Thursday, January 05, 2006

bagaimana?

Seseorang yang punya kekuasaan atas begitu banyak manusia dengan segudang jabatan didudukinya, adakah dia memperoleh ketenangan dalam hidupnya?
Seseorang dengan kekayaan yang mampu membeli harta benda berlimpah, adakah dia memperoleh ketenangan?
Seseorang yang memiliki pengetahuan sedalam-dalam dan sejauh-jauh negeri, akankah dia memperoleh ketenangan?
Seseorang yang memiliki hubungan pertemanan dengan begitu banyak orang di berbagai belahan dunia, adakah memiliki ketenangan?
Seseorang yang memiliki cinta kepada kekasihnya dengan setinggi gunung dan sedalam lautan, akankah merasakan ketenangan??
Seseorang dengan kedewasaan, kebijaksanaan, kecerdasan tinggi akankah merasakan ketenangan?
Seseorang yang mendalami ilmu agama, menghapalkan berbagai surat dan hadist di luar kepala akankah mendapat ketenangan?
Ketenangan seperti apa ini?
Adkah hubungannya dengan antara keseimbangan, kebahagiaan dan ketenangan?
Kenapa pula aku terlalu banyak bertanya?
Apakah karena kodrat manusia sebagai makhluk yang punya intelektual, sehingga masalah seperti ini juga bisa memakan memori untuk pencarian jawaban.
Sebagai salah satu bahan pencerahan,

A’a Gym pernah mengatakan bahwa salah satu musuh yang harus kita hilangkan adalah keinginan, keinginan duniawi, kita harus memperbaharui setiap keinginan itu dengan pertanyaan, kalau punya keinginan seperti ini, Allah ridho ngga? Sehingga tujuan akhir dari seorang manusia tetap bukan hasrat untuk mencapai dunia dengan segala isinya. Mungkin dari sini bisa ditelusuri sehingga memperoleh pencerahan.

Kemudian, seorang filsuf cina pernah mengemukakan, tentang ego manusia, setiap ego yang dipelihara akan menciptakan batas antara dirinya dengan alam semesta, sehingga semakin besar ego itu berkembang, akan semakin kecil perasaan dirinya dibanding alam semesta raya yang luas ini. Jadi menghilangkan ego, berarti menghilangkan batas antara manusia dengan alam semesta. Dalam bahasa Musashi: Menyatu dengan alam. Mungkinkah dari sini akan muncul pencerahan.

Atau, Budha juga mengatakan bahwa manusia harus berusaha menahan diri dari segala nafsu yang ada pada dirinya, menghilangkan nafsunya, sehingga pada akhirnya bisa mencapai tahap tertinggi dari penciptaan, dan kembali pada nirwana.

masih ada sekian banyak pemikiran orang besar disini, dan kayanya kapasitas otakku tak cukup besar untuk menampung semuanya...

Desperate

Telah dihantarkan tubuhku
Beserta kemudinya yang terbakar
Tak berdaya
Berhenti dalam edar
Kemudian secuil kebijaksanaan
Berkata terbata-bata dalam kebisingan
Mana mungkin terdengar oleh jiwa yang derita
Ingin ku jadikan sampah
Dan kubuang beserta amarah

musik: media ekspresi jiwa

Dunia musik dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Beragam warna musik telah menyentuh telinga kita, dan mengisi relung-relung hati untuk mencerna pesan yang dibawanya.

Sebuah musik yang tanpa pesan, tanpa membawa emosi, atau jiwa yang membagunnya akan seperti seperti sebuah padang pasir yang gersang tanpa oase. Tak akan bisa merasuk dan berakar lama ke dalam hati manusia. Meski belakangan, dengan propaganda media, musik yang sedang populer bisa begitu saja familiar di telinga, membuat kita mendengarkannya tanpa mendalami apa yang hendak disampaikan dalam rangkaian nada tersebut.

Untuk itu, mungkin kita perlu merunut kembali, peranan komposisi musik dalam membawa jiwa komposernya. Seperti seorang filosof abad pertengahan yang pernah mengemukakan bahwa “Suara binatang mengekspresikan emosi mereka baik dalam kegembiraan maupun kesedihan. Sedangkan suara manusia mengungkapkan perasaan yang lebih beragam. Dengan suara yang mengekspresikan keberagaman itu dapat membuat orang lain tersentuh emosinya, merasa kasihan maupun simpati.” Musik, yang merupakan sarana baik audio dari vokal manusia maupun istrumen musik, seharusnya bisa mengekspresikan keberagaman emosi secara lebih dalam.

Seperti halnya musik underground yang biasanya membawakan ekspresi jiwa mempertanyakan kehidupan, atau musik punk tempo dulu yang menyuarakan anarkisme dan anti kemapanan, blues yang seolah menyuarakan kegalauan, jazz yang menyiratkan ketenangan dalam kesenduan, atau bahkan gambus dan nasyid yang membawakan hasrat spiritual.

