakan, langkahku tak akan lebih indah jika dibandingkan dengan semua yang terurai pada jejakmu dibenakku. Kutatap mata itu, dan kurasakan kehangatanmu mengalir mengisi ruang kosong pada hatiku. Pada tatapanmu kurasakan gembira yang membaur dengan kesedihan, ada semangat yang berusaha menjawab tantangan yang hidup berikan, ada juga cinta yang masih mencari cawan untuk dituangkan. Kudengarkan tutur katamu, dan mengalir membawa kesejukan yang meresap jauh kepermukaan hati. Kudengarkan bisikannya, ”aku merasa tentram bersamamu”.

Malam, memanas. Memanas sejak mengetahui cinta itu tercurah juga padaku. Tercurah pada cawan yang selama ini seringkali kosong, melukisi dinding hati dengan warna merah jambu, mengisi tamannya dengan bunga-bunga yang merekah indah menyebarkan wangi pada setiap penjuru. Meski aku tak tahu, seberapa besar yang benar-benar ada untukku, kuharap tidak sebesar cinta kepada pemberi kehidupan beserta orang-orang yang telah merawat kehidupan, kuharap lebih bearti dari cintamu kepada pengisi lain pada kehidupanmu. Aku tak tahu, karena di kedalaman relung hatimulah semua itu tersembunyi. Relung hati wanita adalah bagian yang seorang pria tak mampu mencapainya. Aku mencoba dengan prasangka dan prasangka terkadang hanya menenangkan sementara, tak memberikan jawaban yang selamanya layak diterima.

Malam, panas. Aku dibakar rindu. Hampir tak bisa berbicara karenanya. Kutulis surat untukmu, berharap menjadi air yang bisa memadamkan api kerinduan. Nyatanya tak ada guna, membuatku seolah-olah mengipasi api yang berkobar, semakin membakar. Datanglah padaku saat ini, aku akan memelukmu. Biar kupandang wajahmu, kutatap matamu. Kita tak perlu berkata-kata, seribu kata-kata tak akan cukup mewakili semua. Kita berbicara dalam seribu bahasa. Biar kesunyian yang bernyanyi mendendangkan lagu cinta bagi kita berdua. Biar bayangan yang gemulai menari menarikan luapan rasa. Biarkan bintang yang bertebar menjadi penulis bagi puisi-puisi yang menjelma disekeliling kita. Perintahkan bulan untuk menutup cahayanya, karena tlah tergantikan oleh cahaya cinta kita.

Malam, meleburku. Melebur dalam pesona, dalam rasa, dalam cinta. Dalam sebuah ruang tanpa dimensi dimana cinta yang bertahta. Dunia sedang menderita, tapi terasa adil bagiku, karena masih ada cinta disana. Bahkan meski cinta membawa derita pada dunia, masih terasa adil bagiku, karena tak ada rasa apapun tanpa cinta. Karena cinta, semua karena cinta.

Malam, tak ada lagi. Karena bersamamu, gelapnya telah pergi. Kuteruskan pengembaraan dalam mimpi. Kita akan menari, menyambut pagi yang menghampiri.

2 februari 2006