Musik yang membawa jiwa akan menjadi sebuah karya yang abadi dalam mengisi hari-hari penikmat musik. Seperti halnya musik dari The Doors yang popular diawal 70an, dimana sampai sekarang, setiap tahun akan ada 20 orang yang teracuni dan tak bisa mundur lagi dari mengagumi karya-karyanya. Seperti juga musik dari Nirvana, yang setiap tahun ada saja remaja yang terjerat dalam distorsi teriakan penuh emosi dari Kurt Cobain.

Ada berbagai teori-teori yang mendukung dalam penciptaan sebuah irama musik yang baik, tapi sumber pencipataan itu sendiri adalah inspirasi. Sehingga seseorang yang menguasai teori-teori yang komprehensif mengenai musik tak akan bisa menelurkan karya-karya yang agung tanpa feeling yang mendukung, tanpa inspirasi, tanpa memadukan jiwa dalam proses kratifnya. Hal ini dikarenakan apa yang dibawakan oleh maestro-maestro dalam bidang musik merupakan ungkapan dari kristalisasi perjalanan hidup fisik, mental dan spiritual yang diekspresikan ke dalam alunan nada-nada.

Oleh karena itu, sebagai sesama pendengar musik, pengapresiasi musik, atau lebih jauh lagi, pemain musik. Sudah saatnya kita memperhatikan kembali soul yang dibawa oleh musik yang selama ini melingkupi kita. Mari menghargai karya-karya penuh jiwa dan mari menghasilkan karya-karya dengan jiwa.

bantal dari masa itu

Institut teknologi bandung, Teknik Sipil, 1954.
Seorang pria berjaket hijau berambut gondrong masuk ke dalam sebuah ruangan yang diketahui kemudian bernama sekre HMS, beberapa hari setelah peresmian AD/ART HMS oleh musyawarah anggota. Dinding ruangan yang berwarna putih ibarat kertas yang akan mengukir berbagai sejarah di dalam ruangan tersebut. Sebuah ruangan yang memfasilitasi kegiatan organisasi HMS untuk terus maju dan mengalir dalam arah pergerakan kemahasiswaan. Pria itu membawa sebuah bungkusan, kantong plastik besar yang setiap orang akan langsung berprasangka ada apa gerangan di dalamnya? Beberapa pria yang sedang nongkrong di sekre langsung bersiaga, berharap harap cemas akan ada makanan gratis yang akan segera akan dibagikan. Pria berjaket hijau, mengeluarkan isinya, pria-pria lain semakin berdebar dengan irama perut menuntut segera dipuaskan. Kresek kresek….. Dan patah hatilah mereka, karena yang dikeluarkan ternyata adalah sebuah………. Bantal!!! Sebuah bantal berwarna putih bersih dan cemerlang.

“Dengan bantal ini, kita akan mengukir mimpi…… ha ha ha ha!!!!” Pria berjaket hijau tersebut tertawa, diatas penderitaan kepatah hatian perut teman-temannya.

Sepuluh tahun kemudian, Adi Sasono sedang berbaring, diatas sebuah bantal cembung persegi berwarna putih kekuning-kuningan, sembari memikirkan tentang pergerakan kebangsaan yang selalu hanya menyuarakan nafsu memegang kekuasaan belaka. Bahkan organisasi yang katanya memperjuangkan kaum buruh dan yang tertindaspun tak lebih hanya berakhir pada premanisme yang bisa saja menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Jiwa kebangsaan yang tumbuh dan memenuhi benaknya, membuatnya ingin menemukan sisi perjuangan kebangsaan yang murni, menuntutnya berpikir untuk berbuat sesuatu terhadap bangsa ini, terus berpikir, akhirnya dia tertidur masih dengan pemikiran yang menuntutnya berjuang.

Beberapa tahun berlalu, malam cukup larut, seorang pemuda yang cukup gemuk bernama Hariono memasuki ruangan. Mengambil sebuah bantal berwarna kuning, yang masih menyisakan sedikit warna putih disela-selanya, dan mencoba memejamkan mata. Alih-alih segera tertidur, dia malah berpikir tentang seorang wanita yang tak bisa diraihnya. Seorang wanita bandung yang lebih memilih pendamping dengan mobil BMW daripada dia yang dibekali kemampuan otak yang brilian. Sial, apakah semua cewek bandung seperti ini? Pikirnya. Tapi tak boleh aku berputus asa dalam keadaan ini. Terbesit dibenaknya dengan segala kreatifitas yang ada untuk menjalankan usaha, berbisnis untuk mendapat penghasilan tambahan. Membuka sebuah usaha pijat yang bersih dari segala prasangka, serta restoran jepang yang berkelas sepertinya merupakan ide yang bagus, pikirnya. Dengan begitu aku bisa kaya dan akan kuperkosa semua cewek bandung. Beberapa pemikiran berkecamuk di benaknya sebelum akhirnya terseret kealam mimpi.

Beberapa tahun berlalu, Sony memasuki sekre HMS, dengan sisa-sisa lelah pada wajahnya, kuliah dengan kerja sambilan memberi jasa bimbingan pada siswa SMU untuk lulus UMPTN ternyata begitu menyita waktu dan energinya. Ditambah semua kegiatan di HMS, membuatnya merasa tak bisa memiliki waktu yang cukup untuk semua aktifitas. Sony lalu mencoba berbaring, melepas semua lelah pada dirinya. Sebuah bantal berwarna kuning kecokelatan menarik dirinya untuk segera beristirahat total. Tidak bisa begini terus, pikirnya. Aku harus segera menentukan tujuan hidupku. Fokus pada hal-hal yang benar-benar berarti untukku. Terus berusaha menentukan pilihan, akhirnya dia malah terlelap. Bermimpi indah dan akan terbangun untuk mewujudkan mimpinya.

HMS ITB beberapa tahun kemudian, Sujiwo berbaring diatas bantal berwarna coklat kekuningan, sambil mencoba memetik gitar. Kuliah disini ternyata terlalu banyak membendung kreatifitasku. Pikirnya, sembari memainkan gitar. Meski begitu HMS cukup banyak memberi ruang bagi kreatifitas ini. Sujiwo lalu berpikir tentang HMS. HMS ITB bersatu padu, dibawah almamater ITB tercinta, mengenakan jaket hijau, melangkah dengan gagah dan perkasa meraih cita-cita, berbakti dan berkarya untuk Negara Indonesia, dengan semangat ayo maju terus HMS ITB. Waah, kayanya bisa jadi lirik lagu nih, pikir Sujiwo. Dengan bersemangat ia lalu mencoba mencari nada yang pas dengan gitarnya. Setelah puas dengan hasil eksplorasi nada pada gitarnya, akhirnya dia membawa hasilnya ke alam mimpi.

HMS ITB 2004. Seorang berinisial Alex memasuki lapangan, dengan gaya aparat menemukan lokalisasi untuk disergap. Lantai dua HMS, dipenuhi orang-orang yang mencoba mengistirahatkan diri disana. Wah ko sudah penuh ya, pikir Alex. Matanya lalu tertuju pada sesosok makhluk janggal yang terbaring tak berdaya berinisial Edi. Edi tertidur pulas, sambil mencoba meneteskan cairan kehidupan (mungkin bisa juga dikatakan cairan kematian) pada sebuah bantal berwarna hitam. Alex kembali dengan kebiasaan buruknya.
“Wuooy Edi, bangun Wuoooy! Kuliah kuliah!”
Ucap Alex sambil menggoyang-goyangkan tubuh Edi tanpa mengindahkan jam di dinding yang tetap memaksa diri untuk menunjukkan waktu pukul 02.15 dini hari. Edi tak bergerak. Alex merebut bantal dari kepala Edi dengan tanpa memperhatikan efek psikologis yang akan diderita oleh Edi pada mimpinya. Belum cukup dengan sebuah bantal, Alex lalu menarik selimut Edi. Edi bermimpi ditonjok preman Tanah Abang dan jatuh ke jurang di pedalaman Himalaya, Alex mengambil posisi disela-sela tubuh yang bergelimpangan. Mencoba memejamkan mata, ternyata Alex tak segera bisa tertidur.

Ada yang salah dengan kemahasiswaan di ITB ini, pikirnya. Ada yang salah juga dengan bangsa ini. Pikirannya menerawang jauh, meski belum mampu mendeskripsikan dengan tepat apa sebenarnya yang menjadi objek pemikirannya. Ada yang salah juga dengan nilai matekku. Lanjutnya lagi. Entah apa korelasi yang menghubungkan antara kemahasiswaan, bangsa dan Nilai Matek. Tapi semua itu saling berebut memberi bayangan pada benaknya. Daripada berlarut-larut memikirkan penyelesaian persoalan kebangsaan, kemahasiswaan, maupun perkuliahan, akhirnya Alex lebih memfokuskan pemikirannya pada pergerakan HMS dalam hubungannya dengan dunia luar HMS, dan berlanjut pada pemikiran antara kampus dan dunia luar kampus. Hingga, akhirnya dia beralih dari sebuah mimpi ke mimpi lainnya diatas sebuah bantal kumel berwarna hitam. Membantah semua dakwaan dunia yang tertuju padanya dengan ekspresi wajah tak berdosa.
Tidakkah semua hal besar dimulai dari sebuah mimpi??